BAB 2 :

D O S A (1)

Kita telah membahas tentang “keadilan”, yang sebenarnya merupakan topik kedua. Tetapi saya membaliknya menjadi pembahasan pertama. Kini kita akan masuk dalam pembahasan mengenai “dosa”.

Dosa adalah istilah yang sedemikian penting, sedemikian serius, dan sedemikian berat, tetapi yang kini sudah dianggap ringan, khususnya oleh orang-orang abad kedua puluh ini.

Para psikolog modern berusaha melarikan diri dari pembahasan tentang dosa. Mereka berusaha mengerti manusia hanya sebagai makhluk yang tidak sempurna, di mana setiap pribadi, secara tidak sadar atau secara tidak dikehendaki, tergelincir ke dalam kelemahan-kelemahan yang bersifat kesalahan atau dosa itu.

Tetapi Alkitab mengatakan dengan jelas bahwa ada perbedaan antar kelemahan dan dosa. Roma 5:6, 8, 10, menggunakan tiga istilah yang berbeda untuk mencerminkan status manusia di hadapan Allah, di hadapan diri, di hadapan Taurat, dan di hadapan Iblis.

Roma 5:6 mengatakan, “Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita.” Ayat 8, “Ketika kita masih berdosa (atau bisa juga diterjemahkan “Ketika kita masih sedang ditaklukkan oleh dosa”), Kristus telah mati untuk kita.” Ayat 10 mengatakan, “Jikalau kita, ketika masih menjadi seteru Allah, telah diperdamaikan dengan Allah melalui kematian Anak Allah, maka terlebih lagi kita, yang sekarang telah diperdamaikan dengan Allah, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya.”

Di dalam Roma 5:6 tercetus istilah pertama, lemah (weak), lalu di dalam ayat 8 tercetus istilah kedua, berdosa (sinners); kemudian dalam ayat 10 tercetus istilah ketiga, seteru (enemies). Ketiga istilah ini menyatakan status manusia di hadapan Taurat yang menjadi suatu perwujudan keadilan dan kebenaran Allah. Kita adalah orang yang tidak bisa menggenapi tuntutan Taurat, karena itu disebut lemah. Kelemahan ini adalah status pertama yang disebutkan oleh Tuhan. Status kedua kita adalah orang berdosa atau orang yang takluk di bawah kuasa dosa. Seperti yang dikatakan Paulus dalam Roma 7:14, “Kita sudah terjual di bawah kuasa dosa.” Dan ayat 10 mengatakan status ketiga yang lebih berat: kita menjadi seteru atau musuh Tuhan Allah.

Kelemahan perlu dimengerti, dosa perlu diampuni, dan musuh perlu diperdamaikan. Dengan demikian, kita tidak memahami manusia hanya sebagai yang mempunyai kelemahan sehingga hanya perlu diampuni dan diajar secara cukup. Pendidikan belum pernah secara tuntas membereskan persoalan manusia. Psikologi belum pernah secara tuntas membereskan masalah-masalah manusia. Hanya Injil, dalam kaitan dengan status kedua, yaitu pengampunan dosa dan perdamaian antara manusia yang berdosa dan Allah yang suci, yang memberikan jalan keluar yang tuntas kepada manusia di hadapan Tuhan Allah. Hal ini perlu kita perhatikan baik-baik.

DOSA DALAM PENGERTIAN ALKITAB

Apakah dosa itu? Istilah “dosa” sering muncul di dalam Alkitab, baik di dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.

I. PERJANJIAN LAMA

1. Khatta’t

Istilah bahasa Ibrani ini, khatta’t berarti jatuh dan kurang dari standar Allah yang kudus (falling short of the standard of God). Jadi, Allah telah menetapkan suatu standar. Pada waktu kita memeleset (bukan meleset), kita turun dari standar yang ditetapkan oleh Allah, itu disebut khatta’t (dosa), sehingga baiklah kita mengerti istilah dosa, bukan dengan cara pandang dunia menurut pengertian hukum. Waktu berbicara tentang hukum berarti mereka secara tidak sadar sudah menyetujui bahwa fakta dosa sudah ada di dalam dunia. Perkembangan yang terakhir, baik di Sorbonne University di Paris sebagai sekolah yang terbesar dan terkenal di dunia bahasa Latin, maupun di beberapa sekolah yang terbaik di Amerika, seperti Harvard dan Yale University, menunjukkan bahwa mereka berusaha untuk mencairkan atau mengurangi konsep-konsep tentang keseriusan dosa. Meskipun demikian, mereka tidak mungkin menolak fakta bahwa dosa itu memang ada di dalam dunia. Berdasarkan pengertian yang serius akan fakta dosa, maka agama mempunyai tempat dan akar yang cukup kuat dan tidak mungkin dapat dicabut oleh kebudayaan manusia.

