Seperti diketahui, dalam rangka mendiversifikasi pendapatannya sejak Januari 2018 untuk pertama kalinya Arab Saudi mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Value Added Tax (VAT) dengan tarif sebesar 5% terhadap barang dan jasa.

Salah satu karakteristik dari jenis pajak PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi dapat berupa konsumsi barang atau jasa. Dan hampir semua negara saat ini telah menerapkan pengenaan PPN termasuk Arab Saudi.

Di Indonesia PPN bersifat netral karena disamping dikenakan atas konsumsi barang dan jasa dalam pemungutannya menganut prinsip tempat tujuan (destination principle), sedangkan dalam mekanisme pungutannya PPN dikenal dua prinsip yaitu prinsip tempat asal (origin principle) dan prinsip tempat tujuan (destination principle). Prinsip tempat asal adalah barang dan/atau jasa dikenakan PPN di tempat barang dan/atau jasa tersebut diproduksi, sementara prinsip tempat tujuan adalah barang dan/atau jasa dikenakan PPN di tempat barang dan/atau jasa tersebut di konsumsi.

Pengenaan PPN dianggap netral dari sisi persaingan dalam negeri karena tidak memihak pada usaha yang terintegrasi secara vertikal. Unsur netralitas dari persaingan internasional juga terpenuhi karena PPN tidak memihak produk dalam negeri.

Prinsip Tempat Asal

Prinsip tempat asal (origin principle) adalah barang dan/atau jasa dikenakan PPN di tempat barang dan/atau jasa tersebut diproduksi. Artinya dalam prinsip ini pengenaan pajak dilakukan di negara asal tempat terjadinya pembelian/penyerahan barang sebagai representasi (proxy) tempat konsumsi. Dalam prinsip ini ekspor diberlakukan sama dengan transaksi domestik sehingga akan menghilangkan “batas” antar negara.

Prinsip ini mengenakan Pajak  atas Pertambahan Nilai untuk  barang kena pajak (BKP) atau/ jasa kena pajak (JKP) yang dibuat atau dinikmati di dalam negeri, sedangkan pertambahan nilai yang dibuat dan dinikmati di luar negeri tidak dikenakan. Dengan kata lain transaksi ekspor dipungut PPN, sedangkan atas impor tidak dipungut PPN.

Prinsip Tempat Tujuan

Prinsip tempat tujuan (destination principle) adalah  barang dan/atau jasa dikenakan PPN di tempat barang dan/atau jasa tersebut di konsumsi tanpa memperhatikan tempat asal barang tersebut di produksi. Artinya dalam prinsip ini membebaskan pajak di negara pengekspor dan mengenakan pajak atas barang dan jasa di negara pengimpor sebagai tempat representasi (proxy) konsumsi.

Prinsip ini mengenakan pajak atas pertambahan nilai baik barang kena pajak (BKP) atau/ jasa kena pajak (JKP) yang dibuat baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dengan kata lain transaksi ekspor tidak dipungut PPN, sedangkan atas impor dipungut PPN di negara tujuan ekspor.

Prinsip Pemungutan PPN di Indonesia

praktisnya prinsip tempat tujuan adalah memajaki barang ketika mereka dikonsumsi, mengembalikan pembayaran pajak atas barang ekspor dan mengenakan pajak atas impor. Pengertian netral disini adalah transaksi ekspor tidak dipungut PPN (rate 0%), sementara atas impor dipungut PPN di negara tujuan negara ekspor.

Dalam UU PPN 1984 tidak secara eksplisit menyebutkan istilah prinsip tempat tujuan namun secara substansi dari pengertian tempat tujuan adalah memajaki barang ketika mereka dikonsumsi, mengembalikan pembayaran pajak atas barang ekspor dan mengenakan pajak atas impor. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 7 ayat (2) UU PPN 1984 yang dalam penjelasannya menyatakan sebagai berikut :

Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu,

  • Barang Kena Pajak Berwujud yang diekspor;
  • Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau
  • Jasa Kena Pajak yang diekspor termasuk Jasa Kena Pajak yang diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari  pemesan di luar Daerah Pabean, dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen).
Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.
PPN Bersifat Netralitas

Pengenaan pajak tidak mempengaruhi pilihan masyarakat untuk melakukan konsumsi, dan tidak mempengaruhi pilihan produsen untuk menghasilkan barang-barang dan jasa serta tidak mengurangi semangat orang untuk bekerja sehingga mereka lebih memilih nyaman (leisure). Inilah harapan bahwasanya pajak itu bersifat netral (neutral).

John F. Due dalam tuulisannya berjudul Neutrality Principle (1959: 103-106), menyatakan bahwasanya pajak itu seyogyanya dipungut tanpa mempengaruhi efesiensi perekonomian nasional, atau yang menimbulkan inefisiensi sekecil mungkin. Netral di sini artinya tidak mempengaruhi pilihan dunia swasta dalam melakukan kegiatan bisnis. Sementara Clara Sullivan (1996:271) menyatakan bahwa dalam melakukan kegiatan bisnis tidak berpengaruh pada alokasi sumber daya ekonomi. Selanjutnya Mansury (1996:13-14) mengemukakan bahwa asas netralitas bertujuan menjaga jangan sampai pemungutan pajak itu menghambat kemajuan ekonomi dan jangan sampai pajak itu mengurangi pertumbuhan ekonomi dan jangan sampai mengurangi pertumbuhan ekonomi serta jangan sampai pajak itu mengurangi efisensi perekonomian nasional.

a. Netral Secara Legailitas

Netralitas dari dalam negeri yang berkaitan dengan aspek nasional dari pengenaan PPN, maka netralitas dari luar ditandai dengan dengan subjek netralitas yang menjadi aspek internasional. Pajak Pertambahan Nilai sebagai pajak atas konsumsi umum dikenakan atas pengeluaran konsumen individu (konsumen akhir) di dalam negeri. Jika suatu barang atau jasa dikonsumsi di dalam negeri asalnya dan atas barang atau jasa tersebut dikenakan atas konsumsi, maka akan timbul perlakuan tidak adil atas barang dan jasa tersebut, oleh karena itu pengembalian pajak (refund) harus diberikan atas ekspor barang (yang pajaknya sudah dibayar).

