BAB 1 :
KEADILAN DAN KEBENARAN (1)
EPISTEMOLOGI PENCARIAN KEADILAN DAN KEBENARAN

Apakah arti “keadilan”? Apakah sebenarnya “kebenaran yang merupakan sifat keadilan” ini? Mari kita perhatikan satu hal: semua agama, baik Buddhisme, Hinduisme, Konfusianisme, Zoroasterisme, Shintoisme, Yudaisme, Kekristenan maupun Islam, mempunyai semacam keberanian untuk mengklaim diri sedang menyadari dan mengabarkan kebenaran. Pada waktu mengajar, setiap agama mempunyai suatu pra-anggapan bahwa mereka sedang mengajar “kebenaran”.

Kebenaran dari agama-agama itu selalu menjadi suatu pokok yang menjadikan mereka berani menuntut penganut agamanya untuk berjalan, bertindak, dan hidup sesuai dengan pokok yang diajarkan itu. Dengan demikian, setiap alim ulama atau pendeta atau biksu, setiap pemimpin di masjid, di kuil, atau di gereja, ketika mengajar, dia menganggap perkataannya, yang berdasarkan kitab dan iman yang dipercayainya, harus menjadi standar dan ukuran untuk menilai etika manusia.

Tetapi pertanyaannya, “Apakah suatu agama, yang dianggap mewakili kebenaran itu sendiri, berbeda atau sama dengan agama yang lain?” Jawabannya adalah tidak sama. Sehingga apa yang dianggap tidak benar di dalam agama tertentu belum tentu benar diterima oleh agama lain; apa yang dianggap tidak benar oleh agama yang satu, justru dianggap benar oleh agama yang lain. Kalau begitu, apakah ukuran-ukuran yang ada di dalam agama ini perlu diukur kembali? Sebab rasio dan potensi-potensi yang ada pada otak semua orang itu, pada saat dipaparkan, masing-masing mempunyai standar yang berbeda. Namun kita memakai rasio itu untuk mengukur kepercayaan dan teori orang lain, padahal pikiran dan rasio kita sendiri harus diukur. Kalau demikian, dengan apakah kita mengukur rasio kita?

Saudara mengukur meja ini 120 cm. Yang lain mengukur 121 cm. Yang lain lagi 119 cm. Ada juga yang mengatakan, semua tidak benar, hanya ukuran miliknya yang benar, 118 cm. Akhirnya Saudara bingung luar biasa. Pada waktu diperiksa ulang, Saudara baru tahu bahwa pengukur dari ukuran yang terpanjang terbuat dari karet yang sudah kendur. Maka, semakin ditarik, semakin panjang. Jadi, setiap kali dipakai mengukur, ukurannya selalu lebih 2 cm daripada sebelumnya. Sedangkan pengukur ukuran terpendek ternyata terbuat dari semacam kain, yang waktu dicuci menyusut, sehingga ukurannya menjadi lebih pendek.

Pada zaman dulu, untuk mencocokkan semua pengukur ini, kita harus pergi ke Prancis, ke suatu kota kecil yang bernama Sèvres. Di sana disimpan satu meteran yang diakui di seluruh dunia sebagai ukuran yang mutlak karena dibuat dari platinum, yang mempunyai angka penyusutan dan pemuaian yang sangat kecil, sehingga ketika diletakkan di dalam suatu ruang dengan kontrol suhu tertentu, tidak terjadi pemuaian dan penyusutan yang berarti.

Namun pada waktu AC sedikit terlalu atau kurang dingin, ada penyusutan atau pemuaian sebesar 0,000000001 atau 0,000000002 cm. Pada zaman sekarang, sistem atau metode untuk mengukur tidak lagi memakai meteran standar platinum itu, tetapi memakai sinar laser. Dengan mengukur panjang gelombang sinar laser, ukuran satu meter dapat ditetapkan. Dengan menyalakan sinarnya, langsung dapat diketahui ukuran satu meter. Dengan demikian, kemutlakan bukan ada pada Saudara, kemutlakan juga bukan ada pada saya, kemutlakan juga bukan ada di Prancis; namun kemutlakan ada pada sinar yang sangat boleh dikatakan hampir mutlak atau mendekati kemutlakan. Mutlak yang dengan dengan kemutlakan namanya mutlaknya mutlak. Karena sinar laser yang begitu tepat itu boleh kita andalkan, maka berhentilah semua perdebatan.