Dosa merupakan suatu fakta dan dalam pengertian hukum dunia merupakan pelanggaran terhadap sesuatu yang secara perjanjian bersama (konsensus) telah ditetapkan oleh ahli-ahli hukum sebagai patokan untuk mengatur hidup sosial dan etika dalam masyarakat. Jikalau ahli-ahli hukum sudah menyetujui secara konsensus dan dicantumkannya di dalam hukum suatu negara, maka apa yang dicantumkan itu menjadi standar negara itu. Barangsiapa berbuat sesuatu yang melanggar konsensus yang dicatat dalam hukum, itu disebut dosa. Di sini saya melihat kelemahan dari semua negara, semua hukum dari dunia ini, yaitu mereka hanya sanggup melihat dosa dari aspek yang paling rendah, yaitu kelakuan yang salah.

Sekali lagi, sekalipun dalam hukum, kesalahan yang terencana diganjar hukuman yang berbeda dengan kesalahan yang tidak terencana, tetapi tidak ada suatu hukum yang bisa langsung menghukum orang yang mempunyai niat atau rencana di dalam hati namun belum melakukannya secara riil. Maksudnya, sekalipun seseorang mempunyai hati yang ingin mencuri, tidak ada hukum di dunia yang boleh langsung memenjarakan dia, kecuali dia sudah melaksanakannya. Dengan demikian, di seluruh dunia, pengertian hukum dan keadilan hanya berkenaan dengan dosa dalam hal yang superfisial (yang tampak di permukaan). Dunia hanya mengerti dan dan menetapkan bahwa suatu perbuatan adalah dosa jika itu dianggap melanggar suatu konsensus hukum.

Tetapi Alkitab tidak demikian. Alkitab berkata dengan jelas, “yang membenci seseorang, sudah membunuh.” (Matius 5:21-22). Di sini etika Kristen adalah etika yang melampaui perbuatan yang dilakukan secara riil. Etika Kristen merupakan etika yang langsung ditujukan kepada motivasi seseorang yang terbuka di hadapan Tuhan. Allah yang menembus hati sanubari manusia tidak hanya melihat perbuatan di luar, tetapi juga melihat motivasi di dalam.

Keadilan-kebenaran Allah menuntut keseluruhan hidup kita, mulai dari motivasi di dalam, segala rencana di dalam pikiran di dalam, mentalitas di dalam, sikap yang setengah di dalam setengah di luar, sampai perbuatan yang seluruhnya di luar. Semua itu dituntut oleh Tuhan. Menjadi manusia yang diciptakan menurut peta dan teladan Allah berarti mernjadi manusia yang berdiri dan bertanggung jawab secara pribadi di hadapan Tuhan Allah (to be a man as created under the image and the likeness of God is to exist with oneself alone before God). Tidak ada hal atau orang lain yang bisa menghalangi. Di hadapan Allah, saya harus mempertanggung jawabkan segala motivasi saya, semua bibit pikiran saya, semua sikap mental saya, semua sikap dan sifat pribadi saya, semua perkataan saya.

Totalitas dan tanggung jawab ini menjadikan Kekristenan seperti apa yang dikatakan Kierkegaard, yaitu bahwa menjadi orang Kristen terlalu sulit, karena Allah bukan menuntut hal-hal yang tampak di luar. Mereka hanya bisa menunjukkan Saudara berdosa setelah mereka menemukan dan membuktikan bahwa Saudara sudah berbuat, mengaku, atau sudah mengekspresikan apa yang Saudara inginkan di dalam hati lewat perbuatan yang merugikan orang lain. Tetapi Kekristenan dan iman Kristen bukan demikian. Kekristenan menuntut keseluruhan Saudara sampai ke dalam hati sanubari yang sedalam-dalamnya, sampai ke dalam motivasi Saudara yang tidak terlihat orang lain. Menjadi orang Kristen, memang tidak mudah.

