BAB 2 :

HAK ASASI MANUSIA SEBAGAI FONDASI DEMOKRASI

HAK ASASI MANUSIA DAN DEMOKRASI

Dalam bab sebelumnya, kita sudah mengetahui bahwa demokrasi berdiri di atas prinsip hak asasi manusia, sekarang kita akan melihat hal ini dengan lebih mendetail.

Hak asasi manusia membuat kita berhak turut mengatur masyarakat. Mengapa? Karena saya adalah manusia dan manusia adalah sebuah unit yang membentuk masyarakat. Kalau manusia adalah sebuah unit yang membentuk masyarakat, maka perkara masyarakat ini harus bagaimana dan harus diatur oleh siapa, harus ditentukan oleh setiap orang, yang merupakan unit dasar pembentuk masyarakat. Maka, hak politik, hak sosial, dan hak menentukan pemerintahan, dimiliki oleh semua orang. Meskipun setiap orang di dalam masyarakat harus bertanggung jawab kepada Tuhan, tetapi setiap orang juga berhak ikut campur di dalam pengaturan masyarakat di mana ia berada, karena mereka juga adalah unit-unit yang membentuk suatu masyarakat. Jadi apakah negara boleh diatur dengan sewenang-wenang oleh satu orang, ataukah semua orang harus diikut-sertakan di dalam pengaturannya? Jawabannya : biarlah semua orang yang berada di negara itu mempunyai hak untuk ikut campur di dalam pemilihan sistem, di dalam pemilihan dan pembatasan terhadap penguasa. Ini berarti hak asasi manusia menunjang demokrasi.

TAHAP-TAHAP DEMOKRASI

Demokrasi itu bagaikan seorang bayi di dalam kandungan yang sulit untuk dilahirkan. Demokrasi menempuh jalan yang lama dan sulit sekali, bagaikan suatu kehamilan yang sudah amat tua dan sulit dilahirkan. Terkadang, kelahiran demokrasi mnengakibatkan luka berat bagi induknya dan kematian banyak orang atau rakyatnya, dan kecelakaan besar bagi zaman itu. Namun demikian, demokrasi tetap harus dilahirkan.

Di dalam sebuah ceramah saya di Taipei, saya mengatakan bahwa paling sedikit ada tujuh tahap untuk menstabilkan kemungkinan melaksanakan sistem demokrasi. Sekarang saya akan mengutip dua di antaranya.

  • 1. Harus memberikan pendidikan yang benar kepada rakyat. Jika rakyat tidak mempunyai pendidikan dan belum sungguh-sungguh mengerti, tetapi sudah diberi kuasa untuk memilih, maka itu akan mendatangkan bahaya yang besar. Jika pendidikan dijadikan strategi untuk membodohi rakyat, sehingga seluruh pikiran mereka telah diatur dan mereka membabi buta sehingga tidak dapat melihat dengan jelas, maka demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik.
  • 2. Demokrasi baru dapat mempunyai fondasi yang stabil jika pers transparan dan segala informasi ditulis dengan jujur dan tidak memihak. Jika semua yang kita baca ditulis oleh mereka yang sudah mempunyai motivasi yang telah memihak, dan kita kemudian memberikan suara berdasarkan apa yang kita baca itu, maka itu berarti kita sudah diperalat oleh mereka.

Jika kedua hal ini tidak dikerjakan baik-baik, maka kedua hal ini akan menjadi hal yang paling fatal bagi demokrasi.

DEMOKRASI DALAM KEBUDAYAAN DUNIA

Banyak orang menolak demokrasi karena ia ingin memerintah dengan sewenang-wenang. Akan tetapi, apakah jika demokrasi dijalankan, manusia akan lebih maju? Belum tentu! Karena walaupun demokrasi telah dijalankan dengan sepenuh-penuhnya, tidak menjamin bahwa manusia tidak akan jatuh ke dalam barbarianisme tahap kedua. Saya tidak akan menganalisa hal ini terlebih dahulu, tetapi sekarang kita akan melihat dari manakah sebenarnya bibit demokrasi itu.

1. Demokrasi di Zaman Yunani Kuno

Bibit demokrasi tidak pernah muncul dalam arti yang sesungguhnya dalam sastra Timur, baik sastra Jepang, sastra Cina, sastra India, maupun sastra di seluruh Asia. Oleh sebab itu orang Asia menolak demokrasi, dan pemerintah-pemerintah Asia takut kepada demokrasi. Hal ini wajar karena demokrasi memang tidak pernah muncul di dalam pemikiran Asia. Di Asia tidak pernah ada bibit demokrasi.

Lalu, dari manakah istilah “demokrasi” berasal? Istilah ini muncul pada abad ke-empat sebelum masehi. Istilah itu merupakan gabungan dari dua bahasa Yunani, yaitu “demos” dan “kratos”. Demos berarti rakyat, dan kratos berarti kuasa, sehingga demoskratia berarti kekuasaan tertinggi seharusnya berada di tangan rakyat atau rakyatlah yang harus berkuasa di dalam masyarakat.

