Amsal 22:6 – “didiklah seorang anak menurut jalan yang patut baginya maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang daripada jalan itu.”

2 Timotius 3:15 – “ingatlah juga bahawa dari kecil engkau sudah mengenal kitab suci yang dapat memberikan hikmat kepadamu akan menuntun engkau kepada keselamatanmu oleh iman kepada Kristus Yesus.”

Satu ketika di Seminari di Malang, ada seekor ayam yang menginjak tempat yang baru disemen. Mahasiswa kemudian mengusir ayam itu. Ayam itu lari tetapi meninggalkan bekas yang tidak bisa diperbaiki lagi, karena tukang batunya sudah pulang. Ayam itu adalah ayam cacat yang kakinya tidak sama besar, sehingga tapak yang tersisa di semen itu juga berbeda besarnya. Tidak lama kemudian ayam itu dipotong dan tidak ada lagi, tetapi jejak yang ditinggalkan di halaman semen itu masih tertinggal berpuluh-puluh tahun. Setiap kali melihat jejak ayam itu, saya mengingat bagaimana ayam cacat itu berjalan. Sebelum engkau menjadi kaku, sebelum anakmu wataknya mengeras, apa yang telah engkau tinggalkan sebagai jejakmu di dalam hidupmu.

Sering orang berkata: “Anak kecil belum tahu apa-apa, jadi jangan terlalu keras, nanti ketika besar ia akan mengerti sendiri.” Benarkah? Benarkah kita tidak boleh marah kepada anak kecil yang berguling-guling di lantai sambil menangis atau berteriak untuk minta apa saja yang ia mau. Saya rasa itu tidak benar. Ketika anak masih kecil, ia perlu dididik, perlu dibimbing, perlu ada wibawa yang memiliki cinta kasih untuk membentuk dia. Prinsip Alkitab mengatakan, ajarlah seorang anak akan jalan yang benar. Dari kecil ia harus dididik seturut Kitab Suci, agar sampai tua ia tidak meninggalkan jalan yang benar itu. Ketika kita melihat anak bertumbuh semakin besar, kita seharusnya sadar dan waspada bahwa satu hari kita tidak mungkin lagi mencengkeram mereka dan tidak mungkin menggenggam mereka di dalam tangan kita lagi. Kita harus menyerahkan mereka kembali kepada Tuhan dan ke dalam masyarakat.

Saya berharap anak laki dan anak-anak perempuan saya boleh terbentuk menjadi baik sebelum mereka dewasa. Maka kita perlu memikirkan beberapa hal yang menjadi “lampu merah” bagi pendidikan Kristen. Ketika kita melihat bibit-bibit yang merusak yang sudah terlihat ada di dalam diri anak-anak, jangan diabaikan begitu saja. Bibit racun yang kecil ini bisa bertumbuh, bertunas, berbuah, dan berdaun menjadi keracunan begitu besar. Anak yang tidak dididik dengan kebenaran Alkitab akan menjadi perusak masyarakat yang menakutkan. Orang yang kini menjadi penjahat, perampok, penjudi, beberapa puluh tahun sebelumnya adalah anak kecil yang lucu sekali. Tetapi mereka tidak mendapatkan pendidikan yang memimpin mereka berjalan dalam prinsip Alkitab yang menuntut mereka. Beberapa hal perlu kita perhatikan di dalam mendidik anak:

Pertama, lampu merah kepura-puraan. Kebenaran, kesejatian, ketulusan, dan kesungguhan merupakan dasar semua etika dan watak yang agung. Jikalau seseorang tidak mempunyai kesungguhan meskipun ia kelihatan lembut, percuma semua kelembutannya. Orang yang tidak mempunyai kesungguhan, meski kelihatan rendah hati, kerendahan hatinya tidak benar. Percuma juga cinta kasih tidak di dalam kebenaran, ataupun percuma kerajinan tanpa ketulusan. Itu sebab Tuhan Yesus memberi teguran begitu keras kepada orang Farisi: “Celakalah! Engkau munafik, purapura! Engkau tidak benar!” Kebenaran, kesejatian, dan keikhlasan menjadi satu pokok yang paling penting di dalam membentuk etika Kristen. Saya percaya kita tidak perlu punya banyak kawan, tetapi memerlukan kawan yang berhati sungguh-sungguh. Kesejatian harus menjadi hal yang penting di dalam ukuran kita mendidik anak kita, sehingga dari kecil mereka dididik tidak pura-pura, tidak munafik, tidak memakai topeng hidup yang membedakan luar dan dalam.

