Bagi Wajib Pajak Surat Pemberitahuan (SPT) bukanlah sesuatu yang baru, SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan (Pasal 1 butir 10 UU KUP).  SPT terdiri atas :

  • SPT Tahunan, SPT untuk suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak
  • SPT Masa, SPT untuk suatu masa pajak

Baru-baru ini dengan motivasi menyederhanakan administrasi pengelolaan SPT (ease of doing business) serta memberi kepastian hukum maka dipandang perlu melakukan perubahan terkait SPT. Adalah melalui Peraturan Menteri Keuangan nomor 9/PMK.03/2018 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) yang berlaku sejak 26 Januari 2018. Tentang apa perubahan yang dilakukan akan dituangkan dalam tulisan berikut, semoga memberi informasi yang bermanfaat.

Jenis Surat Pemberitahuan (SPT)

Bentuk SPT sekarang ini  adalah SPT berbentuk elektronik dan SPT berbentuk formulir kertas (hardcopy). Sementara SPT terdiri atas 2 (dua) jenis yaitu :

a. Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa)

SPT Masa terdiri dari :

  1. SPT Masa PPh
  2. SPT Masa PPN; dan
  3. SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN

b. Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan)

SPT Tahunan terdiri atas SPT Tahunan PPh Orang Pribadi dan SPT Tahunan PPh Badan, sementara bentuk SPT Tahunan terbaru adalah :

  1. SPT Tahunan PPh untuk satu Tahun Pajak; dan
  2. SPT Tahunan PPh untuk Bagian Tahun Pajak

Istilah yang baru adalah SPT Tahunan PPh untuk Bagian Tahun Pajak, penyebutan istilah bagian tahun pajak adalah untuk kondisi sebagai berikut :

  • menggunakan tahun kalender, dalam hal Bagian Tahun Pajak meliputi 1 (satu) tahun kalender;
  • menggunakan tahun kalender yang di dalamnya memuat jumlah bulan yang lebih banyak dalam bagian Tahun Pajak meliputi 2 (dua) tahun kalender yang berbeda; atau
  • menggunakan tahun kalender pertama, dalam hal Bagian Tahun Pajak meliputi 2 (dua) tahun kalender dengan jumlah bulan yang sama pada masing-masing tahun kalender.

Kewajiban Pelaporan SPT Masa Secara Elektronik

a.  SPT Masa PPh 21 dan/atau Pasal 26

Kewajiban pelaporan menggunakan SPT Masa 21/26 bentuk elektronik bagi pemotong pajak adalah yang memenuhi kriteria sebagai berikut :

  • jika jumlah yang dipotong lebih dari 20 (dua puluh) orang dalam 1 (satu) Masa Pajak;
  • Jika jumlah bukti pemotongan (Non Final atau final) yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) orang dalam 1 (satu) Masa Pajak;
  • jika jumlah setoran dengan SSP atau sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan SSP yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) Masa Pajak.

b. SPT Masa PPh 23 dan/atau Pasal 26

Kewajiban pelaporan menggunakan SPT Masa 23/26 bentuk elektronik bagi pemotong pajak adalah  yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

  • jika menerbitkan bukti pemotongan lebih dari  20 (dua puluh) orang dalam 1 (satu) Masa Pajak; dan/atau
  • jumlah penghasilan bruto yang menjadi dasar pengenaan PPh lebih dari Rp 100 Juta (seratus juta rupiah) dalam satu bukti pemotongan.

c. SPT Masa PPN dan SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN

  • SPT Masa PPN wajib disampaikan oleh setiap Pengusaha Kena Pajak dalam bentuk dokumen elektronik.
  • Dan untuk  SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN wajib disampaikan oleh setiap pemungut PPN selain bendahara Pemerintah, dalam bentuk dokumen elektronik.