Konsep ini merupakan konsep yang amat inovatif dan kreatif, karena sebelum orang Yunani, belum pernah ada pemikiran seperti ini. Setelah Plato selesai mengelilingi negara-negara yang penting selama 13½ – 14 tahun, ia pulang dan berkata bahwa ia kagum sekali dengan para petani di Mesir yang begitu taat kepada pengaturan kaisar mereka, yaitu Firaun. Jadi, di negara-negara kuno tidak pernah ada demokrasi, di Timur Tengah tidak pernah ada demokrasi, demikian juga di Mesir. Akan tetapi di Athena terdapat konsep bahwa mereka yang ada di kota itulah yang membuat peraturan.

Mereka yang berada di kota dapat dibagi menjadi empat golongan, yaitu:

  • orang-orang kaya yang bersifat aristokratis;
  • orang-orang yang menjadi filsuf dan pengajar, orang-orang bijaksana;
  • orang-orang yang telah ditetapkan untuk menjadi polisi dan pengacara; dan
  • rakyat biasa yang tidak mempunyai jabatan apa-apa. Inilah yang termasuk orang-orang yang berada di kota, dan mereka pun memutuskan untuk tidak mau dicampuri oleh kota-kota lain, atau oleh bangsa-bangsa lain, tetapi dengan cara musyawarah mereka mau membuat peraturan sendiri, dan di saat pemimpin itu memerintah, ia harus mengikuti peraturan-peraturan yang telah mereka tetapkan. Maka, demokrasi dimulai di polis-polis di Yunani. Istilah polis berarti kota. Di Alkitab ada sebuah kota yang bernama Dekapolis yang berarti kumpulan sepuluh kota kecil menjadi sebuah kota.

Jadi demokrasi pernah dilaksanakan di Athena, tetapi tidak terlalu sukses. Mengapa? Karena ketika mau dilaksanakan, timbul perdebatan apakah budak dapat ikut serta. Akhirnya diputuskan bahwa budak tidak dapat ikut didalam demokrasi karena mereka dianggap bukan orang yang bebas dan sudah dibeli, sehingga tidak mempunyai hak selain menjadi mesin untuk bekerja. Selain itu, para wanita, anak-anak, dan orang kafir juga tidak diizinkan untuk ikut serta. Jadi, demokrasi di Athena sebenarnya tidak diikuti oleh kira-kira 80 persen orang di kota itu yang tidak mempunyai hak politik sama sekali. Oleh sebab itu, demokrasi di Athena sebenarnya bukanlah demokrasi yang sejati.

Selain itu, ada dua hal yang menyebabkan demokrasi tidak sukses saat pertama kali dilaksanakan di Athena: (1) Tidak lama setelah dicetuskannya hal tentang demokrasi, mereka mendengar suara bahwa demokrasi telah merajalela, sehingga mengakibatkan kekacauan yang besar; (2) Socrates menjadi korban demokrasi. Socrates mati karena demokrasi. Pada waktu rakyat banyak menuntut agar Socrates harus dihukum mati, maka Socrates harus dihukum mati karena rakyatlah yang menghendaki.

Apakah demokrasi merupakan hal yang baik? Ya! Apakah demokrasi mengandung bahaya? Ya! Demokrasi pernah mematikan salah seorang jenius terbesar di sepanjang sejarah, dan hal serupa pernah pula terjadi di dalam diri Yesus Kristus. Pada saat itu Pilatus ditekan oleh mayoritas dan ia tidak sanggup menguasai massa, sehingga ia harus menjatuhkan hukuman mati kepada Yesus.

Pada waktu Plato melihat guru yang ia kagumi dibunuh, ia meninggalkan Athena. Dalam bukunya ia menuliskan, “Aku melarikan diri bukan karena aku takut, tetapi karena aku tidak mau memberikan kesempatan kepada orang-orang yang tidak terpelajar itu untuk berdosa dengan membunuh filsuf.” Ini merupakan salah satu bukti bahwa demokrasi belum tentu dapat membuat manusia lebih maju. Sejarah mengajar kita bahwa demokrasi terkadang dapat mendatangkan bahaya yang besar.

2. Demokrasi di Cina

Banyak mahasiswa di Indonesia dan di Beijing yang masih sangat polos dan naif. Pada tanggal 4 Mei 1919, tujuh puluh tahun sebelum terjadinya tragedi Tiananmen, terdapat sekelompok mahasiswa Cina yang berteriak menuntut ilmu pengetahuan dan demokrasi. Pada tahun 1989, para mahasiswa juga menuntut agar pemerintah memberikan kepada mereka demokrasi atau kematian. Deng Xiao Ping memilih memberikan kematian kepada mereka. Saya perkirakan pada saat itu ada sekitar 1.200 mahasiswa Cina yang tewas ditembak oleh tentara Cina sendiri dengan menggunakan peluru yang biasa digunakan untuk menembak orang yang dianggap paling jahat. Jika yang dimaksudkan adalah untuk memberikan peringatan, maka yang dipakai seharusnya adalah peluru karet. Perbuatan ini mendapatkan kutukan yang keras dari seluruh dunia, tetapi mereka berdalih bahwa semua itu diakibatkan karena selama rezim Komunis berdiri, mereka tidak pernah menghadapi demonstrasi seperti itu, sehingga mereka tidak pernah mempersiapkan peluru karet di dalam gudang mereka, yang ada hanyalah peluru asli.

