BAB 4 :

MENDALAMI MAKSUD PENDERITAAN

Marilah kita memikirkan sekali lagi mengapa Tuhan mengizinkan penderitaan demi membentuk karakter kita. Penderitaan dapat digolongkan ke dalam tiga hal besar:

  • Kecacatan alamiah. Ada orang yang dilahirkan buta, tuli, bisu, atau memiliki tangan dan kaki yang tidak sempurna. Ini merupakan penderitaan alamiah yang didapatkan seseorang ketika ia dilahirkan.
  • Bencana alam. Misalnya gunung meletus, gempa bumi, atau badai tsunami, yang menghancurkan apa yang kita miliki.
  • Bencana perang. Yaitu meletusnya kebencian antara bangsa dengan bangsa, yang menimbulkan berbagai kekejaman di medan perang. Akibatnya, ada orang-orang yang terkena bom atau peluru sehingga cacat atau mati.

Selain ketiga jenis utama itu, ada pula beberapa jenis penderitaan lainnya:

1. Perpisahan atau kematian.

Ini diakibatkan oleh karena perpisahan dengan orang yang kita kasihi. Perpisahan yang membuat kita merasa sebatang kara. Pendeta Wu Ming Chiek, seorang uskup dari gereja Lutheran di Hong Kong tidak bisa bertemu dengan istrinya selama tiga puluh tahun. Ia tahu bahwa istrinya masih hidup di pedalaman Tiongkok, tetapi karena ia seorang pendeta, ia tidak diizinkan untuk pulang ke Tiongkok, sehingga istrinya hidup seperti janda yang ditinggal mati oleh suaminya, dan ia hidup seperti duda yang ditinggal mati oleh istrinya.

Pendeta Yong Ching Bin dari Hainan telah tiga puluh delapan tahun tidak bertemu dengan istrinya, karena ketika ia melarikan diri ke Taiwan, istrinya tidak sempat mengikutinya. Ia berkata kepada saya bahwa ia tidak tahu apakah istrinya itu masih hidup atau sudah mati. Ia bertanya apakah ia boleh menikah lagi atau tidak. Akhirnya ia mati dengan tidak menikah lagi, karena ia tidak tahu apakah istrinya sudah meninggal ataukah belum, karena kalau istrinya ternyata masih hidup dan ia menikah lagi, maka itu berarti ia sedang berzinah. Ini merupakah suatu penderitaan bagi orang yang sudah lanjut usia seperti dia. Waktu ia tua dan saya tidur di gereja itu, saya melihat bagaimana ia di musim dingin ia harus masak air panas dengan tangan yang gemetar untuk menyuguhkan teh kepada saya. Seorang pria berusia tujuh puluh delapan tahun tanpa istri. Sungguh kasihan! Tetapi itulah manusia.

Kita yang saat ini masih dapat hidup dengan baik, jangan suka bersungut-sungut kepada Tuhan, karena yang lebih susah daripada kita banyak sekali. Banyak orang yang terpaksa menjadi janda, duda, atau anak yatim piatu. Ada yang baru menikah beberapa tahun, sudah ditinggal suami. Ada juga yang baru menikah, istrinya sudah meninggal.

Dr. Yahya Ling, wakil ketua dari Stephen Tong Evangelistic Ministry International, yang masih cukup muda, mempunyai seorang istri yang begitu rajin mengerjakan semua hal yang begitu mendetail yang berkenaan dengan Intituite Reformed di Washingtion DC. Ia tidak mengambil honor dan bekerja setengah mati bagi Tuhan. Mendadak tahun ini Yahya menelpon saya dan berkata bahwa istrinya terserang penyakit kanker tulang dan usianya mungkin hanya tinggal sekitar dua bulan sampai dua tahun lagi. Saya langsung berdoa bersama dengan istrinya di telepon.

Saat saya memimpin kebaktian besar di Singapura, saya mendapat kabar bahwa istrinya telah meninggal. Saya langsung mencari tiket untuk terbang ke Amerika untuk memimpin kebaktian perkabungan. Yahya menceritakan kesedihannya kepada saya karena banyak hal yang dahulu dikerjakan oleh istrinya, sehingga kini ia baru sadar bahwa terlalu sulit baginya untuk hidup sendiri. Banyak orang yang masih muda yang telah menjadi janda, duda, dan anak yatim piatu.