Begitu banyak orang, khususnya kebudayaan yang besar di Timur biasa memakai topeng yang bagus, tetapi di dalam kesehariannya rusak luar biasa. Kita di Timur mewarisi agama kuno dan kebudayaan tua, tetapi semua itu hasil dari manusia yang sudah berdosa. Kita tidak mudah melepaskannya. Segala noda ini diwariskan juga daripada nenek moyang kita hingga ke diri kita. Mari kita belajar kesungguhan. Keluarga yang suka menerima tamu adalah keluarga yang sangat bahagia karena kita bisa memaparkan apa yang ada dalam keluarga kita. Kehidupan keluarga kita merupakan fakta yang bisa disorot, sehingga tidak bisa melarikan diri dan semua cacat bisa terlihat oleh orang lain. Keluarga yang tidak mau menerima tamu dan tidak suka diketahui orang lain adalah keluarga yang sulit membereskan diri dari berbagai kepalsuan di dalamnya. Maka, pertama-tama kita melihat bahwa kesejatian harus mempunyai tempat yang penting di dalam ukuran kita mendidik anak kita masing-masing, sehingga dengan demikian anak kita menjadi anak yang jujur, yang sungguh-sungguh, mempunyai motivasi yang benar dan ikhlas dalam segala sesuatu.

Kedua, lampu merah keegoisan. Jangan biarkan anak egois, hidup hanya mementingkan diri sendiri, tidak memikirkan untung rugi orang lain. Saya sangat senang melihat anak-anak yang memiliki hati yang luas, yang mau berbagi, mau melihat keadaan yang lebih luas, melihat keuntungan dan kebahagiaan orang lain, karena saya melihat anak ini adalah anak yang diberkati oleh Tuhan. Alkitab dengan jelas mengatakan: “Berilah kepada orang lain, maka engkau akan diberi oleh Tuhan Allah.” Bagi Alkitab, siapa yang tidak memberi, kepadanya juga tidak akan diberi. Orang yang pelit, hanya mementingkan diri sendiri, tidak memikirkan orang lain, akan sulit mendapat berkat dari Tuhan. Terkadang saya sengaja meminta anak membagikan kepada temannya sesuatu yang saya beri kepadanya. Lalu saya lihat reaksinya bagaimana. Kita harus mendidik dan membiasakan anak-anak rela mengorbankan diri dan rela berbagi dengan orang lain. Hidup sejati adalah hidup yang berbagi dengan orang lain.

Sukacita kita tidak mungkin sempurna jika tidak pernah dibagikan kepada orang lain. Berkat dan bahagia tidak mungkin mempunyai sifat kekekalan jika hanya untuk diri sendiri. Bahaya hidup terkurung di dalam diri yang menjadi pusat; sebaliknya indah bila bisa belajar memancar keluar sehingga hidup bisa berbagi dengan orang lain. Barang siapa hanya mementingkan diri sendiri, orang itu sedang menyempitkan jalan di depannya. Barang siapa terlalu menghitung untung rugi diri sendiri dan tidak peduli orang lain tidak mungkin diberkati oleh Tuhan. “Mengalir ke bawah, tajam di atas.”

Dulu saya tidak mengerti apa yang dimaksud. Mengalir ke bawah berarti berkat Allah turun dari atas ke bawah, dan bagian atasnya tajam. Tidak ada alat yang mengisi sesuatu bawahnya tajam bagai kerucut terbalik. Kerucut atasnya luas, bawahnya tajam, jika dipakai untuk mengisi sesuatu. Tetapi jika mau dituang isinya, maka posisinya dibalik menjadi kerucut dengan tajam di atas. Dengan di atas tajam, berarti tidak ada lagi yang tersisa di atas, semua mengalir ke bawah. Ada orang ingin rumahnya membawa keuntungan dengan ingin depannya kecil belakangnya lebar, dengan demikian berkat yang masuk tidak bisa keluar. Itu semua omong kosong. Bagaimana kalau yang masuk bukan keuntungan tetapi setan. Setan banyak masuk dan tidak bisa keluar. Mari kita berjanji jika engkau diberi oleh Tuhan, engkau mau membagikan itu dengan orang lain juga. Tuhan mempercayakan berkat-Nya kepadamu untuk engkau bisa menjadi berkat bagi orang lain. Baiklah kita mendidik anak-anak kita dari kecil supaya mereka memiliki hati yang lapang dan mau berbagi dengan orang lain.