Di sini kita melihat bahwa tidak ada kemajuan selama tujuh puluh tahun ini. Para mahasiswa tetap meneriakkan hal yang sama, yaitu menuntut demokrasi, sehingga selama tujuh puluh tahun ini, demokrasi belum pernah lahir di Cina. Jadi, di Cina, demokrasi ibarat sudah hamil tua tetapi tidak kunjung lahir.

Ketika seorang Amerika di Tiananmen bertanya kepada seorang mahasiswa: “Apa yang kamu maksudkan dengan demokrasi, apakah itu berarti seluruh rakyat di Cina harus mengikuti pemungutan suara menentukan siapa yang akan memimpin Cina?” Mahasiswa itu berkata, “Tidak! Karena jika semua orang di Cina mengikuti pemungutan suara, maka mereka akan kembali memilih Komunis untuk memerintah Cina.” Ia kemudian menambahkan bahwa yang mereka maksudkan dengan demokrasi ialah mereka seharusnya mempunyai hak. Ketika orang Amerika itu bertanya, bukankah yang dimaksud dengan “mereka” di sini hanyalah para pelajar, yang merupakan sebagian kecil dari seluruh rakyat Cina? Mereka menjawab bahwa mereka mewakili rakyat. Orang Amerika itu kemudian bertanya lagi, kapan mereka ditunjuk oleh rakyat untuk mewakili mereka.

Pada waktu mereka menjawab bahwa mereka sendiri yang menunjuk, maka ia berkata bahwa itu pun bukan demokrasi. Jadi, mereka terlalu naif dan terlalu menganggap diri pandai, tetapi sesungguhnya tidak mengetahui banyak hal. Hanya oleh anugerah Tuhan saja mahasiswa dapat menang. People Power di Filipina dapat menang karena anugerah Tuhan, demikian pula keberhasilan para mahasiswa Indonesia menurunkan Soeharto. Demokrasi bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilahirkan.

Bibit demokrasi tidak ditemukan dalam Konfusianisme. Sampai hari ini, Cina belum pernah sungguh-sungguh menjalankan demokrasi, walaupun memang sudah pernah ada konsep mengenai demokrasi yang dimulai pada tahun 1911, yaitu ketika Sun Yat Sen dengan kekuatan rakyat yang besar berhasil menjatuhkan dinasti Cing, dinasti terakhir dari Manchuria. Akan tetapi, bibit demokrasi di sini bukan dari Konfusianisme, dan ia mempelajari sistem hak asasi manusia dari Barat. Ia dipengaruhi oleh Kitab Suci, sehingga ia menerapkan konsep demokrasi di Cina.

Pada saat itu, Kuo Min Tang berusaha menyusun konsep tentang bagaimana rakyat seharusnya menjadi tuan rumah dari seluruh Cina, yang pada saat itu mempunyai lebih dari 400 juta warga negara, terbanyak di seluruh dunia. Sementara itu Sun Yat Sen mengharapkan agar Tiongkok mempunyai satu milyar warga negara, sehingga dapat menjadi kuat. Tahun 1911 Sun Yat Sen menggulingkan Manchuria, tetapi empat belas tahun kemudian, Maret 1925, ia meninggal dunia terserang kanker liver yang baru diketahui pada bulan November 1924. Tiga tahun kemudian, Chiang Kai Sek membasmi seluruh jenderal terkuat yang menjadi tuan rumah Cina Utara dan mempersatukan Cina. Akan tetapi, walaupun namanya demokrat, ternyata ia juga adalah seorang diktator hingga pada hari kematiannya.

Tahun 1927, Mao Tze Dong melihat bahwa demokrasi tidak dapat menolong Cina, yang bisa hanyalah Karl Marx. Ia kemudian mendirikan Partai Komunis. Ia disiksa oleh Chiang Kai Sek dan para pengikut partai komunis tidak mempunyai hak hidup di Cina. Pada tahun 1949, Chiang Kai Sek berhasil diusir ke Taiwan, dan Mao Tze Dong merajalela di Beijing. Ia menyebut Cina sebagai negara rakyat. Tetapi pemerintah Cina itu sendiri tidak pernah sungguh-sungguh dipilih oleh rakyat. Ini merupakan suatu penipuan.

Tetapi heran jika demokrasi tidak dapat ditemukan di Timur, karena setelah diselidiki selama 3.000 tahun, dalam sejarah sastra Tiongkok tidak pernah ada bibit demokrasi. Demokrasi tidak ada pada pemikiran Tiongkok dan tidak ada pada filsafat Konsusianisme. Konfusius amat mencintai rakyat seumur hidupnya, tetapi ia tidak pernah mengatakan bahwa pemerintah harus dipilih oleh rakyat. Ia hanya mengkritik dan berkata bahwa pemerintah yang kejam lebih celaka daripada harimau.

