BAB III :
GEREJA REFORMASI

Gereja yang tidak kelihatan (Invisible Church) mencakup semua orang pilihan di sepanjang zaman, dan di segala tempat. Gereja yang tidak kelihatan ini tidak mungkin dalam waktu yang sama, tempat yang sama, tampak dengan serentak. Jadi gereja yang tidak kelihatan adalah gereja yang meliputi segala abad dan tempat. Sedangkan gereja yang kelihatan adalah gereja yang berada dalam ruang lingkup waktu dan tempat, seperti HKBP, GKI, GPIB, GSRI, GRII, dsbnya. Namun gereja yang kelihatan tidak boleh disamakan dengan gedung gereja. Gedung gereja bukan gereja. Gereja adalah orangnya. Orang-orang yang bersekutu di suatu tempat dan waktu. Demikianlah gereja yang kelihatan sebenarnya adalah bagian dari gereja yang tidak kelihatan. Dan semua anggota gereja yang tidak kelihatan itu mempunyai tubuh yang kelihatan. Kita termasuk dalam gereja yang tidak kelihatan, namun karena kita mempunyai tubuh yang kelihatan yang saling bersekutu maka menjadi gereja yang kelihatan. Inilah sebabnya kita tidak dapat memisahkan keduanya. Kita tidak dapat melalaikan gereja yang kelihatan.

Berkenaan dengan hal ini, kita menemukan perbedaan antara Lutheran dan Calvinisme. Calvin percaya gereja yang sejati adalah company of the justified sinners’ (persekutuan orang-orang berdosa yang dibenarkan) sekaligus the congregation of elects (Jemaat kaum pilihan). Pernyataan ini sesuai dengan Augsburg Confession (Pengakuan Iman Augsburg). Namun demikian Calvin menegaskan bahwa orang-orang yang telah mengikuti Reformasi, baik di Wittenberg maupun di Geneva, tidak semuanya adalah anggota-anggota gereja yang sejati. Jadi, di dalam gereja masih terdapat Kristen-Kristen yang palsu. Suatu hal yang tidak dapat dihindarkan. Maka gereja dalam memberitakan Injil tidak hanya melalui Sakramen, tetapi juga sebagaimana ditegaskan oleh Calvin, melalui pelaksanaan disiplin.

Bagian 1 : Disiplin Gereja

Disiplin merupakan salah satu tugas gereja yang tidak dapat diabaikan. Jikalau diketahui dalam gereja terdapat orang yang berzinah atau orang yang melawan Injil dengan sengaja dan hidup tidak sesuai dengan Alkitab, maka gereja harus berani melaksanakan disiplin dengan maksud menyesuaikan gereja yang kelihatan dan gereja yang tidak kelihatan. Tanpa pendisiplinan, gereja yang kelihatan tidak dapat bersaksi bagi Tuhan. Itulah sebabnya gereja Reformed yang ketat adalah gereja yang sangat ketat menjalankan disiplin. Sikap ini justru semakin ditinggalkan. Gereja yang menjalankan disiplin bisa kehilangan anggotanya oleh karena gereja yang lain bersedia menerimanya, bahkan menjadikannya majelis. Keadaan seperti ini menunjukkan keabnormalan dalam Kekeristenan.

Gereja masa kini harus tetap setia melaksanakan disiplin sesuai dengan ajaran Alkitab sekalipun dapat menjadi minoritas. Minoritas yang menjaga kualitas justru menjadi hati nurani bagi mayoritas yang tidak berkualitas. Hati nurani selalu mempunyai titik pusat tetapi tidak mempunyai tempat terlalu besar. Church is a conscience of the society”. Gereja adalah hati nuraninya masyarakat. Pada waktu seluruh masyarakat sudah bersalah, gereja harus menyatakan kebenaran, keadilan, kesucian, kebajikan dan keberanian seperti perkataan para nabi. Ini adalah tugas Gereja. Mimbar Gereja harus menjadi hakim atau jaksa dari pada seluruh masyarakat. Bahkan semua tindakan, baik berkenaan dengan pemerintah maupun rakyat jelata harus dihakimi oleh gereja yang bermimbar. Kalau tidak, Kekristenan belum dapat menjadi terang dunia.

Khotbah Elia, Yesaya, Yohanes Pembaptis, selain menyatakan pengharapan juga memberikan hukuman dan penghakiman bagi manusia. Oleh karena para nabi merupakan hati nurani masyarakat sekaligus Spokesman of Godyaitu, wakil Allah yang berbicara. Gereja harus menyadari panggilannya yaitu melaksanakan kehendak Allah dengan mewakili Dia berbicara. Meskipun dunia tidak menerima pemberitaan ini, perkataan-perkataan yang keras ini, yang keluar dari hati nurani yang taat pada Tuhan akan langsung menusuk hati mereka yang tidak mau taat pada Tuhan. Penusukan ini dapat membawa manusia bertobat atau memusuhi bahkan membinasakan kita. Hal ini telah dikatakan Paulus, “Sebab bagi Allah kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa. Bagi yang terakhir kami adalah bau kematian yang mematikan dan bagi yang pertama bau kehidupan yang menghidupkan.” (2 Korintus 2:15-16).

