… Sebelumnya

Lalu muncullah sifat lain yang ingin melebihi sifat pertama, yaitu sifat agama. Sifat agama bukan saja memberikan rasa tanggung jawab moral dan kelakuan, memberikan “rasa” kekal yang melampaui kesementaraan, tetapi juga memberikan arah ibadah kepada Dia yang kekal. Lalu apakah akibat dari sifat agama ini?

Kita berharap bahwa di balik fakta yang menaklukkan kita dan pengalaman yang kejam itu terdapat sesuatu yang melampaui semua ini, sehingga pada waktu kita tinggalkan dunia ini kita masih tetap berada, bahkan sampai selama-lamanya, di dalam kebahagiaan yang kekal, di dalam nilai pengharapan yang kekal. Itulah sebabnya segala yang bersifat masyarakat, politis maupun ekonomis tidak mampu membasmi yang bersifat budaya dan agama. Manusia disebut manusia karena ia dapat melampaui dan menaklukkan alam. Manusia yang hanya bisa menaklukkan alam tidak termasuk orang hebat. Hanya mereka yang bisa melampaui alam baru disebut orang hebat. Jadi kita bukan hanya memiliki hukum untuk menaklukkan alam, tetapi juga memiliki arah dan hukum kekal.

Dengan demikian barulah kita memiliki pengharapan dan arah yang kekal. Kita telah membahas tentang pentingnya sifat budaya dan sifat agama dengan jelas. Dari mana sifat agama? Dari mana sifat budaya? Kita tidak boleh menganggap sifat budaya dan sifat agama sebagai produk alam atau produk dari proses evolusi. Bukan saja orang Kristen menolak pendapat ini, bahkan para ahli evoulsi juga  mengakui bahwa sifat ini sendiri pasti mempunyai sumber lain, dan sumber itu adalah Allah yang menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya.

Manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah. Keberadaan Allah adalah dasar dari sifat budaya dan sifat agama. Allah adalah sumber utama dari sifat budaya dan sifat agama manusia. Sifat budaya dan sifat agama membuat manusia tidak bisa tidak memikirkan tentang kebenaran-kebenaran penting, seperti keberadaan Allah dan hubungan langsung antara manusia dengan- Nya. Ahli agama memikirkan tentang Allah, demikian juga para ahli kebudayaan. Ahli agama merenungkan tentang relasi manusia dengan kekekalan, ahli kebudayaan merenungkan tentang nilai kekekalan itu sendiri. Ahli agama merenungkan tentang hal-hal yang melampaui alam, ahli kebudayaan juga merenungkan bagaimana menaklukkan alam.

Agama dan kebudayaan mempunyai topik dan wawasan pemikiran yang sama, tapi apakah agama itu kebudayaan, atau kebudayaan itu agama? Bolehkah kita memperlakukan kebudayaan sebagai agama, atau memperlakukan agama sebagai kebudayaan? Bolehkah kita membudayakan agama atau ‘mengagamakan’ budaya? Apakah agama yang sudah dibudayakan adalah agama murni atau kebudayaan yang sudah diagamakan adalah kebudayaan yang murni? Siapakah yang menetapkan jaminan dari sifat agama ini? Siapakah yang menetapkan nilai dari sifat budaya? Di sepanjang sejarah, manusia terus ‘mengorek-ngorek’ kebudayaan yang dulu untuk dikukuhkan ulang atau ditolak ulang. Tatkala orang Spanyol ingin  memperingati jasa Columbus yang ke 500 tahun, banyak orang menolak karena menganggap dia sebagai seorang pembunuh, seorang berambisi besar dan seorang perampok. Jadi siapakah Columbus, pahlawan atau penjahat? Ini relatif sekali.