Suatu kali ketika berjalan, ia sampai di suatu pegunungan. Tempat itu tampaknya amat berbahaya, karena macan seringkali keluar masuk tempat itu. Di situ ia melihat seorang wanita yang menggendong seorang anak bayi dan menggandeng anak yang tinggal di gubuk di dekat situ. Konfusius bertanya mengapa wanita itu tinggal di tempat itu, padahal ia tahu jika tempat itu adalah tempat yang berbahaya. Ia berkata, bahwa jika ia tinggal di kota, ia akan diperas habis-habisan oleh pemerintah. Setiap hari selalu ada tagihan pajak yang datang. Sedangkan di tempat itu ada macan, tetapi tidak ada pajak. Mendengar ini Konfusius berkata bahwa “pemerintah yang kejam lebih ganas daripada harimau.” Itulah kalimat yang ia katakan, tetapi ia tidak pernah menyebut-nyebut tentang demokrasi.

Mencius, yang hidup dua ratus tahun setelah Konfusius, adalah filsuf terbesar kedua dalam sejarah Cina. Mencius pernah mengatakan kalimat yang amat mirip dengan demokrasi, tetapi tetap bukan demokrasi: “Rakyat adalah yang paling terhormat; wilayah kerajaan adalah yang kedua, dan raja adalah yang paling tidak penting.” Memang ada orang-orang yang sebenarnya sudah amat mementingkan rakyat, tetapi tetap tidak cukup untuk membentuk sistem demokrasi. Walaupun orang Barat menyebut Mencius sebagai salah satu filsuf yang paling demokratis di sepanjang sejarah kuno, baik di Cina maupun di dunia Timur, bibit demokrasi tetap tidak dapat kita temukan melalui dia.

Ketika berkhotbah di New York, saya berkata bahwa di sepanjang tiga ribu tahun sejarah sastra Cina, Cina tidak mempunyai bibit demokrasi. Di situ ada seorang profesor yang pernah mengajar sejarah di Universitas Beijing. Ia merasa jengkel mendengar kalimat saya dan berkata bahwa ia akan menyelidiki apa yang saya katakan.

Dua bulan kemudian, di dalam kebaktian yang berbeda, ia kembali menulis surat kepada saya. Ia berkata, bahwa setelah mati-matian menyelidiki, akhirnya ia menemukan istilah demokrasi muncul dua kali dalam sastra Cina. Tetapi ia juga mengakui bahwa walaupun istilah yang dimunculkan adalah demokrasi, namun artinya tetap bukan demokrasi. Jadi di dalam sastra Cina tetap tidak ada bibit demokrasi.

3. Demokrasi di India

Di India juga tidak ada bibit demokrasi, walaupun pada saat ini India disebut negara demokrasi terbesar di dunia. Mengapa? Karena Hinduisme telah membagi manusia menjadi empat kasta, sehingga itu berarti hak asasi manusia juga dibagi-bagi. Mereka yang dilahirkan dalam kasta pengemis dan orang miskin, tidak mungkin melompat ke kasta yang lain. Demikian pula mereka yang termasuk golongan aristokrat, untuk selama-lamanya tidak akan pernah turun ke kasta yang lebih rendah. Jikalau demikian halnya, maka hak asasi manusia tidak mungkin dijalankan dengan baik. Oleh sebab itu, India tidak mempunyai bibit demokrasi.

India menjadi negara demokrasi bukan karena Hinduisme, tetapi karena Mahatma Gandhi yang dipengaruhi oleh Kekristenan. Gandhi hidup sebagai seorang Hindu sampai pada kematiannya, akan tetapi hatinya adalah hati yang mengikut Kristus. Pemimpin-pemimpin Asia sulit meninggalkan agamanya. Karena jika mereka memimpin negaranya, tetapi tidak setia kepada agama mereka, maka mereka sulit bertanggungjawab terhadap negaranya itu. Keberanian Sun Yat Sen yang meninggalkan Konfusianisme merupakan keberanian yang luar biasa, dan karena jasanya yang begitu besar, maka orang-orang Cina masih sangat menghormati dia, walaupun ia tidak seagama dengan mereka.

4. Demokrasi di Negara-negara Timur Tengah

Bibit demokrasi juga tidak terdapat di dalam agama Islam. Di dalam Islam, tidak ada konsep rakyat yang memilih pemerintah. Bahkan sampai hari ini dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada negara Islam yang mempunyai kerelaan untuk menjalankan demokrasi jikalau bukan paksaan Barat. Islam termasuk salah satu agama dengan sistem pikiran yang tertutup, sehingga ada perbedaan hak yang amat besar antara pria dan wanita, dan antara orang dewasa dan anak-anak.