Demikian halnya pajak atas pertambahan nilai dikenakan atas belanja individu maka seharusnya tidak ada perbedaan atau diskriminasi antara belanja untuk konsumsi barang produk dalam negeri dan barang luar negeri (impor).

b. Netral Secara Ekonomi

Jenis pajak PPN dianggap netral jika tidak mengganggu alokasi optimal dari sarana produksi yang disebabkan oleh adanya perbedaan tarif dalam PPN. Sehingga untuk bisa dianggap secara ekonomi PPN bersifat netral adalah selain dari tindakan yang disengaja oleh pembuat undang-undang untuk alasan politis lainnya, pengenaan PPN seharusnya tidak merusak kepentingan ekonomi sehingga campur tangan dalam mekanisme pasar yang ada harus seminimal mungkin.

c. Netral Secara Persaingan

Sebagai pajak tidak langsung, pajak atas konsumsi harus dibayar oleh perusahaan bisnis, tetapi pajak harus ditanggung oleh individu, konsumen. Perusahaan bisnis hanya berfungsi sebagai tempat pengumpulan yang mudah dan dimaksudkan untuk diteruskan pajaknya ke depan, yakni ke konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi. Proses ini umumnya disebut pergeseran/pengalihan (sihifting).

d. Netral Secara Eksternal

Semakin berkembangnya pengertian barang kena pajak dan jasa kena pajak yang diterapkan pada transaksi impor maupun ekspor, semakin pajak itu netral dalam transaksi lintas yurisdiksi. Setiap ada pengecualian impor  terhadap BKP/JKP atas pengenaan pajak membuat pajak tersebut menjadi tidak netral terhadap perdagangan internasional karena negara pengimpor sedikit banyak menempatkan diri sebagai surga pajak.. Hal yang sama, setiap pengecualian ekspor BKP/JKP  dari pengenaan pajak dengan tarif 0% pada dasarnya juga mengganggu netralitas pajak terhadap perdagangan internasional, karena terdapat  tekanan terhadap daya saing barang ekspor di pasar internasional yang berasal dari beban pajak masukan yang tidak dapat dinetralisir di perbatasan daerah pabean.

Prinsip tempat tujuan (destination principle) kaitannya dengan netral secara eksternal adalah ciri dan sifat dari hampir semua sistem pajak atas konsumsi di dunia, karena hampir disemua negara menerapkan jenis pajak ini dan menginginkan keseragaman perlakuan perpajakan linta negara. Prinsiip tempat tujuan mempertahankan sifat nondiskriminasi dan netral secara internal maupun eksteternal. Dalam pelaksanaannya prinsip ini memerlukan beberapa syarat yaitu :

  • Adanya suatu kawasan atau wilayah pengenaan pajak yang disebut daerah pabean, tempat terjadinya transaksi barang dan jasa untuk tujuan konsumsi oleh konsumen akhir sebagai tujuan pajak artinya beban pajak benar-benar dipikul oleh konsumen akhir.
  • Penggunaan tarif tunggal dan sifat pajak yang non kumulatif sehingga tidak menimbulkan dampak negatif bagi PKP dalam menentukan alokasi faktor-faktor produksi.
  • Adanya perlakuan pajak yang sama antara produk impor dengan produk dalam negeri.
  • Adanya pembebasan atas pajak (ekspor) barang hasil produksi dalam negeri yang dikirim ke luar negeri.

Penutup

Salah satu kharakter jenis Pajak Pertambahan Nilai adalah bersifat netral. Maka PPN dipungut ditempat asal  barang atau jasa yang akan dikonsumsi diproduksi dalam arti kata dipungut di dalam daerah pabean dan BKP/JKP tersebut juga dimanfaatkan di daerah pabean hal ini dikenal dengan prinsip tempat asal (origin principle). Dan PPN dipungut di tempat barang dan atau jasa di konsumsi, dalam arti kata komoditi impor akan menanggung beban pajak yang sama dengan barang produksi dalam negeri. Sebaliknya barang produksi dalam negeri yang akan diekspor tidak dikenakan PPN, karena akan dikenakan PPN di negara tempat komoditi ekspor tersebut akan dikonsumsi. Supaya daya saing komoditi ekspor Indonesia dengan produk domestik negara pengimpor tidak dipengaruhi oleh PPN Indonesia masih diperlukan sarana lain berupa pengenaan PPN atas komoditi ekspor dengan tarif 0 % hal ini dikenal dengan prinsip tempat tujuan (destination principle)

Walaupun Indonesia dalam mekanisme pemungutan PPN khusus lintas negara menggunakan prinsip tempat tujuan (destination principle) seperti untuk impor BKP dan JKP serta ekspor BKP namun untuk untuk ekspor Jasa Kena Pajak yang ekspornya dengan tarif 0% dilimitasi hanya pada jenis jasa yang meliputi jasa maklon, jasa perbaikan, jasa perawatan barang bergerak, serta jasa konstruksi. Mengapa dilimitasi  karena jenis jasa cenderung memiliki perbedaan karakteristik dengan barang berwujud yang memiliki fisik yang dapat dipantau secara langsung, sehingga penentuan proxy dan verifikasi atas place of taxation menjadi lebih sulit.

loading

Diambil dari berbagai sumber