Ketiga, lampu merah kemalasan. Kita harus waspada jika anak kita mulai malas dan tidak rajin. Tuhan tidak pernah memberkati orang malas. Orang malas yang sendiri tidak mau membanting tulang, tetapi hanya mau menikmati hasil orang lain. Orang seperti ini tidak mungkin bahagia, meskipun dia boleh menerima segala sesuatu secara mudah atau mendapat uang banyak. Ada syair yang indah berkata: “Jika aku seorang kaya raya, tidak pernah bekerja mendapat segala sesuatu; aku tidak pernah mungkin bisa mengetahui manisnya roti yang dibeli dengan uang yang saya peroleh melalui membanting tulang.” Kita mungkin makan roti yang enak, tetapi manisnya lain dari manisnya ketika saya sudah membanting tulang untuk mendapatkannya. Itu sebabnya, orang yang mendapat warisan besar jangan sombong; dan orang yang bekerja berat janganlah minder. Di situlah terletak keadilan yang melampaui keadilan yang kelihatan, karena Tuhan memberikan kenikmatan yang luar biasa. Lalu syair itu melanjutkan: “Jika aku kaya raya, begitu kayanya sampai tidak pernah mengetahui istriku menikah dengan saya atau dengan uang saya.” Jika engkau mempunyai sesuatu kesungguhan di mana bukan ditambah dengan uang untuk mendapatkan cinta. Cinta bukan karena uang, tetapi karena engkau, keluarga itu menjadi berkat bagi banyak orang.

Saya mengenal seorang tokoh bisnis besar yang sangat kaya. Ketika anaknya sekolah di Amerika Serikat jatuh cinta dengan seorang gadis. Ia sengaja menjadi seorang yang begitu sederhana, terlihat begitu miskin. Dia tidak pernah memamerkan kekayaannya. Wanita itu juga mencintai dia dan sungguh-sungguh mau hidup dengan dia, dengan tulus dan sungguh-sungguh mau bekerja berat. Menjelang menikah ia membawa calon istrinya pulang ke Manila dan sangat terkejut. Dia mengatakan sengaja menjadi orang sederhana untuk mengetahui gadis yang sungguh-sungguh cinta kepada dia dan bukan uangnya. Kebahagiaan tidak terletak kepada kekayaan dunia ini, tetapi kita harus membiarkan Alkitab mengajar mereka membiasakan diri rajin mengerjakan apa yang harus dikerjakan. Khususnya, orang-orang yang agak kaya tidak boleh malas. Engkau harus memilih guru-guru yang ketat. Jangan karena kaya, guru-guru hanya mau uangmu dan tidak peduli bagaimana mendidik disiplin anakmu. Juga jangan membela anak. Jangan karena kita memiliki kedudukan atau jabatan dalam masyarakat kita mempunyai kelonggaran sehingga anak kita boleh tidak disiplin.

Satu kali di sebuah kota besar di Indonesia, seorang anak komandan dihukum oleh gurunya. Gurunya tidak peduli dia anak siapa. Anak itu berteriak teriak dan mengadu. Ayahnya marah dan mendatangi guru itu. Dia menunjukkan bahwa ia adalah komandan dan marah kepada guru yang menghukum anaknya. Guru itu menjawab: “Saya menghukum anak Anda seperti saya menghukum semua anak-anak yang lain juga berdasarkan prinsip keadilan dalam sekolah ini. Saya tahu engkau komandan. Tetapi engkau komandan di kantormu, dan saya komandan di kelas ini. Kalau tidak senang dengan sekolah ini, silakan bawa anakmu pulang dan pindah ke sekolah lain.” Komandan itu pulang tidak bisa berbuat apa-apa. Guru itu mengatakan kebenaran.