Tidak heran jika bapak negara pertama kita bukanlah seorang yang memegang pemikiran Islam secara ketat. Pemikiran Soekarno sebenarnya dipengaruhi oleh Barat. Selama tiga puluh dua tahun Soeharto memerintah, ia tidak pernah mengizinkan orang Tionghoa ikut campur di dalam politik, meskipun mereka adalah warga negara Indonesia. Itu sebenarnya sudah merupakan perampasan hak asasi manusia. Dalam demokrasi di Indonesia, ada begitu banyak pelanggaran hak asasi yang tidak digugat. Kalau saat ini kita mulai mau menelusuri, maka akan ada banyak hal yang dapat kita pelajari.

Indonesia juga sedang berada di dalam bahaya yang sama dengan apa yang dialami oleh Athena, karena di dalam naungan demokrasi, semua orang seolah dapat berteriak-teriak dan mempunyai kemauan sendiri-sendiri. Negara ini berada di ambang pintu keliaran dan tidak tahu bagaimanakah hari depannya. Mahasiswa yang polos tetapi naif, yang tidak pernah belajar macam-macam demokrasi, yang mana yang benar, dari mana harus memulai, dan apa sebenarnya dasar demokrasi, tetapi hanya berteriak-teriak menuntut demokrasi. Padahal demokrasi mempunyai berbagai jenis dan sumber yang tidak mereka ketahui.

Salah satu negara Islam yang dianggap paling demokrasi dan yang paling modern adalah Malaysia. Tetapi mereka sendiri mengakui bahwa dari permulaan sebenarnya di Malaysia tidak pernah ada demokrasi. Harian Kompas pernah mengatakan bahwa Malaysia juga belum pernah mengetahui tentang demokrasi, dan sudah tiga puluh orang Malaysia yang pergi ke Jakarta untuk belajar teknik berdemonstrasi, supaya mereka dapat menggulingkan Mahathir Mohammad yang sudah berada di atas takhta selama belasan tahun. Saat ini, seluruh dunia marah kepada Malaysia karena mereka menangkap Anwar Ibrahim tanpa melalui pengadilan, tanpa ada tuduhan yang resmi dan pembelaan diri.

5. Demokrasi dalam Revolusi Prancis

Kita telah melihat bahwa sistem demokrasi pertama di Barat adalah sistem kota di Yunani. Dan sistem demokrasi kedua adalah apa yang kita kenal dengan nama Revolusi Prancis (tahun 1789) yang dimulai di penjara Bastille, yang menyebabkan raja Prancis waktu itu, Louis XVI, dipenggal kepalanya dengan guillotine.

Jean Jacques Rousseau pernah menulis sebuah buku penting yang berjudul Du Contrat Social ou Principes du droit politique (Of The Social Contract or Principies of Political Right) pada tahun 1762. Konsep Kontrak Sosial bermula dari John Locke, seorang filsuf Inggris yang berkata bahwa diperlukan persetujuan rakyat untuk memberikan mandat kepada penguasa dan untuk mengikat kekuasaannya, sehingga ia tidak sewenang-wenang di dalam memperlakukan rakyat. Akan tetapi, meskipun konsep kontak sosial sudah muncul dalam pemikiran John Locke, tetapi buku Rousseau itulah yang menjadi pemicu kobaran api yang meletus pada tahun 1789 di Bastille, Perancis.

Pada zaman itu ada banyak orang pintar, antara lain Diderot, Voltaire, Allembert, para pendiri aliran Encyclopedia, namun mereka hanya menjelajah di wilayah rasio, dan tidak membakar dunia intuisi. Rousseau adalah seorang yang mempunyhai kharisma yang besar, dan tulisan-tulisannya dapat langsung membakar intuisi dan menggugah pengertian seluruh rakyat prancis. Maka buku Du Contrat Social dianggap sebagai buku yang membahayakan, dan langsung menjadi buku yang paling terlarang pada masa raja Louis XVI berkuasa di Prancis.

Kalimat pertama dari buku itu langsung mencetuskan api yang menggugah umat manusia: “Manusia dilahirkan semua sama, tetapi karena sistem masyarakat yang berbeda-beda, maka ada yang harus menjadi budak, ada yang sudah kehilangan hak karena ditindas, ada yang kebebasannya dirampas. Oleh karena itu, kita semua harus mendirikan suatu sistem masyarakat di mana setiap orang berhak turut menentukan pembentukan masyarakat.” Itu merupakan suatu deklarasi yang menggugah seluruh dunia untuk menuju kepada demokrasi. Inilah satu deklarasi yang langsung mengetuk hati nurani seluruh umat manusia.

Apakah Prancis merupakan induk dan pelopor demokrasi seluruh dunia? Di satu pihak, jawabannya adalah ya. Tetapi di pihak yang lain, demokrasi di Prancis sebenarnya mengandung bahaya yang besar. Mengapa? Karena demokrasi mereka menjunjung tinggi manusia dan kebebasan tanpa ditunjang oleh ikatan moral yang sesuai dengan Firman Tuhan. Pada tahun 1989, Margaret Thatcher yang diundang untuk mengikuti perayaan dua ratus tahun revolusi Prancis, menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh wartawan: “Revolusi Prancis tidaklah buruk, akan tetapi kekacauan, pembunuhan, dan ketidak-adilan banyak terjadi pada saat itu.”