Pada saat saya berusia tiga tahun, ayah saya telah meninggal dunia. Saya belum pernah mengetahui bagaimana rasanya mempunyai seorang ayah. Pada saat saya berusia enam tahun, saya bertanya kepada ibu saya: “Apa itu ayah?” Ibu menjawab bahwa ayah saya adalah suaminya. Saya kembali bertanya: “Di manakah ayah?” Ibu menjawab: “Sudah tidak ada.” Ibu menjawab bahwa ayah saya sudah meninggal, sudah pergi ke tempat yang jauh dan tidak dapat pulang kembali.

Waktu kecil saya melihat teman-teman saya mempunyai apa yang tidak saya miliki. Ketika saya meminta kepada ibu saya, ia berkata bahwa saya tidak akan pernah mempunyai apa yang teman saya miliki itu. Ketika saya bertanya mengapa, ia menjawab karena saya tidak mempunyai ayah sedangkan mereka punya. Karena ibu mereka masih mempunyai suami sementara ibu saya sudah menjadi janda, maka saya tidak dapat membeli apa yang mereka dapat beli. Kalimat-kalimat itu menusuk hati saya.

Saya tahu bahwa saya bagaikan seorang anak yang hak-haknya sebagai seorang anak sudah dirampas. Usia lima belas tahun saya mulai bekerja menjadi guru dan membiayai hidup saya sendiri. Tetapi saya berkata kepada Saudara, seumur hidup saya tidak pernah mencela Tuhan karena saya dijadikan seorang anak yatim. Tidak pernah saya menjerit: “Mengapa ibu saya menjadi janda? Mengapa saya menjadi anak yatim?” Saya hanya bertanya kepada Tuhan, apa maksud-Nya atas semua ini. Itulah sebabnya seumur hidup, khususnya setelah pelayanan, saya belajar satu hal, yaitu saat kesulitan demi kesulitan tiba, pertanyaan saya adalah, “Tuhan, sebenarnya apa yang Engkau mau? Apakah kehendak-Mu melalui semua kesulitan ini? Beritahukan kepada saya sehingga saya dapat mengerti. Berikan kekuatan kepada saya, sehingga saya tidak mencela orang lain. Saya tidak ingin mencela siapa-siapa, saya hanya mau tahu rencana-Mu, demi kemuliaan-Mu.” Di dalam kesulitan-kesulitan, kita tidak boleh meninggalkan Tuhan; di dalam kesulitan-kesulitan kita harus lebih dekat kepada Tuhan.

2. Dibuang oleh masyarakat.

Penderitaan yang berikutnya adalah penderitaan karena dibuang oleh masyarakat. Ada orang yang karena sakit, gagal, akhirnya tidak ada orang yang mengaku mengenalnya. Ada orang yang karena menerima Tuhan Yesus, dipukul dan diusir keluar dari keluarga dan tempat tinggal mereka.

Ketika Jusuf Roni pertama kali bertemu dengan saya, ia harus dikawal oleh seorang CPM yang membawa sebuah senapan berlaras panjang. Ia untuk sementara diperbolehkan keluar selama dua jam dari penjara tempat ia ditahan. Kami bicara selama dua jam dan ia bercerita bagaimana setelah ia dibaptiskan, ia diusir keluar dari Palembang, dari suatu keluarga yang sangat terpandang.

Pada saat itu, kakeknya mengatakan bahwa ia masih mempunyai dua puluh empat jam untuk berubah pikiran. Pada malam itu ia berdoa dengan sungguh-sungguh, dan dua puluh empat jam kemudian ia menjawab kakeknya bahwa ia tetap menjadi seorang Kristen. Saat itu juga ia diusir, harus keluar dari keluarga besar itu dan tidak boleh membawa apa-apa, kecuali yang ia beli dari uang hasil jerih payahnya sendiri.

Jusuf Roni berkata bahwa sampai saat itu ia belum pernah bekerja dan selalu berada di rumah keluarganya yang mewah, menikmati segala sesuatu yang ada di dalamnya. Tidak ada satu barang pun yang ia beli karena ia bekerja, sehingga jika ia harus menanggalkan semuanya, itu berarti ia harus keluar dengan telanjang. Akhirnya, karena takut mempermalukan keluarga jika ia keluar telanjang, maka ayahnya meminta kepada kakeknya untuk memberikan taplak meja kepada Yusuf Roni untuk membungkus tubuhnya. Akhirnya ayahnya mengambil taplak meja, mengikatkannya di punggung Jusuf Roni dan membiarkannya pergi meninggalkan mereka. Ia pergi seorang diri, istrinya tidak mau ikut karena tidak mau menjadi orang Kristen. Ia berjalan di tengah-tengah kota Palembang, sampai kemudian ia melewati sebuah gang yang kecil dan berhenti di situ.

