Seperti sering kita dengar dan lihat bahwa perkembangan startup di Indonesia demikian pesat, setiap bulan banyak founder-founder startup bermunculan. Startup adalah perusahaan yang belum lama beroperasi dan sedang dikembangkan dan umumnya beroperasi dalam bidang teknologi. Startup dikelompokkan  menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu :

  1. Satartup pencipta game;
  2. Starup aplikasi edukasi; dan
  3. Startup perdagangan seperti e-commerce dan informasi.

Kebanyakan para startup ini dimulai dari rumah, namun karena rumah bukan tempat usaha maka mereka memerlukan suatu tempat usaha sebagai sarana berbisnis yang tidak memerlukan banyak tempat maka kehadiran kantor virtual (virtual office) menjadi alternatif untuk memulai bisnis jenis ini.  Dalam tulisan ini penulis mencoba melihat aspek perpajakan atas bisnis startup yang menggunakan kantor virtual. Semoga memberi informasi yang bermanfaat.

Kantor Virtual (Virtual Office)

Istilah virtual berhubungan dengan dunia maya atau dunia virtual yang berada dalam komputer atau alat elektronik lain yang bisa digunakan untuk memproses sebuah perintah dengan detail. Maka saat bekerja, pelaku bisnis akan menggunakan alat telekomunikasi seperti laptop, PC, ataupun ponsel dengan memakai koneksi internet ketika berhubungan satu sama lain. Dengan internet tersebut pelaku bisnis dapat membagi tugas serta melakukan berbagai aktivitas sesuai dengan bisnis yang dijalankan pada kantor virtual pelaku bisnis itu sendiri.

Untuk bentuk fisik kantor, umumnya bisa berupa pusat dari penyedia jasa kantor virtual yang dijadikan satu. Satu alamat bisa menjadi alamat bagi berbagai kantor virtual karena satu bangunan bergengsi bisa dijadikan tempat untuk berbagai kantor virtual. Kantor fisik dibutuhkan sebagai syarat dimana sebuah badan hukum atau perusahaan harus memiliki lamat lengkap dan pasti yang dipergunakan sebagai korespondensi serta berbagai acara yang kadang tidak bisa dilakukan secara virtual seperti rapat atau pertemuan bisnis.

Kantor fisik umumnya memiliki ketersediaan agar kantor visual lebih formal dan legal sebagai kantor seperti ketersediaan bangunan, alamat, ada resepsionis untuk mengantisipasi paket atau surat masuk ada beberapa yang memproses secara langsung agar kantor juga lebih produktif dan aktif.

Pengusaha Kantor Virtual Sebagai Pengusaha kena Pajak

Ketua umum Perhimpunan Pengusaha Jasa Kantor Bersama Indonesia (Perjakbi) menyambut baik kebijakan Direktorat Jenderal Pajak yang memperbolehkan perusahaan pengguna kantor virtual menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Adalah pasal 45 ayat (2) (untuk Pengusaha Orang pribadi) dan Pasal 46 ayat (2) (untuk pengusaha berbentuk badan) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 yang menyatakan dalam hal tempat kegiatan usaha menggunakan jasa kantor virtual, kantor virtual tersebut dapat digunakan sebagai tempat PKP dikukuhkan sepanjang memenuhi syarat sebagai berikut :

  • telah dikukuhkan sebagai PKP;
  • menyediakan ruangan fisik untuk tempat kegiatan usaha bagai pengusaha yang akan dikukuhkan sebagai PKP; dan
  • secara nyata melakukan kegiatan layanan pendukung kantor.

Pengusaha pengguna jasa kantor virtual memiliki izin usaha atau dokumen sejenis lainnya yang diterbitkan oleh pejabat atau instansi yang berwenang.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 dalam pasal 1 point 22 mendefenisikan kantor virtual adalah Kantor Virtual (virtual office) atau Kantor Bersama (co-working space), yang selanjutnya disebut Kantor Virtual, adalah suatu kantor yang memiliki ruangan fisik dan dilengkapi dengan layanan pendukung kantor yang disediakan oleh pengelola Kantor Virtual untuk dapat digunakan sebagai tempat kedudukan, tempat kegiatan usaha, atau korespondensi secara bersama-sama oleh 2 (dua) atau lebih Pengusaha yang atas pemanfaatan kantor dimaksud terdapat pembayaran dalam bentuk apapun, tidak termasuk jasa persewaan gedung dan jasa persewaan kantor (serviced office).