Penetapan nilai sifat agama dan sifat budaya tidak dilakukan oleh manusia, karena manusia bersifat relatif, tidak berkuasa dan berkemampuan untuk memberikan penetapan yang mutlak. Penetapan itu hanya dapat dilakukan oleh Allah. Apakah dasar dari penetapan itu? Kedaulatan dan wahyu Allah yang mutlak bijaksana. Kedaulatan Allah yang mutlak dan wahyu-Nya yang penuh hikmat bukan saja menetapkan, tapi juga memberikan inspirasi dan menggerakkan. Dengan inisiatif-Nya sendiri Allah memberikan inspirasi berdasarkan kedaulatan-Nya untuk menyatakan hikmat-Nya, yang adalah sumber dari kebudayaan. Agama dan kebudayaan adalah respons manusia terhadap wahyu Allah, yaitu wahyu umum yang berbeda dengan wahyu khusus. Wahyu khusus berkaitan dengan keselamatan. Kita sedang  membahas mengenai wahyu umum. Ketika wahyu umum diberikan, manusia berespons. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat berespons kepada Allah.

Pernahkah saudara mengunjungi pameran lukisan, pameran barang-barang seni, pameran sutera, atau pameran barangbarang antik? Ada sebagian orang yang melihat-lihat lalu pergi, sama sekali tidak memberikan respons, tapi ada yang sambil melihat sambil menyatakan kekagumannya, lalu mulai berbicara dan berkomentar. Hal ini menunjukkan bahwa dia mulai berespons. Pernahkah kita melihat seekor  kucing yang bisa berdialog dengan barang-barang seni? Sekalipun kita membawa seekor anjing yang sangat pandai ke museum seni, dia tidak akan berespons, karena kemampuan untuk berespons hanya ada pada manusia. Tatkala orang sedang membahas sebuah topik penting, apakah Anda menerima apa yang dibahasnya atau Anda hanya memperhatikan kesalahan tata bahasanya? Manusia yang bisa berespons terhadap wahyu, menggunakan sifat manusia yang Allah ciptakan dengan baik. Mengapa ada orang yang sambil membaca Alkitab sambil mengumpat kekristenan? Karena dia tidak dapat menerima kebenaran yang ada di dalamnya, dan dia hanya mencari kesalahan saja. Pada saat orang sama sekali tidak tergerak ketika mendengarkan kebenaran yang penting,  permasalahannya bukan terdapat pada kebenaran itu tetapi pada dirinya sendiri.

Wahyu umum yang diwahyukan Allah sudah selayaknya direspons. Manusia adalah satu satunya makhluk yang dapat berespons terhadap wahyu Allah. Jika manusia tidak memanfaatkan fungsi respons ini, hidupnya pasti sangat mekanis, superficial, dan membosankan. Meskipun dia mungkin dapat menikmati kebahagiaan dari materi yang jasmani, dari yang sementara, dan yang bersifat sensasi, tetapi dia tetap mendapati bahwa hidupnya hampa. Respons manusia terhadap Allah akan timbul dalam dua segi, yaitu respons eksternal dan respons internal. Respons eksternal terhadap wahyu umum Allah timbul melalui tindakan atau aktivitas berbudaya. Respons internal terhadap wahyu umum Allah timbul melalui aktivitas agama.

Secara ketat dapat dikatakan, bahwa kebudayaan dan agama adalah respons dasar manusia terhadap wahyu umum Allah. Jika kita tidak menemukan hubungan dan penyebabnya, kita cenderung menganggap agama sebagai suatu hal yang biasa, padahal tidaklah demikian. Renungan yang paling mendalam bagi seorang ahli agama adalah hubungan antara Allah dan manusia, dan bagi seorang ahli kebudayaan adalah bagaimana memanifestasikan Allah. Dengan demikian agama merupakan suatu perasaan yang agak bersifat internal, perasaan yang menerima wahyu, sedangkan kebudayaan merupakan semacam ekspresi eksternal. Itulah sebabnya sebuah karya sastra yang agung akan mengungkapkan hubungan manusia dengan Allah, yang melampaui sejarah dan transendental. Karya seni yang agung bukan sekadar mengekspresikan perasaan rohani yang terdapat di dalam sifat manusia, tapi juga mengekspresikan hubungan antara perasaan tersebut dengan Allah. Semua hal yang melampaui alam jelas bukan merupakan produk alam, melainkan berasal dari Allah yang transenden. Maka manusia harus berespons terhadap Allah. Inilah yang dikatakan sebagai yang berasal dari Dia, bergantung pada Dia, dan bagi Dia. Alkitab mengatakan, “manusia dicipta oleh Allah, melalui Allah, bersandar pada Allah, dan bagi Allah.” (Roma 11:36).