Satu kali di Amerika Serikat seorang anak pembesar dari Asia menabrak mati seseorang. Maka anak itu ditangkap dan diadili. Ketika diadili, utusan duta besar datang dan meminta kepada jaksa untuk meringankan hukuman, karena anak ini adalah anak menteri. Dijawab oleh jaksa itu dengan kalimat yang sangat menakutkan: “Jangan kira anak menteri negara Anda boleh sembarangan menabrak mati seseorang di negara ini. Terus terang saya katakan kepadamu bahwa apa yang engkau katakan itu telah menjadi penghinaan terhadap hukum negara ini. Tahukah Anda di negara ini, jika presiden sekalipun menabrak orang akan diadili.” Hal seperti ini mengajarkan kepada kita bahwa jangan memakai hak istimewa karena kita memiliki kedudukan lebih tinggi, atau kekayaan lebih banyak, atau punya kualitas tertentu lebih dari orang lain. Akibatnya, anak kita malas dan tidak memiliki rasa tanggung jawab. Kita harus mendidik mereka dari kecil tidak boleh melarikan diri dari fakta dan kewajiban, tetapi dididik memiliki keberanian untuk menghadapi fakta dan berani menghadapi kesulitan. Itu menjadikan anak itu dewasa. Kita perlu mendidik anak-anak dari kecil mempunyai watak yang agung.

Keempat, lampu merah ketamakan. Kita harus mewaspadai jika anak-anak kita mulai menunjukkan gejala ketamakan. Ketamakan di Abad Pertengahan dipandang sebagai satu dari tujuh dosa yang membawa kematian kekal. Tamak berarti tidak pernah puas. Tidak pernah puas pada diri, tidak puas mendapat sesuatu yang tidak wajar, ingin mendapat hak milik orang lain. Saya bukan bermaksud kalau puas berarti tidak perlu berjuang. Perjuangan adalah hak yang Tuhan berikan kepada manusia. Perjuangan merupakan kewajiban ketika kita hidup di dalam dunia. Alkitab tidak melawan kita memiliki sesuatu; Alkitab juga tidak melawan kita berjuang untuk memperkembangkan usaha kita; tetapi Alkitab melawan kita mempunyai ketamakan atas kepunyaan orang lain. Alkitab melarang kita mencuri milik orang lain, menginginkan milik orang lain. Itulah sebabnya, kalau ada gejala seperti ini terlihat pada anak-anak kita, kita harus perhatikan. Saya melihat ada ayah memukul keras anaknya hanya karena anaknya mencuri satu bidak lawannya ketika main catur. Ini kenakalan kecil tetapi ayah itu melihat jauh ke depan bahwa itu adalah tindakan yang tidak adil.

Sifat ketamakan ialah mau mendapatkan keuntungan tanpa tanggung jawab. Orang ingin mendapat keuntungan melalui penipuan atau dengan cara yang tidak bermoral. Sikap ini berkembang menjadi pribadi yang tidak bertanggung jawab. Jika anak kita mencuri barang, kita harus perhatikan karena akan merusak dia seumur hidup. Seorang ibu mengajak anaknya cepat-cepat mengambil semua sabun, shampoo, korek api di hotel di mana mereka menginap. Ayahnya peka dan merasa kurang suka dan bertanya kepada saya. Memang bagi saya itu boleh saja diambil karena memang diberikan kepada kita, tetapi tidak baik kita didik anak yang masih kecil untuk cepat-cepat mengambil semua itu sebelum dibereskan oleh pelayan, karena nanti anak itu tidak bisa membedakan mana yang boleh mana tidak, dan cenderung mengambil apa saja di segala tempat.

Di Cebu ada pedagang yang sukses sekali. Dia anak bungsu yang diserahi menjadi Direktur Jendral (Dirjen) dan semua saudaranya setuju, karena ia selain punya kemampuan, yang terutama dia jujur. Ia jujur karena mendapat pelajaran mahal ketika masih kecil. Pada waktu kecil ia mencuri barang di supermarket. Begitu pandainya ia punya cara, sehingga bisa mencuri tanpa ketahuan. Tetapi kakaknya tahu dan melaporkan ke ibunya. Ibunya menanyakan hal itu kepada dia. Dia dengan bangga menceritakan bagaimana strateginya. Kemudian ibu itu menutup pintu dan menanyakan mana tangan yang dipakai untuk mencuri dan memukul tangan itu begitu keras dengan kayu, sampai luka-luka dan baru satu minggu sembuh. Ibunya mengajar dengan keras: “Dengan tangan yang dicipta oleh Tuhan engkau telah berbuat jahat dan dipakai setan. Mulai hari ini, saya tidak mau melihat lagi engkau mencuri.”