Saat itu ada orang Kristen yang sedang berjudi. Bayangkan, ada orang yang diusir karena menjadi Kristen dan ada orang Kristen yang sedang berjudi. Ketika wanita-wanita yang kurang kerjaan yang sedang berjudi itu melihatnya, mereka bertanya mengapa ia tidak memakai baju. Ia menjawab bahwa ia diusir karena percaya kepada Tuhan Yesus. Mereka yang berjudi itu kemudian berkata bahwa mereka juga orang Kristen. Orang-orang itu merasa kasihan dan memberikan kepadanya pakaian-pakaian yang sudah tidak terpakai lagi.

Setelah selama dua jam saya mendengar ia bercerita, saya mendoakan dia dan dia dibawa kembali ke penjara Kalisosok. Ia dipenjara selama 5½ tahun tanpa pernah diadili. Seperti Anwar Ibrahim, tanpa diadili masuk ke dalam penjara. Saya tidak akan bercerita terlalu panjang, tetapi saya hanya ingin menunjukkan inilah orang yang dibuang dari masyarakat. Penderitaan dapat tiba kepada orang Kristen dalam bermacam-macam bentuk.

Ada juga mereka yang di saat tua tidak lagi dihiraukan oleh orang lain. Anak-anak mereka menolak mereka dan tidak ada rumah jompo yang mau menerima mereka. Mereka hidup seperti orang gila, setiap hari berkata-kata kepada dirinya sendiri. Ada orang-orang yang mempunyai cita-cita yang baik dan besar, yang tidak pernah kunjung tiba. Seumur hidup, hidup dalam kekosongan dan mimpi belaka. Itu merupakan suatu penderitaan yang luar biasa besarnya.

Ada seorang pemuda yang selalu meraih predikat nomor satu. Ketika ia mau sekolah ke luar negeri, ia harus menjalani pemeriksaan dokter. Ternyata ia mengidap penyakit kusta. Ia bukan saja tidak dapat bersekolah ke luar negeri, tetapi juga harus pergi ke sebuah pulau yang hanya di huni oleh orang-orang yang sakit kusta. Karena pada saat itu belum ada obat untuk sakit kusta, tubuhnya semakin lama semakin hancur. Ia harus hidup seperti itu selama berpuluh-puluh tahun dan tidak dapat keluar dari pulau itu.

3. Korban kejahatan.

Ada juga penderitaan karena dirugikan oleh orang jahat. Saudara mungkin hidup baik-baik dan karena Saudara baik, maka Saudara meminjamkan uang kepada orang lain atau menjamin seseorang yang meminjam uang kepada orang lain. Akhirnya mereka merencanakan sebuah jerat untuk menjebak Saudara, dan Saudara dirugikan karena Saudarta terlalu mudah percaya kepada orang lain. Saudara ditipu oleh mereka.

4. Penyakit.

Selain semua ini, masih ada penderitaasn yang diakibatkan oleh berbagai macam penyakit, yang mengikis habis uang Saudara untuk biaya penyembuhan. Ada penyakit-penyakit di dalam tubuh Saudara yang tidak dapat ditolong lagi, yang merebut pengharapan hidup Saudara.

Pernah ada seorang berkata kepada saya bahwa di Jakarta ada lebih dari seratus orang yang meminta kepada dokter untuk mematikan mereka. Saya heran dan bertanya mengapa? Ternyata mereka sedang menderita sakit ginjal dan harus cuci darah dua kali seminggu. Pada saat itu, untuk sekali cuci darah mereka harus membayar Rp. 200.000,-. Daripada harus mengeluarkan uang begitu banyak, mereka lebih suka jika para dokter mematikan mereka saja, karena mereka tidak dapat membayar biaya itu.

5. Iri hati.

Iri hati yang muncul karena melihat kesuksesan orang. Melihat orang lain lebih rupawan, merasa menderita; melihat orang lain lebih pandai, merasa menderita. Ini merupakan suatu kebodohan. Mengapa Saudara senantiasa membandingkan diri dengan mereka yang lebih tinggi? OrangTionghoa mengatakan: “Ketika orang naik kereta dan saya memakai keledai, saya merasa minder. Tetapi, ketika saya menoleh ke belakang, dan saya melihat seorang kakek berjalan sambil memikul pikulan seorang tukang, saya berkata: jika dibandingkan dengan yang lebih tinggi saya memang kurang, tetapi jika dibandingkan dengan yang lebih rendah, saya merasa kelebihan.” Itulah caranya menangani kesulitan-kesulitan.