Salah seorang sastrawan Prancis yang terbesar yang bernama Roman Rolley, pada masa mudanya berkata: “Kebebasan! Kebebasan! Itu yang terpenting. Meskipun hidup sangat berharga dan cinta sangat bernilai, tetapi demi memperoleh kebebasan, kedua hal ini boleh dibuang.” Ini berarti, kalau saya tidak bebas, maka saya lebih baik mati, dan untuk mendapatkan kebebasan tidak ada cinta pun tidak apa-apa. Akan tetapi, sebelum ia meninggal, kalimat terakhirnya adalah, “Kebebasan! Kebebasan! Sayang sekali begitu banyak dosa memakai kamu sebagai jubah dan topengnya untuk kemudian merajalela di masyarakat kami.” Ia akhirnya menyesal karena kebebasan yang tidak terkendali ternyata telah mengakibatklan kerusakan moral di Prancis.

6. Demokrasi dalam Iman Kristen

Demokrasi di Prancis akhirnya tidak berjalan lama dan pernah menimbulkan suatu akibat yang sangat mengerikan. Demokrasi di Yunani Kuno juga tidak melibatkan banyak orang yang dianggap budak, perempuan, dan anak-anak. Demokrasi di Inggris tidak menurunkan raja/ratu, tetapi hanya membatasi kuasa kerajaan dengan memakai sistem monarkhi konstitusional, sedangkan demokrasi di Amerika dipengaruhi oleh dua faktor yaitu agama Kristen dan Revolusi Prancis. Jadi, di manakah kita dapat menemukan bibit demokrasi?

Bibit demokrasi dapat ditemukan di dalam Kitab Suci dan diper-tumbuhkan oleh Reformasi yang asli. Kira-kira 500 tahun yang lalu, para reformator mulai kembali memikirkan apa yang disebut dengan peta dan teladan Allah. Manusia dicipta menurut peta dan teladan Allah sehingga manusia harus berpikir seturut pikiran Tuhan, berperasaan seturut perasaan Allah, berkehendak seturut kehendak Allah, diikat di dalam hukum yang seturut dengan hukum Allah. Semua tuntutan dari theologi Reformed ini mengakibatkan kemungkinan terciptanya sekelompok masyarakat yang dibentuk oleh orang-orang yang sadar bahwa mereka semua dicipta seturut peta dan teladan Allah, dan yang oleh karenanya harus hidup memancarkan kemuliaan Allah dan harus turut mengatur masyarakat dengan perasaan takut kepada Allah, mencintai orang lain seperti mencintaI diri sendiri.

Di mana Calvinisme berada, Calvinisme selalu menjadi perangsang demokrasi yang paling penting. Di mana theologi Reformasi berada, di sana orang-orang Kristen digugah bahwa mereka tidak hanya sekadar menunggu untuk dipanggil ke sorga, mereka juga harus turut bekerja untuk memperbaiki masyarakat di mana mereka berada. Jadi, Calvinisme atau theologi Reformed menjadi perangsang yang paling ampuh untuk memberikan bibit hak asasi manusia kepada seluruh dunia ini.

Kalau kita membandingkan demokrasi di Yunani dengan demokrasi di Prancis, dan demokrasi yang dipengaruhi oleh theologi Reformed, maka kita akan melihat hal yang sangat berbeda. Demokrasi di Yunani adalah demokrasi yang tidak merata. Perempuan, anak-anak dan orang asing tidak mempunyai hak untuk turut berpartisipasi. Demokrasi di Prancis adalah demokrasi yang atheistik, yang hanya menuntut hak dan tidak pernah menyinggung kewajiban dan tanggung jawab kepada Allah. Sedangkan demokrasi yang diakibatkan oleh theologi Reformed berhasil menyeimbangkan fungsi rasio, fungsi hukum, dan fungsi moral, yang ketiga-tiganya dipunyai oleh manusia yang diciptakan menurut peta dan teladan Allah. Keseimbangan diantara ketiga fungsi ini membentuk keseluruhan kewajiban manusia, jika ia mau memakai hak sebagai manusia. Di sinilah sumbangsih iman Kristen berkenaaan dengan hak asasi manusia.

Jadi, demokrasi yang sesungguhnya adalah demokrasi yang sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Alkitab, yaitu seorang pemimpin harus memperlakukan rakyat dengan pengertian bahwa setiap orang dicipta menurut peta dan teladan Allah. Jika pengertian tentang hak asasi manusia dicabut dari pengetahuan theologis yang diwahyukan di dalam Alkitab, maka tidak akan ada lagi pengaturan untuk hal moral. Ini yang pertama.