Begitu banyak orang tua yang terlalu longgar mendidik anak-anaknya, sehingga banyak hal-hal kecil yang akhirnya bertumbuh menjadi bahaya yang besar. Ketika kecil saya menyanyi satu lagu yang bagi saya aneh. Tetapi makin dewasa nyanyian itu makin menjadi semakin baik. Lagu berkata: “butir-butir kecil dari pasir, akhirnya menjadi gunung yang besar, tetesan-tetesan air yg kecil akhirnya menjadi lautan yg besar.” Demikianlah tumpukan dosa. Mulai dari hal kecil akan menjadi tombak besar yang menusuk hati kita ketika tua. Kalau kita tidak perhatikan, perkembangan ketamakan dari kecil akan merugikan diri kita di saat dewasa.

Kelima, lampu merah kesenangan melalui menganiaya. Ada orang-orang yang mendapatkan kenikmatan dan kesenangan melalui menganiaya binatang, benda-benda, atau bahkan orang lain. Orang-orang seperti ini berusaha mendapatkan kebahagiaan mereka melalui penyiksaan orang lain. Ia senang sekali kalau orang disiksa.

Wang Ming Tao adalah seorang hamba Tuhan yang terkenal dan disiksa dua puluh enam tahun di dalam penjara oleh orang-orang Komunis. Dia pernah mengajar agar kita berhati-hati dengan anak-anak kita. Kalau anak kita membunuh binatang tidak salah, apalagi jika itu tidak bersifat hama. Tetapi tidak boleh membunuhnya dengan menyiksa perlahan-lahan. Misalnya seorang anak membunuh seekor semut dengan cara mencabuti kakinya satu per satu. Allah mencipta binatang boleh dipekerjakan, dibunuh, dan dimakan, tetapi tidak boleh disiksa.

Albert Schweitzer, sekalipun kita tidak menyetujui pikiran theologinya, namun kita perlu menghargai etikanya. Ia mengajarkan “menghargai kehidupan”. Seekor anjing tidak boleh dipukul berlebihan, seekor semut jangan disiksa dengan dicabuti kakinya satu-satu, seekor kecoa yang kita jijik padanya jangan dipencet perlahan-lahan. Kebiasaan seperti ini kelihatan kecil namun akan menjadi kebiasaan yang sangat buruk, yang kalau dibiasakan dilakukan anak kecil, kelak akan bahagia jika ia besar dan dia lakukan ke orang dewasa.

Ada orang-orang yang akhirnya menjadi begitu gila karena terbiasa menyiksa orang lain. Seorang bekas presiden Uganda, Idi Amin, yang begitu benci kepada lawan politiknya, ketika ia berhasil membunuhnya, ia memerintahkan untuk mengambil jantungnya dan dimasak menjadi sop untuk ia makan. Orang yang jiwanya sudah tidak memiliki perikemanusiaan seperti ini adalah orang yang hatinya sudah rusak. Ini dimulai dengan ketika kecil ia tidak menghargai jiwa orang lain dan senang ketika melihat orang disiksa. Membangun kebahagiaan diri melalui penderitaan orang lain adalah tindakan bukan seorang agung (gentleman).

Alkitab mengajar kita untuk bersukacita dengan orang yang bersukacita dan bersedih dengan orang yang bersedih hati. Kita harus tertawa dengan orang yang tertawa dan menangis dengan orang yang menangis. Mana lebih mudah, tertawa bersama orang tertawa atau menangis dengan orang menangis? Kelihatannya sebagian besar orang akan beranggapan lebih mudah untuk tertawa bersama orang yang tertawa, ketimbang menangis bersama orang menangis. Tetapi ketika toko sebelahmu tertawa menjual tiga mobil dalam satu hari, sementara engkau menjual satu mobil dalam tiga bulan, apakah engkau bisa tertawa bersama dia? Tentu tidak mudah. Tetapi kita perlu pupuk sikap seperti ini sejak kecil. Di dalam hati saya memupuk diri agar tidak iri dan juga tidak menghina orang lain. Saya harus bisa menghadapi orang paling kaya sama seperti menghadapi orang yang sangat sederhana.

Di Malang, saya begitu akrab dengan para tukang beca, tetapi juga dengan para pejabat. Manusia harus dipersamakan. Jika kita memiliki hati yang tidak iri terhadap orang yang lebih sukses dari kita, dan sebaliknya bisa bersyukur kepada Tuhan dan mendoakan agar dia bisa menjalankan tanggung jawabnya di hadapan Tuhan, maka ia akan mengalami sukacita di hatinya. Jikalau kita melihat orang yang kurang dari kita, seharusnya kita tidak mengejek atau menghina dia, melainkan mendoakan dia agar bisa berkembang, berjuang untuk lebih baik dan bisa sukses.