SUMBER PENDERITAAN

Saya tidak tahu penderitaan apa yang menimpa Saudara. Tetapi saya tahu bahwa jika semua penderitaan itu dikumpulkan semuanya, maka sesungguhnya hanya ada empat sumber saja.

1. Kutuk Allah.

Penderitaan diakibatkan karena bumi ini sudah dikutuk oleh Tuhan. Setelah Adam berbuat dosa, maka dikutuklah bumi ini. Oleh sebab itu timbullah onak dan semak duri. Kita tidak boleh lupa bahwa dunia ini adalah dunia yang sudah dikutuk. Waktu kita menikah, jangan kita memandang pasangan kita sebagai malaikat yang Tuhan sediakan bagi saya. Ingatlah, bahwa kita hanya menikah dengan anak dari orang berdosa. Meskipun cantik, tetap berdosa; meskipun tampan, tetap anak orang berdosa. Kita harus sadar bahwa dunia ini adalah dunia yang sudah terkutuk. Inilah yang mengakibatkan adanya bencana alam di dunia ini. Ini bumi dan bukannya sorga.

2. Dosa.

Sengsara dan penderitaan datang karena dosa manusia dan karena dosa kita sendiri. Dosa manusia yang sewenang-wenang di dalam memakai kebebasan membuat kita terkena akibatnya.

Di Taiwan ada orangtua yang terus menerus menangis, padahal ia bukan orang gila, sebaliknya adalah seorang yang sangat penting dan terpandang. Kalau tidak salah, ia adalah seorang profesor. Mengapa ia menangis? Ia hanya mempunyai seorang anak, tetapi mati ditabrak seorang yang mengendarai sepeda motor secara sembarangan. Profesor ini bertanya, apa salahnya? Ia mendidik anaknya dengan baik hanya untuk mati di tangan seorang pemabuk, seorang pemuda yang mengemudi dengan sembarangan? Karena dosa orang lain, ia turut menanggung akibatnya. Terkadang penderitaan dapat juga datang karena dosa kita sendiri, yang mengakibatkan pembalasan hukum akan menimpa kita.

3. Iblis.

Penderitaan disebabkan karena Iblis mencobai, mengguncang dan menyerang kita. Iblis datang kepada Tuhan dan meminta Allah menyerahkan Ayub kepadanya untuk dicobai. Allah mengabulkan permintaan Iblis dengan pengecualian ia tidak boleh mengambil nyawanya. Iblis mengguncang dan merusakkan manusia.

4. Allah.

Sumber ke-empat penderitaan adalah dari Allah sendiri. Allah memberikan penderitaan demi untuk menguji, menyempurnakan, dan membentuk karakter kita, sehingga melalui ujian, karakter kita dibentuk dan semakin lama kita menjadi semakin matang. Ini adalah cara Tuhan menyatakan kesetiaan-Nya untuk mengasihi kita, sekalipun sulit untuk kita mengerti.

Itulah ke-empat sumber penderitaan datang kepada manusia. Kalau kita dapat menemukan sebab mengapa kita menderita, maka penderitaan kita itu mudah diobati. Jika seorang dokter menemukan suatu diagnosis yang betul-betul tepat, maka ia baru dapat memberikan obat yang sesuai dengan kebutuhan pasiennya.

  • Jika penderitaan tiba karena dunia ini sudah dikutuk, maka kita tidak perlu banyak bicara. Kita dapat mengalami penderitaan, orang lain juga dapat, karena dunia ini memang sudah di kutuk. Maka biarlah kita berdoa supaya Tuhan memberikan kekuatan kepada kita untuk mengalahkan semua akibat kutukan itu.
  • Kalau penderitaan itu ternyata diakibatkan oleh karena kesalahan kita, maka cara untuk melepaskannya adalah dengan bertobat. Kalau penderitaan itu ternyata dilakukan oleh karena kesalahan orang lain, maka kita minta supaya Tuhan mengampuni dia. Kita sendiri jangan mau di rongrong, karena hal itu menyebabkan kita tidak dapat keluar dari penderitaan.
  • Kalau penderitaan datang karena Iblis menyerang kita, jangan biarkan ia memperalat mulut kita untuk mencela Tuhan, seperti halnya istri Ayub. Kita harus berdiri tegak dan berdoa agar semakin kita diserang dan menderita, semakin kita dapat dekat dengan Tuhan.
  • Kalau penderitaan datang dari Tuhan sendiri, kita harus mengetahui bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan kita dan setiap kali ujian berakhir, rohani kita akan semakin ditingkatkan, menjadi lebih murni, lebih matang, dan lebih sempurna.