Itulah sebabnya Allah mengatakan, I am the Light. God is Light (Akulah Terang, Allah adalah Terang). Sebelum Isaac Newton, sebelum Hygin, sebelum Foucoult, sebelum teori emisi dan teori vibrasi Newton, dan sebelum teori kuantum dan teori relativitas dari Einstein, Alkitab sudah terlebih dahulu mengatakan God is Light. Allah itu Terang. Kalimat ini sangat agung, tetapi memberikan kepada kita satu kemungkinan, yaitu Allah yang mutlak, yang betul-betul mutlak. Kemutlakan yang betul-betul mutlak adalah Allah. Maka, kebenaran Allah-lah yang harus menjadi patokan untuk mengukur motivasi kita, karena Allah adalah Mutlak yang mutlak itu per se, maksudnya, mutlak yang mutlak itu sendiri. Hanya di dalam diri Allah ada kemutlakan yang mutlak itu sendiri. Maka Allah harus menjadi Subyek, bukan menjadi obyek.

Saya tidak memakai istilah subyektif atau obyektif, karena subyektif atau obyektif itu bersangkut paut dengan metodologi. Jika saya memakai istilah subyektivitas dan obyektivitas, itu bukan dalam konotasi metodologi, tetapi dalam pengertian esensi dari diri kebenaran itu. Kalau Allah adalah Diri Kebenaran itu, maka Allah harus menjadi Subyek Pengukur. Jika Allah adalah Diri Kebenaran itu, maka Allah layak untuk mengatakan siapa yang benar dan siapa yang tidak benar.

Pada saat Allah mengatakan siapa yang benar atau siapa yang tidak benar, siapa pun tidak berhak melawan atau berdebat untuk menolak atau naik banding kepada yang lebih tinggi daripada yang menghakimi. Tetapi karena tidak ada yang lebih tinggi daripada Allah, maka berhentilah di sana.

Dia adalah kebenaran per se, diri kebenaran itu sendiri, maka Dia menjadi Subyektivitas. Di dalam kebenaran ini, Dia satu-satunya yang memiliki kualifikasi untuk mengatakan siapa yang benar dan siapa yang tidak benar, Ini harus kita setujui terlebih dahulu.

Di sini kita melihat, kalau kebenaran itu memang ada, barulah kita berani mengatakan bahwa dosa itu adalah pelanggaran terhadap Allah.

Namun pada akhir abad ke dua puluh ini, kebenaran itu sudah dicairkan, sudah dilunakkan, dan sudah begitu direlatifkan. Kita melihat dalam masa Gerakan Zaman Baru (New Age Movement), segala ukuran etis yang relatif akan meniadakan atau menyingkirkan kemutlakan sebagai standar. Bila itu terjadi, maka manusia tidak akan menerima istilah dosa lagi.

Manusia paling benci jika diberi tahu, ”Kamu orang berdosa.” Ia akan melihat Saudara dengan pandangan yang seolah-olah ingin mengatakan, “Saya bukan orang berdosa”. Psikologi hanya menitik-beratkan teori-teorinya pada kelemahan-kelemahan manusia, tetapi tidak berani menuntut pertobatan. Ini karena di dalam psikologi tidak terdapat pengertian yang benar mengenai Injil, kecuali psikolog itu seorang Kristen yang patuh kepada Tuhan.

Oleh sebab itu, mari kita melangkah lebih lanjut:

Pertama, jikalau kita hanya mengenal manusia sebagai makhluk yang lemah saja, tetapi tidak mempunyai dosa, maka tidak mungkin kita menuntut mereka bertobat. Tetapi Tuhan Allah justru menuntut setiap orang bertobat. “Bertobatlah engkau!” Itulah sebabnya, di sini kita melihat iman Kekristenan dengan sendirinya telah memaparkan suatu kebenaran mutlak yang standar dan tidak berubah lagi sebagai subyektivitas yang akan menghakimi seluruh dunia.

Kedua, adanya tuntutan ini menjadikan Allah berhak untuk mengatakan dosa itu ada. Dosa dan keadilan merupakan dua hal yang berlawanan, tetapi keduanya tidak bisa terlepas dari relasi secara relatif. Maksudnya, yang benar akan menghakimi yang berdosa, dan berdosa berarti sudah melawan kebenaran. Di mana ada kebenaran di sana ia akan mengadili dosa yang melawan kebenaran. Di mana ada dosa, di sana ada perlawanan terhadap Keadilan dan Kebenaran yang sudah ada, yaitu Allah sendiri. Dengan demikian, relasi yang paling penting bukanlah relasi antara Saudara dan diri Saudara, bukan pula relasi antara Saudara dengan orang lain. Relasi yang paling utama dan paling pokok adalah relasi antara Saudara dan Tuhan Allah. Sadar atau tidak sadar, tingkah laku,perkataan, dan tindak-tanduk Saudara setiap detik sedang berhadapan dengan Tiuhan Allah. Sadar atau tidak, senang atau tidak, Saudara sedang bereksistensi di hadapan Tuhan Allah.