Saya pernah berkhotbah kepada orang yang sangat kaya, tetapi juga pernah berkhotbah kepada para pengungsi yang begitu miskin dan tidak memiliki apa-apa, juga pernah khotbah kepada profesor-profesor dan kepada orang yang tidak berpendidikan. Saya berkhotbah dengan orang yang maju di kota, dan juga kepada mereka yang tinggal di pedalaman. Kita perlu memiliki hati yang lapang, tidak goyang ekor ketika melihat orang kaya atau orang yang berkedudukan tinggi. Mari kita belajar seperti Tuhan Yesus, ketika dia menjadi manusia menjadi teladan bagi kita semua.

Keenam, lampu merah trauma atau ketakutan hidup. Kita harus waspada adanya ketakutan atau trauma yang mewarnai jiwa anak-anak, sehingga mereka tidak memiliki kelapangan, keberanian, ketegasan untuk menghadapi segala sesuatu yang timpa kepada mereka. Ia sudah sering ketakutan dari kecil. Anak-anak jangan ditakut-takuti, jangan dibuat hatinya kecil. Di Manila ada orang yang sangat kaya, sehingga anak-anaknya hanya boleh pergi jika dikawal. Ia sangat kuatir anaknya diculik. Anaknya tidak boleh ikut acara apapun. Akhirnya, di usia 10 tahun anak itu seperti autisme, menutup diri dan tidak mempunyai kelapangan diri, tidak punya keberanian diri bergaul dengan orang lain. Anak ini terlalu ditakuti akan berbagai bahaya. Ia tidak berani keluar rumah dan ia hanya memikirkan segala hal yang negatif. Seumur hidup dia tidak memiliki iman kepercayaan dan konfidensi diri.

Ketika kita mengajar anak berjalan, pada awalnya memang kita pegang, tetapi sampai kakinya sudah cukup kuat, kita harus berani melepas dia. Ketika tangan kita lepas, mata kita tidak lepas dari dia. Maka, ketika ia akan jatuh atau akan mengalami bahaya, kita bisa segera menolong. Dengan ini, kita mendidik anak kita memiliki konfidensi (keyakinan). Ini penting sekali. Saya melihat ada orang yang berpotensi besar tetapi tidak bisa sukses karena ketakutan. Potensi membutuhkan keberanian untuk menggarap. Potensi tidak jalan akibat trauma ketakutan. Maka kita harus mendidik anak-anak untuk melihat segala kemungkinan ketimbang melihat ketidakmungkinan.

Dua orang mencari seorang dokter, dua-duanya bergejala sama, dan keduanya saling tidak mengenal satu terhadap yang lain. Tetapi dokter itu mengenal keduanya. Dokter ini heran, keduanya sakit sama, tetapi lain sikap hidupnya. Si A masuk dengan tangan kanan yang sudah putus. Dia berkata: “Dokter, saya tidak enak badan, semua tidak enak dari kepala sampai kaki.” Ditanya oleh dokter: “Apa yang kamu harapkan?” Ia jawab: “Saya tidak tahu, pokoknya semua tidak enak.” Ketika diperiksa dia tidak apa-apa. Dokter itu tanya apa yang terjadi dengan tangannya. Ia menjawab: “Jangan tanya dok, saya bisa menangis seperti lautan. Ini akibat perang Korea, kena peluru. Siapa mau nikah sama saya kalau sudah begini. Saya rasa hidup ini tidak berarti. Saya tidak tahu hidup bagaimana, tetapi bunuh diri juga takut.” Dokter ini tidak bisa membantu apa-apa, diberi obat lalu didoakan.

Tiga hari kemudian, B datang, kondisinya mirip seperti A. Ketika dokter tanya, dia menjawab: “Dok, sebenarnya tidak terlalu parah, hanya sedikit pusing. Obat apa ya yang mungkin baik menolong saya.” Dokter beri obat dan dia senang. Dia lalu tanya tentang tangannya, dan ia menjawab: “Oh ini ya, ada yang hilang ya dok. Ini kena peluru ketika perang Korea. Akhirnya terpaksa diamputasi.” Dokter tanya apakah ia sedih. “Ya dilihat jadi aneh, tapi heran dok, setelah kehilangan tangan ini, saya mulai lagi belajar menulis, mencuci, memakai kancing dan bisa. Bahkan saya bisa masak dan naik sepeda. Akhirnya saya mencoba memberanikan diri melamar seorang gadis yang cantik sekali. Dengan jujur saya katakan kepada dia apa yang saya alami. Ternyata dia mau menikah sama saya.”