AKIBAT PENDERITAAN

Sekarang kita masuk ke tahap yang baru, yaitu melalui penderitaan, apakah yang terjadi di dalam hidup kita masing-masing.

1. Kesadaran akan keberadaan diri.

Penderitaan mengakibatkan kesadaran akan keberadaan diri. Orang yang tertidur di dalam kenikmatan, karena mantelnya hangat dan sofanya empuk, ia akan perlahan-lahan terus tertidur sehingga kehilangan kesadaran dirinya. Ini merupakan suatu sindiran yang besar bagi dunia demokrasi modern yang diutarakan oleh Alexander Solzhenitsyn, salah seorang sastrawan terbesar abad kedua puluh, dalam bukunya Kingdoms in Conflict (The Kingdom of God and the Kingdom of Man).

Ia pernah menulis buku dengan judul The Gulag Archipelago, sebuah buku yang membuatnya mendapat hadiah Nobel. Buku ini menceritakan bagaimana kejamnya orang-orang yang disiksa di Siberia oleh rezim Komunis. Ketika ia membongkar semua siksaan yang luar biasa kejamnya itu, dunia baru tahu betapa kejamnya siksaan yang diderita oleh orang-orang yang berani melawan komunis. Mereka tidak diizinkan melihat teriknya matahari, karena mereka dikurung dalam ruangan yang begitu gelap dan diharuskan bekerja selama berpuluh-puluh jam, terkadang hanya dua jam dalam satu hari mereka diberi kesempatan untuk tidur. Mereka dipaksa bekerja seperti binatang, seperti kuda dan sapi. Dunia akhirnya mengetahui kekejaman komunis dan Alexander Solzhenitsyn akhirnya mendapatkan hadiah nobel.

Setelah pemerintah Rusia mengetahui bahwa dia diberi hadiah nobel, mereka akhirnya mengusirnya keluar dan ia pergi menetap di Amerika. Di Amerika ia membeli sebidang tanah yang besar di Vermont dan di sanalah ia dapat menghirup udara kebebasan. Ia ingin melihat bagaimanakah harkat identitas manusia yang tidak lagi dirongrong oleh politik-politik yang tidak beres. Berbagai universitas besar di Amerika, termasuk Harvard dan Columbia, berebut untuk mengundang dia berceramah mengenai kemanusiaan, sosiologi, dan hak asasi manusia. Taiwan pun mengundangnya untuk berceramah.

Ketika berceramah di Taiwan, ia berkata bahwa Taiwan merupakan pengharapan yang besar bagi dunia, karena di semua negara yang diambil alih oleh komunisme tidak ada satu daerah pun yang dibiarkan tidak dikuasai. Hanya di Taiwan masih ada satu provinsi yang belum ditelan habis oleh komunisme sehingga bisa menjadi pangkalan dari kalimat-kalimat yang melawan komunisme.

Saya pernah membaca Kingdoms in Conflict (The Kingdom of God and The Kingdom of Man), di tengah-tengahnya ada satu halaman yang mengkritik demokrasi dan hak asasi manusia yang terlalu bebas di Amerika. Ia berkata: “Dunia Barat sudah menjadi lumpuh, karena hidup terlalu enak dan materi terlalu berlimpah. Kebebasan sudah dipergunakan melampaui batas, sehingga menuju kepada keliaran yang tidak terkendali. Pembiusan diri mengakibatkan manusia sudah kehilangan nilai moral yang mengekang diri dan kehilangan perjuangan hidup. Generasi muda hanya tahu hak, tetapi tidak tahu lagi bagaimana berkeringat, berjuang untuk kebahagiaan batiniah yang sejati.”

Ketika saya membaca bukunya, saya berkata bahwa inilah hati nurani yang Tuhan kirim untuk menegur dua dunia. Ketika di Rusia, ia melihat komunisme memperlakukan manusia seperti binatang, dia berteriak, membongkar dan menegur mereka. Ketika di Amerika, ia melihat demokrasi dan hak asasi manusia yang tidak pada tempatnya, ia pun memaki-maki lagi. Saya kira manusia memang perlu untuk dimaki-maki. Ketika terlalu miskin, hidup tidak beres; ketika terlalu kaya, hidup tetap tidak beres, nanti mau jadi apa?