Kedua, jikalau pengertian bahwa manusia sudah jatuh ke dalam dosa tidak menjadi dasar untuk mengerti hak asasi manusia, maka pelaksanaan hukum akan menjadi sangat longgar dan berbagai pengampunan terhadap dosa-dosa yang mungkin diperbuat oleh mayoritas manusia akan merajalela, sehingga arah kebebasan di hari depan akan sulit dikontrol.

Mengapa Kekristenan harus menjadi sumber dari demokrasi? Mengapa Kekristenan memberikan bibit yang terbaik bagi sistem bermasyarakat? Karena orang Kristen melihat manusia melalui wahyu Tuhan. Orang Kristen memperlakukan manusia seperti Allah menghargai manusia. Selain itu, yang menjadi standar untuk mengukur diri kita dan orang lain adalah bagaimana hubungan seseorang dengan Tuhannya, dan bagaimana ia menjalankan kehendak Tuhan. Jikalau kita mengerti firman Tuhan, dan mengetahui bagaimana cara dan tujuan Ia menciptakan manusia, dan bahwa Ia akan mengetahui bagaimana kita harus menghargai, mengevaluasi dan mengembangkan diri, dan bagaimana kita harus mempertanggungjawabkan segala kebebasan kita kepada Tuhan.

Alkitab berkata: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Matius 22:39). Kalimat yang telah sering kita dengar ini sebenarnya adalah dasar hak asasi manusia, yang menjadi prinsip yang tidak boleh diguncangkan untuk selama-lamanya. Mengapa para penguasa memperlakukan rakyat secara sembarangan dan mengapa seseorang menindas hak orang lain? Karena ia tidak sadar bahwa di dalam diri orang lain ada suatu diri yang nilainya sama dengan dirinya sendiri. Oleh sebab itu, jika Saudara menghargai diri Saudara sendiri, maka hargailah pula semua orang lain, karena mereka mempunyai suatu diri seperti diri Saudara sendiri. Jika Saudara tidak mau diri Saudara diperlakukan secara sembarangan, jangan memperlakukan orang lain dengan sembarangan. Demokrasi dan hak asasi manusia harus diletakkan di atas dasar perinsip Alkitab.

Tuhan berkata, “Biarlah semua raja mengikat firman-Ku sebagai lambang pada lengannya, pada dahinya, dan pada jubahnya.” (bdk. Ulangan 6:4-9; 17:18-20). Ini berarti semua yang menjadi pemerintah harus memikirkan semua kebenaran yang telah Tuhan ajarkan, sehingga semua tindakannya didasarkan pada firman. Tidak salah jika Tuhan memerintahkan mereka mengikuti kebenaran pada jubahnya, supaya ke mana pun mereka pergi, tindak-tanduk mereka tetap berdasarkan firman.

CONTOH DEMOKRASI DALAM ALKITAB

Apakah di Alkitab pernah dicatat bahwa Tuhan menghargai suara rakyat? Pernahkah suara rakyat mempengaruhi Tuhan di dalam mengambil keputusan sehingga Tuhan kemudian mengabulkan suara rakyat itu? Kalau Tuhan tidak pernah menghargai rakyat, maka bagaimana kita dapat menyatakan bahwa Alkitab menyetujui demokrasi? Alkitab pernah satu kali mencatat hal ini, yaitu ketika orang Israel meminta seorang raja memerintah mereka (1 Samuel 8:22). Bukankah ketika Israel meminta seorang raja, itu merupakan suatu bentuk demokrasi?

Permintaan orang Israel itu membuat Samuel sedih karena orang Israel telah menolak Tuhan sebagai Raja. Pada waktu ia mengadukan hal ini kepada Tuhan, Tuhan tidak memerintahkan untuk menindas dan menggilas orang Israel. Tuhan justru berkata agar Samuel jangan sedih, dan supaya ia mengabulkan permintaan mereka. Di sinilah satu-satunya tempat kita melihat bahwa Tuhan menghargai demokrasi.

Tuhan menghormati hak asasi manusia, bahkan Ia terkadang menghargai hak manusia untuk melawan Tuhan. Manusia diberi hak kebebasan oleh Tuhan, termasuk kemungkinan untuk melawan Tuhan. Itu adalah hak yang diberikan oleh Tuhan. Sebagaimana seorang bapa mengabulkan permintaan anak yang terhilang, yang menggunakan haknya untuk melawan bapanya. Ia hanya mau harta tetapi tidak mau bapanya. Demikian halnya manusia hanya mau anugerah, tetapi tidak mau Tuhan. Anak itu pergi dengan hak asasi manusia, dan setelah menghamburkan semuanya, ia akhirnya menjadi penjaga babi.

Waktu itu ia baru sadar bahwa tidak seharusnya ia berada dalam kondisi semacam itu. Ia memutuskan untuk kembali ke rumah. Ketika pulang, seharusnya ia sudah tidak lagi mempunyai hak sebagai anak, karena hak itu sudah ia ambil dan habiskan. Ia sendiri menyadari bahwa ia sudah tidak mempunyai hak, sehingga ia berkata” “Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa.” (Lukas 15:21). Tetapi ayah itu berkata: “Lekaslah bawa kemari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dan marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali.” (Lukas 15:22-24). Walaupun kita pernah menginjak-injak hak yang Tuhan berikan kepada kita, tetapi ketika kita kembali, Tuhan tetap memberikan hak kepada kita.