Orang ini pikirannya sangat optimis. Kita perlu mendidik anak-anak kita berpikir optimis, berpikir positif, berpikir pengharapan, berpikir kemungkinan, dan tidak negatif atau murung. Murung-isme, putusasa-isme, pesimisme semua tidak benar. Iman menyanyi ketika malam gelap. Iman menyanyi ketika awan gelap menudung, saat matahari tak muncul, ketika kita harus menghadapi salib yang berat. Biarlah kita didik anak kita seperti ini.

Ketujuh, lampu merah ketidaktekunan. Sikap mengerjakan sesuatu dengan tidak tekun, cepat rasa gagal, mengerjakan sesuatu tanpa konsentrasi penuh, tidak sabar. Orang seperti ini tidak mempunyai kesuksesan besar. Didiklah anak agar mereka memiliki ketekunan, karena ini adalah hal yang penting sekali. Begitu banyak orang yang memiliki bakat, karunia atau talenta besar, akhirnya menjadi gagal total karena mereka tidak tekun.

Seorang mahasiswa theologi bertanya kepada saya: “Pak Stephen Tong, saya ingin pindah gereja.” Saya tanya mengapa. Ia jawab: “Saya sudah melayani 3 tahun di gereja ini. Pokoknya saya harus pindah sekarang, khotbah saya sudah habis. Jadi saya harus pindah ke gereja lain supaya khotbah lama saya bisa saya pakai lagi.” Lalu saya bilang: “Wah, kalau gitu kamu akan pindah setiap 2-3 tahun, karena selalu kehabisan khotbah. Kamu akan jadi pendeta keliling dunia nanti.” Saya sudah melayani Tuhan bertahun-tahun dan sudah mengajar sekolah theologi berpuluh tahun dan tidak kehabisan khotbah. Ketekunan, perlu ditanamkan di hati seseorang. Begitu banyak pemuda yang muluk-muluk, berapi-api, bersemangat tinggi, tetapi tidak tahan ujian waktu. Waktu adalah penguji yang paling tekun. Waktu adalah saksi yang paling jujur. Waktu juga adalah hakim yang tanpa kompromi. Di hadapan waktu yang panjang, semua orang harus menyatakan sifat asasimu sendiri. Jangan hanya besar di depan; jangan hanya muluk-muluk di awal; tetapi Tuhan ingin engkau berjalan sampai akhir.

Peribahasa Tionghoa berkata: “Jalan yang jauh, menyatakan tenaga kuda yang sesungguhnya.” Hari yang lama, waktu yang panjang, menyatakan hati manusia yang sesungguhnya. Tuhan memberkati kita ketika kita memiliki prinsip-prinsip yang begitu tangguh dari Alkitab, lalu memiliki apa yang ditunjukkan oleh Alkitab. Didiklah anak-anak kecil itu sejak mereka masih kecil, sehingga ketika mereka besar mereka tidak menyimpang. Semua apa yang kita pelajari sepertinya tidak ada hubungan dengan Alkitab. Tetapi saya tegaskan, bahwa semua pelajaran psikologi atau pedagogi yang tidak kembali ke Alkitab tidak mungkin memiliki kesuksesan yang sungguh. Semua yang saya katakan sebagai “lampu merah” adalah hal-hal yang melawan sifat Ilahi. Ketika kita mengatakan bahwa kesejatian itu sifat Allah; rajin, tekun, dan bertanggung jawab adalah sifat Allah. Kita mengatakan kebenaran, kesucian, dan menyatakan cinta kasih. Karena manusia dicipta menurut peta teladan Allah, maka pendidikan mempunyai suatu sasaran, mendidik anak supaya mereka menjadi seperti Allah. Menyatakan Allah, merefleksikan keindahan, dan kemuliaan Allah di dalam dunia yang penuh dengan dosa ini. Kiranya Tuhan memberikan kekuatan kepada kita untuk mendidik anak-anak kita. Amin.

Sumber : file:///D:/3.%20Bahan%20Tulisan/sekilas-kin-2014-06.pdf