Pusat dari kebudayaan dan agama adalah hikmat Allah sendiri. Manusia dapat mengekspresikan hikmat Allah dan dapat mengenal Allah melaui hikmat-Nya. Agama dan kebudayaan mencapai puncaknya dengan adanya kesadaran akan nilai. Manusia beragama adalah manusia yang mempunyai hikmat. Mereka yang memiliki bakat melukis atau mengarang lagu yang agung merupakan orang yang memiliki hikmat. Tetapi sampai di manakah manusia menuntut hikmat? Siapakah pusat hikmat yang dicarinya? Alkitab langsung memberitahukan kita bahwa pusat hikmat adalah Yesus Kristus.

Respons terhadap wahyu umum Allah membuat manusia menemukan tiga jenis kewajiban yang harus dipenuhinya. Kewajiban pertama adalah karena keberadaan diri, keberadaan transcending nature, yaitu keberadaan untuk menopang alam. Jadi manusia bukan hanya sekadar mengontrol dan mengatur alam saja, tetapi juga memperbaiki alam. Alkitab mengajukan tiga prinsip: mengelola, mengatur, dan memperbaiki. Kita mengatur alam, berarti kita harus menjadi tuan atas alam. Kita mengelola alam berarti kita berkewajiban untuk mengurus dan mengatur alam. Kita memperbaiki alam berarti kita berkewajiban memperbaiki, memelihara, dan melindungi alam.

Memasuki akhir abad ke-21, kita mendapati bahwa krisis karena perusakan alam sudah berada di depan kita. Ini berarti bahwa kita tidak melaksanakan prinsip penciptaan Allah yang terdapat dalam Kejadian 1 dan 2. Saat kita mencapai puncak kemajuan teknologi, kita juga mendapati ketidakberdayaan manusia untuk mengatur dan melindungi alam dengan baik dan indah ini. Jika kebudayaan tidak mengaku telah dikuasai oleh kejatuhan, berarti kebudayaan telah menipu diri sendiri, juga menipu orang lain.

Kewajiban yang kedua adalah bagaimana kita mengurus diri sendiri. Bagaimana kita membatasi diri sehingga kita menjadi manusia yang bertanggung jawab, baik terhadap alam, diri sendiri, orang lain, dan Allah. Mengatur diri sendiri berada di atas hal mengatur alam.

Yang ketiga, kuasa mengatur alam dan diri sendiri menimbulkan respons beribadah dan takut kepada Allah.

“Saya bersyukur kepada-Mu karena alam. Saya mau bertanggung jawab atas alam karena Engkau telah mempercayakan soal mengatur alam ini kepadaku. Saya memuliakan-Mu karena rahasia yang kudapatkan pada saat meneliti alam. Saya merasa kagum terhadap rahasia, hikmat, dan desain penciptaan yang tersembunyi dalam alam.”

Akibat penemuan terhadap rahasia ciptaan adalah rasa takut kepada Allah, Pencipta alam semesta. Wujud nyata dari takut kepada Allah adalah rasa tanggung jawab terhadap alam. Ini adalah kelakuan yang harus dimiliki oleh seorang ilmuwan. Ilmuwan mewakili seluruh umat manusia untuk menemukan fungsi yang Tuhan berikan pada manusia dalam hal mengatur, memahami, dan memperbaiki alam. Sedangkan ahli agama mewakili seluruh umat manusia untuk mengembalikan kemuliaan kepada Allah. Dengan demikian agama dan kebudayaan telah melakukan fungsi yang sebenarnya.

Di dalam proses hukum alam, baik kebudayaan maupun agama telah berusaha dengan keras. Namun terjadi sesuatu yang ironis, yaitu bahwa apa yang seharusnya dicapai oleh kebudayaan justru tidak tercapai, dan apa yang seharusnya dicapai oleh agama tidak tercapai dengan sungguh. Ini berarti bahwa di dalam tugas mengatur alam, manusia menemukan dirinya tidak berdaya menaklukkan alam maupun dirinya sendiri. Di dalam proses mengelola dan mengatur alam, manusia justru menjadi perusak alam yang paling hebat.