Saya berkata, “Hai anak-anak orang kaya, kau hidup seperti babi. Pukul berapa engkau bangun? Sekolahmu tidak beres, kau selalu curi angka dengan menyontek. Mau apa kamu nantinya? Ketika engkau dewasa dan merasa dirimu sudah besar, engkau sudah tidak mau mendengarkan ajaran. Sekarang saya mewakili Tuhan memerintahkan engkau: Bertobatlah! Pemuda-pemudi yang tahunya hanya hidup enak dan memakai uang: Celakalah kamu! Dengarlah kalimat ini baik-baik! Karena jikalau Tuhan memberikan kesadaran, maka itu selalu dimulai dengan penderitaan.”

Ketika saya melihat anak-anak orang kaya yang tahunya naik kendaraan mewah pergi ke Amerika, maka hal pertama yang ia kerjakan adalah mencari mobil mewah untuk dibeli. Ia langsung membeli mobil baru tetapi tidak mau sekolah baik-baik. Bahkan ada jenderal dan konglomerat Indonesia mendaftarkan anaknya sekolah di luar negeri, tetapi menyuruh orang lain yang pergi dengan menggunakan nama anaknya. Orang lain yang bersekolah untuk kemudian ijazahnya menjadi milik anaknya. Bodoh! Hak asasi manusia memang ada, tetapi yang menyelewengkannya terlalu banyak.

Saya pernah bertemu dengan seorang pemuda yang berkata bahwa ia sedang kerja keras. Setelah saya bertanya apa yang sedang ia kerjakan, ia ternyata sedang mengerjakan paper (tugas kuliah) orang lain. Ia orang miskin yang tidak mempunyai uang, sehingga orang-orang kaya yang harus membuat paper agar dapat lulus, meminta dia membuatkannya. Ia memberikan tarif US $75 untuk nilai A, US $50 untuk nilai B, dan US $25 untuk nilai C. Anak-anak orang kaya yang lulus dengan cara itu, lulus macam apa?

Jangan berpikir Stephen Tong akan menghargai orang bergelar. Terlalu banyak orang bergelar yang saya hina. Gelar Doktor saya adalah gelar yang diberikan secara honoris causa, tetapi saya mempunyai murid yang sudah menempuh jenjang pendidikan S3 dari Harvard, Yale, Princeton, dan lain sebagainya. Mereka semua mengetahui bahwa gelar tidak sama dengan bobot, dan bobot tidak sama dengan gelar. Yang bergelar tetapi tidak berbobot sangatlah memalukan, yang berbobot tetapi tidak bergelar hanyalah sedikit disayangkan.

Banyak orang kaya yang hidup tidak beres dan tidak pernah sungguh-sungguh sadar akan keberadaannya. Tuhan memberikan penderitaan kepada kita, pertama-tama adalah agar kita menyadari keberadaan kita. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang oleh Tuhan diberi kesadaran diri, yang harus dipertanggungjawabkan untuk selama-lamanya. Barangsiapa yang di dalam kehormatan tidak sadar diri, ia bagaikan binatang yang dibinasakan. Ini tertulis dalam Mazmur 49: “Manusia, yang dengan segala kegemilangannya tidak mempunyai pengertian, boleh disamakan dengan hewan yang dibinasakan.”

Tuhan memberikan penderitaan agar kita bangun dari tidur kita. Tugas pertama penderitaan adalah membuat kita sadar bahwa kita ada di sini dan apa tujuan kita ada di sini. Bagi mereka yang hidup didunia tetapi tidak pernah sadar mengapa mereka hidup di dunia, orang itu seperti binatang. Orang yang hidup tetapi tidak sadar bahwa ia hidup, ia sesungguhnya seperti orang mati. Maka, tugas pertama dari penderitaan adalah menggugah dan membangunkan rohani kita, supaya kita tahu bahwa kita ada.

Mengapa ketika sakit, kita langsung ingat kapan kita sakit; tetapi jika sembuh, kita lupa kapan kita sembuh? Bukankah Saudara juga mempunyai pengalaman ini? Ketika penderitaan datang kita sadar, kapan penderitaan hilang kita tidak sadar karena kita sudah dibius oleh Iblis yang berkata bahwa sudah seharusnya kita sehat dan tidak seharusnya kita sakit. Tetapi Tuhan berkata bahwa melalui penderitaan Ia mengajar kita supaya kita tahu bahwa kita ada.

Banyak orang yang menangis ketika kehilangan uang atau kehilangan berlian, tetapi tidak sadar ketika kehilangan diri. Engkau merasa bahwa dirimu tidak berharga, yang berharga hanyalah uangmu. Melalui penderitaan, Tuhan menyadarkan diri bahwa Ia menciptakan kita sehingga kita ada. Sadar diri merupakan hal pertama untuk mengembalikan kehormatan kita.