SPT Masa dalam bentuk dokumen elektronik wajib disampaikan oleh Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

  • Wajib Pajak terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, dan Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
    Pajak Wajib Pajak Besar; dan/atau
  • Wajib Pajak dimaksud pernah menyampaikan SPT Masa dalam bentuk dokumen elektronik.

d. SPT Tahunan

Kriteria Wajib Pajak yang Wajib menggunakan SPT Tahunan dalam bentuk elektronik adalah sepanjang Wajib Pajak memenuhi kriteria :

  • diwajibkan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/ atau PPh Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik;
  • diwajibkan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau PPh Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik;
  • diwajibkan menyampaikan SPT Masa PPN dalam bentuk dokumen elektronik;
  • Wajib Pajak pernah menyampaikan SPT Tahunan dalam · bentuk dokumen
    elektronik;
  • terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, dan Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
    Pajak Wajib Pajak Besar;
  • menggunakan jasa konsultan pajak dalam pemenuhan kewajiban pengisian SPT Tahunan PPh; dan/ atau
  • laporan keuangannya diaudit oleh akuntan publik.

Direktorat Jenderal Pajak tidak memberikan bukti penerimaan SPT terhadap Wajib Pajak yang diwajibkan untuk menyampaikan SPT dalam bentuk dokumen elektronik, namun Wajib Pajak bersangkutan tetap menyampaikan .SPT dalam bentuk formulir kertas (hardcopy). Terhadap Wajib Pajak jenis ini dianggap tidak menyampaikan SPT.

Terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kriteria untuk menyampaikan SPT dalam bentuk dokumen elektronik sebagimana dijelaskan di atas, dapat menyampaikan SPT dalam bentuk formulir kertas (hardcopy).

Kewajiban Pelaporan SPT Masa & Pengecualian

a. Wajib Lapor

Wajib Pajak orang pribadi atau badan, baik yang melakukan pembayaran pajak sendiri maupun yang ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut PPh, wajib melaporkan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir, yaitu atas:

  • PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong;
  • PPh Pasal 4 ayat (2) yang dibayar sendiri;
  • PPh Pasal 15 yang dipotong;
  • PPh Pasal 15 yang dibayar sendiri;
  • PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yang dipotong;
  • PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 yang dipotong; dan/atau
  • PPh Pasal 25 dibayar (bila belum mendapat validasi),

Kewajiban pelaporan berlaku juga bagi Wajib Pajak tertentu dan kondisi-kondisi sebagai berikut :

  • Wajib Pajak badan tertentu sebagai pemungut pajak wajib melaporkan PPh Pasal 22 yang dipungut dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 22 paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
  • Bendahara wajib melaporkan PPh Pasal 22 yang dipungut dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 22 paling lama 20 ( dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
  • Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak, PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/ atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, dan PPN kegiatan membangun sendiri dengan menggunakan SPT Masa PPN, paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
  • Pemungut PPN wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah dipungut, ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemungut PPN terdaftar paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
  • Pemungut Pajak PPh Pasal 22 , PPN atau PPN dan PPnBM atas impor wajib melaporkan hasil pemungutannya secara mingguan paling lama pada hari kerja terakhir minggu berikutnya.
  • Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir (bila belum mendapat validasi).
  • Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/ atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang telah disetor, paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak (bila belum mendapat validasi).

b. Pengecualian Wajib Lapor

Bagi Wajib Pajak perlu mengetahui hal ini karena seperti kita ketahui Account Representative sekarang bekerja menggunakan tools dan jika tools ini tidak segera diupdate kemungkinan diterbitkan Surat Tagihan Pajak dan Wajib Pajak bisa segera mengatasinya tanpa perlu membayar.

  • Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan PPh Pasal 21 dan/ atau PPh Pasal 26 yang dipotong  tidak berlaku dalam hal jumlah PPh Pasal 21 dan/ atau PPh Pasal 26 yang dipotong pada Masa Pajak yang bersangkutan nihil, kecuali nihil tersebut dikarenakan adanya Surat Keterangan Domisili (Certificate Of Domicile).
  • Wajib Pajak dengan angsuran PPh Pasal 25 nihil dikecualikan dari kewajiban pelaporan SPT Masa PPh Pasal 25.
  • Pemungut PPN dikecualikan dari kewajiban pelaporan SPT Masa PPN, dalam hal pada suatu Masa Pajak tidak terdapat transaksi yang wajib dipungut PPN dan/atau PPnBM.

 

Download aturan Terkait :

Artikel Terkait :