Di manakah posisi manusia di tengah-tengah alam ini? Apa yang harus manusia lakukan di bidang kebudayaan? Pada saat orang utan merusak barang kita, atau ketika anjing kita memecahkan barang yang berharga, kita ingin membunuhnya. Tetapi jika dipikir, kita menyadari bahwa mereka tidak mempunyai rasio maupun latar belakang kebudayaan, sehingga meskipun kita marah setengah mati tetapi tidak bisa berbuat apa-apa (red – maklum). Kuasa merusak alam yang manakah yang lebih hebat: kuasa manusia atau binatang? Manusia mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk merusak alam. Alam semesta hari ini bukan dirusak oleh binatang tapi oleh manusia. Limbah air sungai dari daerah industri yang telah tercemar mengalir ke laut, sehingga makhluk di lautan tercemar oleh merkuri, dan hasil laut di sana menyimpan racun-racun kimia. Bukan saja demikian, hari ini pencemaran udara yang terjadi di kota-kota besar Asia telah beberapa kali lebih parah dari Meksiko. Kita tahu soal ozon, juga soal pembabatan hutan-hutan tropis, yang semuanya disebabkan oleh ulah manusia. Allah berfirman: “Hai manusia, kelolalah alam, aturlah alam.” Sudahkah manusia mengelola alam dengan sukses? Tidak! Sudahkah manusia sukses menaklukkan alam? Manusia sudah menaklukkan sebagian, tetapi sudah congkak sebelum sungguh-sungguh sukses. Saat mengalami banyak kegagalan, mereka mulai marah terhadap Allah.

Apa artinya tidak berhasil menaklukkan alam? Apa arti ketidakseimbangan antara menaklukkan dan mengatur alam? Mengapa kuasa perusakan kita terhadap alam demikian besar? Hanya ada satu jawaban: kejatuhan manusia dalam dosa merupakan sebuah fakta. Jika kejatuhan bukan merupakan fakta, mengapa hari ini terjadi ketidakseimbangan yang begitu parah? Akhirnya kita tiba pada pertanyaan: di manakah posisi manusia yang sebenarnya? Jika posisi asal manusia ada pada sifat kebinatangan yang mengerikan itu, seharusnya kita merasa sangat bangga terhadap keberhasilan kita. Tetapi apakah posisi asal manusia memang demikian? Jika benar demikian, adakah keberadaan evolusi di dalam proses sejarah kita yang begitu panjang? Mengapa Perjanjian Lama sama sekali tidak menyinggung akan pandangan ini? Alkitab orang Kristen memberitahukan bahwa leluhur kita lebih tinggi dari kita. Meskipun hari ini ada keberhasilan yang hebat di bidang kebudayaan, ilmiah, dan teknologi, tetapi hal itu tidak mampu membawa manusia pada posisi asal pada saat diciptakan.

Apakah lawan kata dari kejatuhan? Evolusi. Evolusi bukan saja merupakan topik ilmu alam, tetapi juga merupakan masalah theologi. Kita memang tidak boleh sembarangan mengkritik hal ilmiah karena hal tersebut tidak dilakukan oleh orangorang yang sungguh mencintai kebenaran. Tetapi kita juga tidak boleh menerima hal yang tidak ilmiah sebagai hal ilmiah. Jika evolusi benar, maka kejatuhan tentu salah. Jika evolusi salah, maka kejatuhan benar. Apakah manusia yang tadinya rendah lalu berevolusi dan mencapai puncaknya pada hari ini? Atau, manusia justru dari posisi asal yang tinggi kemudian jatuh ke posisi yang demikian rendah? Ini adalah topik yang sangat penting dan perlu direnungkan. Pertanyaan pertama yang diajukan pada manusia yang telah berdosa, “Di manakah engkau?” (Kej. 3:9) menunjukkan posisi manusia dari tempat yang tinggi merosot ke tempat yang rendah! Apakah kebudayaan timbul dari kejatuhan? Apakah kebudayaan mengandung benih kejatuhan? Apakah hasil dari kebudayaan tidak terluput dari unsur kejatuhan? Saya berharap agar pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat merangsang kita untuk lebih banyak berpikir.

Sumber : Sekilas Kin, 10 Nopember 2013