Di dalam dunia abad dua puluh ini, banyak gereja ingin mendapatkan anggota sebanyak mungkin, sehingga mereka menurunkan mutu Kekristenan menjadi kekristenan yang mudah diterima, mudah dilaksanakan, namun itu bukanlah Kekristenan yang sejati. Turun lebih rendah daripada standar yang telah ditetapkan oleh Tuhan, itulah khatta’t.

Alkitab memakai istilah ini 580 kali di dalam Perjanjian Lama. Istilah khatta’t merupakan suatu istilah yang begitu menyedihkan Tuhan. Karena di dalam istilah ini, Kekristenan dan Alkitab orang Kristen menunjukkan suatu hal yang tidak ada pada agama lain, yaitu Allah telah menetapkan suatu standar bagi Saudara, sehingga Saudara tidak bisa hidup sembarangan. Di dalam agama-agama lain, mereka mempunyai standar mereka sendiri. Mereka mempunyai tujuan mereka sendiri, dan tujuan yang mereka harapkan itu berdasarkan diri mereka yang sudah jatuh ke dalam dosa, yang tidak mereka sadari. Mereka ingin mencapai suatu hidup yang tinggi dan kudus. Namun bagaimana pun tingginya tujuan mereka, itu hanyalah hasil dari otak yang sudah jatuh ke dalam dosa. Sedangkan waktu Allah mengatakan khatta’t, berarti Saudara sudah hidup lebih rendah daripada standar yang sudah ditetapkan oleh Allah sendiri. Itu artinya dosa.

Dosa jangan hanya dimengerti sebagai mencuri, berzinah, berjudi, main pelacur, atau mabuk-mabukan. Semua itu memang perbuatan yang tidak benar, itu dosa. Tapi, hal itu merupakan hal yang superfisial, yang tampak di luar. Tuntutan Alkitab jauh lebih dalam dan lebih lengkap, lebih totalitas daripada itu. Suatu standar telah ditetapkan Allah bagi manusia sebagai syarat atau kriteria tingkah laku dan moralitas manusia. Itulah yang disebut sebagai kebenaran dan keadilan Allah.

2. Avon

Istilah kedua di dalam bahasa Ibrani adalah avon. Ini berarti suatu kesalahan atau suatu hal yang mengakibatkan kita merasa bahwa kita patut dihukum (guilty). Istilah ini sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Artinya, suatu perasaan di dalam diri kita yang menganggap diri cacat atau perasaan di dalam jiwa yang merasa diri kurang benar, sehingga kita selalu merasa mau menegur diri. Hal ini bersangkut-paut dengan fungsi hati nurani yang diberikan hanya kepada manusia saja.

Tidak ada binatang yang mempunyai perasaan bersalah, tidak ada binatang yang bisa menegur diri karena merasakan ada sesuatu yang tidak benar yang sudah diperbuatnya. Tetapi manusia tidak demikian. Setalah Saudara berbuat kurang sopan terhadap seseorang, Saudara akan berpikir lagi, “Wah, mengapa tadi saya berbuat begitu ya? Seharusnya saya tidak begitu, tetapi mengapa begitu dan toh sudah begitu, lalu bagaimana, atau akan terus begitu?” Saudara mempunyai perasaan berutang atau perasaan bahwa Saudara patut dihukum. Perasaan sedemikian didasarkan pada pemikiran atas apa yang sudah Saudara kerjakan, lalu hal itu dikaitkan dengan status diri Saudara dalam keadaan patut dihukum. Itu disebut guilty, avon.

3. Pesha

Alkitab memakai istilah ketiga dalam bahasa Ibrani, yaitu pesha. Pesha berarti semacam pelanggaran. Pelanggaran berarti ada suatu batas yang sudah ditetapkan, tetapi Saudara melewatinya atau sudah ada suatu standar, namun bukan saja tidak bisa mencapai, tetapi Saudara juga mau melawan atau melanggar. Maka pengertian ini bersangkut-paut dengan suatu pengetahuan yang jelas, ditambah dengan kemauan yang tidak mau taat. Saya tahu apa itu baik, tetapi saya sengaja melawannya. Saya tahu batas sudah sampai di situ, tetapi saya sengaja mau melewatinya. Tahu batas dan tahu tidak baik, tetapi sengaja melewati, itu disebut pesha.