Aspek Perpajakan

Bagi pemilik bangunan yang berlokasi strategis tentu menjadi favorit bagi startup yang ingin memiliki virtual office dan setiap penghasilan yang diterima oleh pelaku startup, pemilik gedung, dan pihak ketiga adalah merupakan penghasilan yang harus dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) baik dilakukan dengan menyetor sendiri atau melalui pemotongan.

a. Jenis PPh Final Pasal 4 ayat (2)

Atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan baik sebagian maupun seluruh bangunan yang diterima atau diperoleh Orang Pribadi atau Badan dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat Final yaitu sebesar 10% dari jumlah bruto nilai persewaan dan/atau bangunan (Pasal 2 PP 34 2017).

Jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau Bangunan merupakan semua jumlah yang dibayarkan atau yang diakui sebagai utang oleh Penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan tanah dan/atau Bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya layanan, dan biaya fasilitas lainnya, baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan.

Adapun mekanisme pembayaran PPh Final tersebut dilakukan sebagai berikut :

  • Apabila pemilik gedung adalah orang pribadi atau badan dan penyewa adalah orang pribadi maka orang pribadi atau badan pemilik gedung menyetorkan kewajiban PPh Final pasal 4 ayat (2) setiap tanggal 15 bulan berikutnya apabila sewa dilakukan setiap bulannya.
  • Apabila pemilik gedung adalah orang pribadi atau badan dan penyewa adalah orang pribadi atau badan usaha yang ditunjuk sebagai pemotong, maka penyewa memotong PPh Final Pasal 4 ayat (2) dan memberikan bukti potong kepada pemilik gedung.

b. Jenis PPh Pasal 23

Atas penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas imbalan sehubungan dengan jasa manajemen. Jasa manajemen adalah merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan atau pengelolaan manajemen.

Apabila pemilik gedung menyerahkan pengelolaan gedung kepada pihak penyedia jasa pihak ketiga, maka penyedia jasa tersebut termasuk pengertian jasa manajemen sehingga atas imbalan yang dibayarkan oleh pemilik gedung ke penyedia jasa pihak ketiga dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 23.

Adapun mekanisme pembayaran PPh Pasal 23 tersebut dilakukan sebagai berikut :

  • Apabila pemilik gedung adalah Orang Pribadi (yang ditunjuk sebagai pemotong) atau badan membayar jasa manajemen kepada pihak ketiga terlebih dahulu dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 dan bukti potong diberikan kepada pemberi jasa manajemen sebagai bukti potong.
  • Apabila pemilik gedung adalah Orang Pribadi yang bukan pemotong maka tidak ada pemotongan yang dilakukan namun pemberi jasa secara self assessment melakukan kewajiban perpajakannya.

c. Jenis PPh Pasal 25 dan Atau PPh Final dengan Omset Tertentu

Bagi pelaku startup (Orang Pribadi dan atau Badan) yang melakukan aktivitas bisnisnya melalui kantor virtual harus secara self assessment melaporkan, menghitung, dan membayar kewajiban Pajak Penghasilannya. Apabila omset berada dalam jumlah tertentu yaitu sampai dengan Rp. 4,8 Milyar maka melakukan pembayaran setiap bulannya dengan mekanisme Peredaran Bruto sebulan dikalikan tarif  0,5% dan bersifat Final (PP 23/2018).

Bagi yang melaksanakan kewajibannya memilih menggunakan pembukuan dan tarif non final ()Omset diatas Rp. 4,8 milyar) maka melakukan kewajiban PPh pasal 25 dengan nilai yang sama setiap bulannya dan dihitung setiap akhir tahun buku dengan cara mengkreditkan jumlah angsuran PPh Pasal 25 yang telah disetor sendiri.