2. Kesadaran akan nilai diri.

Tuhan membiarkan penderitaan menimpa kita supaya kita sadar akan nilai kita. Ketika orang menghina Saudara, bukankah Saudara langsung merasa kurang dihormati? Psikologi mencoba untuk mengajar tentang apakah yang memberikan kesan paling dalam, apakah yang tidak dapat kita lupakan seumur hidup kita. Jawabannya adalah: Pada saat kita dihina dihadapan umum. Pada saat itu kita tertusuk dan kita tergugah. Saat kita sadar bahwa kehormatan kita sedang direbut, maka itulah yang paling tidak dapat kita lupakan. Saat penderitaan datang, saat itu pula kita sadar bahwa kehormatan kita hilang. Ketika kehormatan kita hilang, saat itu juga kita sadar bahwa ini tidak benar. Jadi, alasan kedua mengapa Tuhan memberikan kesadaran kepada kita adalah agar kita kembali menyadari kehormatan kita, yang telah lama kita lupakan.

3. Kesadaran akan kewajiban diri.

Tuhan mengizinkan penderitaan agar kita menyadari kewajiban kita. Ketika kita dilanda dengan penderitaan, pada saat itu muncullah suatu efek sampingan. Kita sadar bahwa karena kita lalai melakukan kewajiban kita, maka sekarang kita menjadi begini.

Ketika kita mengemudi mobil dan mobil kita tergelincir, kita sadar bahwa kita seharusnya tidak lalai untuk mengganti ban. Penderitaan mengingatkan kita akan kewajiban kita. Banyak kewajiban, yang jika sedikit saja kita lalaikan, akan membawa akibat yang teramat fatal. Dan melalui penderitaan, Tuhan kembali mengingatkan kita akan kewajiban kita.

4. Kesadaran akan keterbatasan diri.

Penderitaan juga meng-akibatkan kesadaran kita akan keterbatasan kita. Begitu banyak pemuda-pemudi yang begitu percaya diri. Saya pernah bertanya kepada anak saya, “Maukah kamu mendengar saya mengucapkan satu kalimat yang mengkritik kamu?” Ia menjawab, “Mau.” Saya berkata kepadanya, bahwa ia adalah anak yang baik dan penuh tanggung jawab, tetapi terlalu percaya diri, menganggap diri pandai dan tidak dapat salah. Saya melanjutkan, “Kalau kamu tidak mau mendengar, maka hal itu akan merugikan dirimu seumur hidup.”

Kepercayaan diri, merupakan suatu hal yang baik, pangkal dari kesuksesan, tetapi terlalu percaya diri merupakan suatu hal yang salah. Terlalu percaya diri mengakibatkan kegagalan. Terkadang Tuhan mengajar kita melalui kegagalan di luar dugaan, supaya kita tahu bahwa kita adalah manusia yang terbatas. Banyak pemuda-pemudi yang tidak pernah dididik oleh orang tua sampai saat mereka patah hati, baru mereka mendapatkan pelajaran.

Penderitaan mengajar manusia bahwa dirinya hanyalah orang yang terbatas. Penderitaan merupakan salah satu guru yang terbaik dan terpenting di dalam kehidupan kita. Manusia tanpa penderitaan mau jadi apa? Manusia yang terus lancar justru menakutkan. Pemuda-pemudi yang tidak pernah gagal, susah, lapar, miskin, atau pernah ditinggal oleh orang yang dikasihi untuk selama-lamanya, akan semakin kejam dan menghina serta menginjak hak orang lain ketika mereka semakin sukses. Itu sebabnya Tuhan berkata bahwa orang yang sukses belumlah sungguh-sungguh sukses, kecuali mereka yang mengalami penderitaan.

Jadi penderitaan adalah suatu keharusan agar mereka yang sukses menjadi sadar bahwa mereka hanyalah manusia yang terbatas. Pada waktu kita sadar bahwa kita terbatas, di situ Tuhan ingin mendidik kita untuk bersikap rendah hati.

5. Kesadaran akan konflik diri.

Penderitaan membuat kita melihat konflik di dalam diri kita sendiri, sehingga tidak lagi bersandar kepada diri sendiri. Dalam penderitaan, kita sadar bahwa kita mempunyai ambisi yang tinggi, tetapi kenyataan amatlah rendah; kita mempunyai cita-cita yang sempurna, tetapi kita amat terbatas. Di situ kita mengetahui bahwa musuh kita yang terbesar bukanlah orang lain, tetapi justru adalah diri kita sendiri.