Jadi di sini kita melihat dosa dinyatakan oleh Alkitab dengan begitu jelas di dalam ketiga aspek yang besar. Pertama, tidak mencapai atau menyeleweng dari standar yang ditetapkan Allah. Kedua, merupakan suatu hal yang salah atau sesuatu yang tidak seharusnya Saudara kerjakan, tetapi Saudara kerjakan. Waktu Saudara sadar, Saudara tahu sudah berlaku tidak benar. Ketiga, adalah suatu pelanggaran yang sengaja dari seseorang. Kalau kita meneliti semua pengalaman kita masing-masing, maka mau tidak mau harus mengakui Firman Tuhan yang diwahyukan Tuhan dalam Kitab Suci itu betul-betul benar.

II. PERJANJIAN BARU

Dalam Alkitab Perjanjian Baru, ada dua istilah dalam bahasa Yunani yang penting sekali.

1. Adikia

Adikia berarti perbuatan yang tidak benar. Ini merupakan perbuatan lahiriah atau dari luar, yang dinilai tidak benar, sama seperti yang dikatakan oleh hukum-hukum dunia tentang orang bersalah. Di pengadilan, ketika semua pemeriksaan sudah selesai, maka hakim akan menjatuhkan vonis bahwa Saudara bersalah. Itulah adikia. Ini berarti Saudara sudah berbuat salah.

Tetapi Perjanjian Baru sama dengan Perjanjian Lama, sama-sama adalah wahyu yang diberikan oleh Allah yang suci, satu sumber, satu Roh Kudus, satu Allah yang memberikan wahyu, baik kepada Perjanjian Lama dengan media bahasa Ibrani maupun kepada orang-orang di Perjanjian Baru dengan media bahasa Yunani. Sumbernya satu, Allah yang satu, standar yang satu.

2. Hamartia

Istilah kedua dalam Perjanjian Baru adalah hamartia, yang artinya adalah kehilangan, meleset dari target atau sasaran yang ditetapkan. Jika saya melepaskan satu anak panah menuju satu sasaran yang sudah jelas, yaitu lingkaran tertentu yang harus dicapai, maka ketika anak panah itu jatuh satu meter sebelum sasaran, itu disebut hamartia. Kedua kalinya, saya berusaha untuk melepaskan panah, tetapi kini bukan tidak sampai, tetapi terus melewati jauh dari target yang ditetapkan, itu pun disebut hamartia. Atau ketiga kalinya, saya melepaskan panah, panah itu terbang menuju sasaran, namun menancap 2 cm dari sasaran, berarti di pinggir target itu, itu tetap artinya hamartia.

Jadi, tidak peduli kurang berapa meter, lebih berapa cm, atau meleset hanya beberapa mm, itu semua dianggap sama. Hanya mereka yang panahnya betul-betul kena tepat pada sasaran asli, itu yang dianggap benar. Yang lain semua dianggap hamartia.

Dari kelima istilah, tiga istilah dalam bahasa Ibrani di Perjanjian Lama, dan dua dalam bahasa Yunani, kita melihat suatu gambaran yang jelas, manusia diciptakan bukan untuk kebebasan yang tanpa arah, tetapi manusia diciptakan dengan standar yang sudah ditetapkan!

Tugas seumur hidup yang paling penting bagi Saudara ialah menemukan target yang Tuhan tetapkan bagi Saudara demi kemuliaan Allah. Kalau kita sudah tepat pada target yang Tuhan tetapkan bagi kita, barulah kita menjadi satu manusia yang tidak ada pelanggaran atau tidak dalam keadaan jatuh dari standar asli, baru kita disebut orang yang benar, orang yang sesuai dengan kehendak Allah. Saya harap melalui pembahasan seperti ini, kita mengoreksi konsep-konsep yang tidak benar.