EKSISTENSI DAN REKLASI ANTAR MANUSIA

Seratus tahun yang lalu, Søren Aabye Kierkegaard, seorang filsuf Jerman, telah mengerti hal ini sedemikian tuntas, sehingga dia mendefinisikan eksistensi sebagai berikut: To “exist” in to be with oneself alone before God (“Berada” adalah ada seorang diri di hadapan Tuhan Allah). Jangan lihat ke sebelah Saudara, jangan lihat ke depan Saudara, jangan lihat ke belakang Saudara, jangan lihat kepada si pengkhotbah, jangan lihat ruangan atau aula; tetapi dengan suatu kesadaran yang sungguh, Saudara sedang duduk di hadapan Allah. Saudara sedang mendengar apa yang bersangkut-paut dengan relasi Saudara dan Tuhan Allah. Saudara sedang mendengar suatu ceramah yang akan mengubah hidup Saudara sehingga hidup Saudara lebih diperkenan oleh Allah, dan seluruh pikiran Saudara diubah menjadi suatu konsentrasai kepada relasi diri Saudara dan Tuhan Allah. Pasti hidup Saudara akan berubah.

To exist is to be with oneself alone before God. Saudara “berada” dengan diri Saudara sendiri di hadapan Tuhan Allah. Saudara tidak bisa menyembunyikan diri. Saudara tidak bisa memakaikan topeng ke muka Saudara, karena di hadapan Allah, Saudara telanjang. Di hadapan Tuhan Allah tidak ada tutup apa pun yang bisa menutupi muka-Nya, sehingga tidak melihat Saudara, atau menutupi dosa Saudara, sehingga tidak diketahui oleh Tuhan Allah.

Relasi di dalam sifat relatif ini mengakibatkan kita tidak bisa melarikan diri dari keadilan dan penghakiman Tuhan Allah jika kita berbuat dosa dan terus hidup di dalam dosa. Di hadapan Tuhan Allah yang suci, manusia menjadi penangggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukannya. Sekali lagi., di hadapan Tuhan Allah yang suci dan mutklak adil, manusia menjadi seorang yang harus bertanggung jawab atas segala yang dilakukannya. Manusia diciptakan di dalam keadaan yang sangat serius.

Setiap kali kita memikirkan manusia, ada perasaan hormat di dalam hati kita karena manusia diciptakan menurut peta dan teladan Allah. Manusia diciptakan di dalam suatu eksistensi relatif, bukan eksistensi mutlak – We are not created in the state of being an absolute existence, but we are creates in the relative existence status. Di dalam status sedang berhadapan dengan Tuhan Allah, meskipun Saudara tidak melihat Allah, tetapi Saudara tidak bisa melarikan diri dari-Nya. Dan dalam hal ini kita melihat bahwa Ayub pada pasal terakhir baru sadar betapa khidmatnya, betapa seriusnya dia harus hidup di hadapan Allah.

Demikian juga kita melihat bagaimana Pemazmur pun di dalam Mazmur 23 menguraikan betapa baiknya Tuhan Allah, anugerah-Nya, “…aku tidak akan kekurangan, Ia menuntun aku ke air yang tenang….” dan seterusnya. Tetapi sampai pada ayat 4, dia baru sadar bahwa antara dia dan Allah berelasi secara eksistensi relatif (person to person relative relationship), suatu relasi relatif yang tidak bisa lepas antara pribadi dan pribadi. Ayat 4, “Aku tidak takut bahaya, sebab Engkau menyertai aku; gada-Mu dan tongkat-Mu menghibur aku.” Gada dan tongkat bukan saja untuk melawan musuh, tetapi juga untuk menghajar anak-anak-Nya. Ini suatu hal yang sangat mengejutkan, sekaligus menyadarkan bahwa “aku” hidup di hadapan Tuhan Allah.

Amin.
(Bersambung).
SUMBER :
Nama Buku : Dosa, Keadilan, dan Penghakiman
Sub Judul : Prakata – Pendahuluan ; Bab I : Keadilan dan Kebenaran (1)
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : Momentum, 2014
Halaman : 1 – 17