Pada waktu seseorang sadar akan keterbatasannya, mulailah bibit sifat agama yang ada di dalam dirinya bertumbuh. Pada saat manusia berada di dalam kesulitan, itulah saat pertumbuhan bibit sifat agama. Ketika Saudara berada di dalam kesulitan, di dalam konflik, di mana tidak ada cara untuk keluar, di mana semua ilmu dan pengalaman Saudara tidak dapat melepaskan Saudara dari satu kesulitan kecil, saat itu Saudara baru sadar betapa terbatasnya dan betapa tidak berdayanya Saudara. Saya tidak tahu apakah pada saat itu Saudara mencela Tuhan, ataukah meminta pertolongan Tuhan.

Pada saat Thomas Alfa Edison menerima sepucuk surat dari gurunya untuk diberikan kepada ibunya, gurunya berkata bahwa ia tidak perlu masuk sekolah keesokan harinya. Pada saat itu ia masih berusia belasan tahun dan ia terkejut melihat semua ini. Ia memberikan surat itu kepada ibunya, ibunya membaca surat yang memberitahukan bahwa sekolah itu memutuskan untuk tidak lagi menerima Edison sebagai muridnya karena ia terlalu bodoh dan berada di bawah rata-rata anak normal, sehingga ia tidak mungkin bisa dididik. Ibunya membaca surat itu dengan gemetar dan mencucurkan air mata.

Edison melihat ibunya menangis dan bertanya mengapa ia menangis. Ibunya memeluk Edison, sambil berkata bahwa ia tidak mempercayai surat ini dan tidak mempercayai penilaian guru Edison. Ia berjanji bahwa ia akan mendidik Edison, hingga ia sukses, karena ibunya yakin bahwa ia bukanlah orang bodoh. Terbukti bahwa pada hari ini, kita semua menikmati penemuan Thomas Alfa Edison.

Penderitaan menyadarkan kita akan kebutuhan kita yang sejati bukan berasal dari manusia tetapi dari Allah. Setelah penderitaan tiba, kita baru sadar bahwa manusia tidak dapat menolong kita, kita juga tidak dapat membantu diri sendiri karena kita juga berada di dalam konflik, sehingga akhirnya kita lari kepada Tuhan. Melalui tangisan dan keluh kesah karena penindasan yang kita terima, kita sadar bahwa kita harus kembali kepada Tuhan. Puji Tuhan!

Di dalam sejarah manusia telah tercatat berjuta-juta kesaksian tentang bagaimana orang yang menderita akhirnya dapat memperoleh kekuatan untuk kembali, yaitu di saat mereka kembali kepada Tuhan. Saya harap Saudara termasuk di dalam barisan itu, yaitu golongan orang-orang yang kembali kepada Tuhan melalui penderitaan.

Ibu saya menjadi janda dengan sepuluh anak pada saat berusia tiga puluh tiga tahun. Salah seorang anaknya meninggal dan satu orang lagi diberikan kepada orang lain. Bagaimana seorang janda dapat menghidupi tujuh orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan di tengah-tengah perang antara Cina dan Jepang?

Ibu saya pernah berkata kepada saya bahwa satu tahun setelah ia ditinggal oleh ayah saya pada usia yang masih begitu muda, ia tidak dapat mengerti dan sering berjalan sendiri tanpa arah tujuan. Akhirnya ia berdoa kepada Tuhan. Karena Tuhan berkata bahwa Ia adalah Bapa mereka yang yatim piatu dan Pembela para janda, maka ibu saya menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Akhirnya, dari tujuh orang anaknya, lima orang menjadi pendeta. Ini merupakan kesaksian yang hidup pada abad ke dua puluh.

Kalau saya dapat menjadi pendeta saat ini, maka ini adalah karena doa ibu saya, bukan karena saya hebat. Ibu yang telah kembali kepada Allah untuk mendapatkan kekuatan telah membesarkan kami. Beliau harus dicatat sebagai salah seorang ibu yang paling agung dalam sejarah Kekristenan. Puji Tuhan! Sengsara dan penderitaan bukan membasmi tetapi memperkuat kita.

6. Kesadaran akan anugerah Allah.

Penderitaan pada akhirnya menyadarkan kita akan anugerah Tuhan yang menolong perjuangan kita.

Amin.
SUMBER :
Nama buku : Iman, Penderitaan, dan Hak Asasi Manusia
Sub Judul : Bab 4 : Mendalami Maksud Penderitaan
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : Momentum, 2013
Halaman : 61 – 79