Jika Saudara mengikuti kebaktian puluhan ribu kali atau ratusan kali di gereja setiap minggu, tetapi theologi Saudara tidak dibereskan, kalau iman Saudara tidak dibereskan oleh Firman Alkitab sendiri, Saudara menjadi orang Kristen yang terus terjerumus ke dalam konsep-konsep yang salah, maka bagaimana giat pun tidak berguna, karena Saudara belum pernah menemukan target itu apa, belum pernah menemukan definisi yang benar itu apa. Pengertian-pengertian yang mengoreksi membuat kita mendapatkan suatu integrasi yang betul-betul lengkap dan mengerti Firman Tuhan dengan baik, lalu membuat pelayanan kita menjadi baik.

Dari kata khatta’t, avon, pesha, adikia, hamartia ini, arti istilah dosa dalam seluruh Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru begitu jelas, yaitu bahwa kalau standar yang ditetapkan oleh Tuhan kita lepas atau kita kurangi atau belum kita capai, itu disebut oleh Tuhan sebagai dosa.

Seumur hidup saya harus bertanya, “Tuhan sudahkah saya mencapai standar yang telah Tuhan tetapkan bagi saya?” Kalau belum, saya masih banyak kekurangan yang dianggap dosa oleh Tuhan. Demikian juga dengan Saudara. Namun pada zaman ini, orang bukan saja tidak mau mencapai standar yang lebih tinggi, malahan minta diturunkan supaya cocok dengan pasar sekarang.

Kekristenan yang sedemikian tidak berpengharapan. Kekristenan akan dirusak, akan digerogoti. Pada saat saya berkata demikian, orang mengkritik, “Pendeta ini suka mengkritik, merasa hanya dia yang benar, yang lain tidak benar.” Jika Saudara belum tahu betul-betul apa itu “benar”, Saudara tidak akan pernah sadar bahwa Saudara pasti tidak akan menemukan yang tidak sempurna itu sebagai yang tidak sempurna. Mungkin setelah saya meninggal, baru orang mengerti apa yang sudah saya kerjakan semasa saya hidup, tetapi sudah terlambat.

Satu zaman ini akan digerogoti oleh pengertian-pengertian yang tidak sempurna, tidak tepat, sehingga Kekristenan akan dirusakkan oleh mereka yang disebut pemimpin-pemimpin gereja.

Kapan iman Kristen akan diluruskan kembali? Kapankah kita bertobat dan setia kepada Firman Tuhan, di mana seluruh dunia akan lenyap tetapi Firman Tuhan tetap untuk selama-lamanya? Hari ini kita boleh melihat orang tidak senang terhadap pembahasan macam ini, tetapi saya berkata, “Suatu hari, gereja yang tidak setia kepada Firman Tuhan harus diadili terlebih dahulu. Dan pada saat itu sudah terlambat. Allah tidak mengadili seberapa banyak pendengar Saudara atau seberapa pandainya Saudara. Tidak! Allah akan bertanya, “Apa yang Saudara ajarkan?”

Saudara yang akan menjadi guru Sekolah Minggu, jangan kira Saudara masuk kelas untuk menipu anak-anak agar mereka duduk diam tidak bermain-main di kelas. Itu bukan guru Sekolah Minggu. Jangan kira Saudara menjadi majelis berarti dapat bergaya dengan memakai dasi di hari Minggu seperti malaikat bersayap dua. Jangan kira setelah Saudara lulus dari sekolah theologi, Saudara dapat berkhotbah. Setiap kalimat yang tidak beres harus Saudara pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Setiap ajaran yang tidak Saudara pertanggung-jawabkan sungguh-sungguh, akan merusak orang lain, dan pada akhirnya gereja akan dirugikan karena iman Kristen akan diubah oleh pengertian yang tidak benar. Saudara harus berdiri untuk dihukum oleh Tuhan. Dengan sikap seperti itulah akhirnya saya dengan gentar melayani Tuhan dan terus-menerus mendidik dan berkata kepada murid-murid saya, “Hati-hati, berkhotbahlah hanya sesuai dengan Firman Tuhan saja, bukan semau sendiri. Jangan mengganti Firman Tuhan dengan ilmu pendidikan! Jangan mengganti Firman Tuhan dengan ilmu jiwa! Jangan mengganti Firman Tuhan dengan cara-cara dunia yang antroposentris! Firman Tuhan adalah Firman Tuhan!”

Amin.
(bersambung)
SUMBER :
Nama Buku : Dosa, Keadilan, dan Penghakiman
Sub Judul : Bab 2 : Dosa
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : Momentum, 2014
Halaman : 46 – 55