Di sini kita dapat melihat bahwa Tuhan bukan diktator, dan Ia tidak menindas semua yang melawan-Nya. Tetapi, waktu kita memakai hak asasi manusia untuk melawan Tuhan, maka itu berarti kita sedang membunuh hak asasi kita sendiri, karena hak asasi kita hanya dapat terjamin di dalam tangan Tuhan saja.

Ketika rakyat Israel menggunakan kuasa rakyat untuk menuntut seorang raja, itu berarti mereka sedang meminta untuk menegakkan seorang raja yang kemudian akan membunuh rakyat. Justru setelah mereka memakai demokrasi, orang Israel kehilangan demokrasinya. Tuhan menyuruh Samuel untuk memberitahukan kepada orang Israel bahwa permintaan mereka itu justru akan mengikat mereka (1 Samuel 8:10-18). Di sini kita melihat adanya suatu prinsip yang penting: kebebasan diberikan kepada manusia, tetapi juga disusul oleh peringatan.

DEMOKRASI DAN DILEMA

Di dalam sejarah kita telah melihat bahwa suara mayoritas tidak menjamin suatu hal sama dengan kebenaran. Suara mayoritas dapat menyebabkan bahwa di kemudian hari, asal orang banyak setuju, maka sesuatu hal harus dijalankan. Demokrasi yang tidak didasarkan pada kebenaran akan mengakibatkan sirkulasi yang menuju pada barbarianisme yang baru. Kalau manusia mempunyai kebebasan dan mempergunakan kebebasan itu tanpa kendali, maka kebebasan-kebebasan itu mengakibatkan terjadinya keliaran di dalam masyarakat.

Saat ini, begitu banyak negara yang mempermainkan istilah demokrasi. Itu berarti mereka sedang membunuh demokrasi yang sesungguhnya. Amerika akan menjadi negara barbar, jika mereka tidak kembali kepada Tuhan. Jika manusia memakai kebebasan yang tidak dikontrol oleh kesucian Tuhan, ia akan menjadi orang utan yang mengenakan pakaian pendidikan tinggi, seperti halnya Clinton, Diana, dan Charles.

Ketika Kenneth Star menuntut Bill Clinton, ia disebut terlalu mengganggu hak asasi manusia yang dipercayai oleh Clinton. Clinton dianggap sudah berhasil di dalam kebijakan ekonominya, mempunyai kemampuan diplomasi yang baik, dan mempunyai kawan-kawan di seluruh dunia. Pada waktu Clinton hadir di PBB, seluruh dunia masih memberikan sambutan dengan berdiri bertepuk tangan, dan dua hari kemudian seratus pemimpin yang terkemuka di dunia mengirim surat ke Amerika untuk meminta agar Clinton jangan diturunkan. Kebebasan dan hak asasi manusia di Amerika sudah menjadi sedemikian rupa, sehingga Presiden bisa “membuka celana” di kantornya sendiri dan bermain-main dengan seorang perempuan muda. Akan menjadi apakah negara Amerika Serikat itu?

Seorang Inggris pernah menyatakan kekecewaannya terhadap Clinton, karena ketika berkampanye Clinton mengatakan bahwa nilai keluarga sangat penting dan harus dihargai, tetapi ia sendiri ternyata menipu istri dan anaknya. Sementara itu orang Amerika yang setuju Clinton tetap menjadi presiden terus bertambah jumlahnya. Inilah bukti lain dari efek sampingan demokrasi yang tidak terkontrol.

Ini merupakan suatu pelajaran yang perlu dipelajari oleh semua mahasiswa di Indonesia. Kalau kita sungguh-sungguh mencintai bangsa dan rakyat Indonesia, maka kita tidak mempunyai jalan lain kecuali kembali kepada firman Tuhan. Jikalau yang duduk di atas mengerti bahwa manusia yang diciptakan menurut peta dan teladan Allah itu tidak boleh diinjak-injak, maka Indonesia akan mempunyai hari depan. Jika tidak, walaupun sepuluh presiden bergantian memerintah Indonesia, keadaan tetap tidak akan berubah.

Jangan menganggap bahwa para mahasiswa yang dengan polos berteriak agar Soeharto diturunkan akan menjadi presiden yang lebih baik kalau suatu nanti mereka naik. Mereka mungkin akan lebih buruk daripada Soeharto. Di satu pihak saya merasa kagum dengan para mahasiswa di Indonesia, tetapi saya tahu bahwa jika mereka tidak kembali kepada Tuhan, maka Indonesia tidak mempunyai hari depan.

Amin.
SUMBER :
Nama buku : Iman, Penderitaan, dan Hak Asasi Manusia
Sub Judul : Bab 2 : Hak Asasi Manusia Sebagai Fondasi Demokrasi
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : Momentum, 2013
Halaman : 17 – 37