Jelaslah disiplin merupakan tugas gereja yang penting. Oleh karena gereja yang kelihatan selalu mungkin terdapat orang-orang yang tidak sejati Kekristenannya. Oleh karenanya gereja yang kelihatan harus selalu memperbaiki dan mengintrospeksi diri. Ini adalah “Continuous introspection”. Suatu hal yang t yang tidak dapat ditawar lagi. Gereja-gereja dalam tradisi Reformed harus selalu menguji diri berdasarkan firman Tuhan. Gereja harus setia pada panggilannya tanpa menjual murah Injil dan mengkompromikan prinsip-prinsip Kekristenan hanya untuk menarik orang menjadi anggota gereja. Sikap sedemikian justru menghasilkan penghinaan terhadap Kekristenan.

Bagaimana caranya orang Kristen dihina oleh dunia ini? Salah satu cara yang seringkali tidak kita sadari terjadi justru pada waktu kita memberitakan Injil. Beberapa waktu yang lalu di kota New York, seseorang mengatakan kepada saya bagaimana dia mengasihi dan melayani Tuhan, namun tidak ada seorang pun yang mau percaya kepada Tuhan. Kemudian ia bertanya, apakah hal itu disebabkan ia kurang kuasa Roh Kudus? Sebelum saya menjawab pertanyaan itu, saya bertanya kepadanya mengenai caranya memberitakan Injil. Ia menceritakan bagaimana ia memberikan kepada orang-orang tersebut Alkitab, kaset dan buku-buku yang terbaik secara cuma-cuma. Saya menegaskan kepadanya bahwa cara sedemikian justru menjadikan Injil menjadi suatu yang tidak berharga, sehingga orang-orang tersebut tidak merasa perlu percaya akan Injil. Mereka perlu diajak mengerti kepentingan dan nilai Injil supaya mereka disadarkan bahwa mereka perlu percaya akan Injil Klristus.

Dalam sejarah kita menyaksikan di mana Injil dengan mudah diberitakan dan Alkitab dengan mudah diperoleh, justru di sana orang tidak mempedulikan Injil dan jarang membaca Alkitab. Sebaliknya, di mana Injil dan Alkitab dilarang dan dianiaya justru di sana orang-orang haus akan Injil. Jikalau kita menyebabkan orang lain menghina Injil, kita harus berrtobat. Kita harus memberitakan Injil dengan benar dan kesungguhan hati. Sekalipun mereka tidak suka secara lahiriah, namun mereka tidak dapat menyangkalnya secara hati nurani. “From Conscience to talk to conscience, from reson to talk to reason”. Jikalau saya berkhotbah hanya dengan rasio, maka hanya rasio saudara yang tergerak. Tetapi jikalau saya berkhotbah dengan pergumulan hati nurani, tidak mungkin saudara tidak bergumul secara rohani.

Bagaimana dunia dapat menghargai kekristenan? Tradisi Reformed menjawabvnya dengan sikap yang tegas mengenai penyucian terus menerus dalam kehidupan gereja. Selain itu, tradisi Reformed sangat memperhatikan pengujian terus-menerus mengenai doktrin yang dipercaya. Jadi reformasi tidak berhenti pada zaman reformasi. “Reformation did not stop at the day of reformation. No, Reformation means continously reform our self to bring our self back to the principal of the Bible.” Suatu reformasi yang konsisten dan berkesinambungan. Reformasi tidak terjadi satu kali untuk selama-lamanya, sebaliknya bersedia mengubah dan mengoreksi diri tanpa henti untuk senantiasa kembali kepada Alkitab. Koreksi ini meliputi dua hal penting, yaitu berkenaan dengan pengertian yang lebih lanjut; dan suatu peng-iluminasian yang difokuskan kembali pada doktrin yang benar. Misalnya doktrin ‘dibenarkan oleh iman’, yang telah diabaikan 1000 tahun lamanya, oleh pekerjaan Roh Kudus dicerahkan kembali melalui Luther. Kemudian Luther memberitakannya dan membawa kebangunan bagi gereja. Peristiwa ini berkenaan dengan iluminasi khusus Roh Kudus. Atau pada saat kita menemukan kesulitan dan tantangan yang membawa kita kembali kepada Alkitab. Alkitab adalah Firman Tuhan yang bagaikan gudang yang limpah dengan kebenaran dari Allah. Kita harus terus menggali dan beroleh pengertian berdasarkan iluminasi Roph Kudus.

Sikap positif yang bersedia mengoreksi diri terus-menerus meng-akibatkan dampak sampingannya dalam sejarah gereja-gereja Reformed, yaitu gereja dapat terus-menerus berubah sehingga cukup banyak gereja Reformed menjadi liberal atau terseret dalam arus teologi modern. Di Amerika, gereja Prsbiterian yang telah menjadi liberal, dalam kurun waktu 15 tahun terakhir ini telah kehilangan 1 juta anggota. Mengapa dapat terjadi demikian? Hal ini disebabkan dalam liberalisme tidak ada lagi Injil yang murni, dan iman kepercayaan yang akurat dan murni yang dapat dipelihara. Keadaan ini bertambah menyedihkan oleh karena dewasa ini di Barat, gereja setiap bulannya kehilangan sekitar setengah juta anggotanya. Ini merupakan beban yang mendorong saya untuk menggarap pelayanan ini.

Saya tidak hanya melihat keadaan di kota Jakarta tetapi juga dalam keseluruhan Kerajaan Allah. Perhatikan, setengah juta orang Kristen tidak lagi pergi ke gereja. Jadi di seluruh dunia gereja kehilangan kira-kira enam juta anggotanya setiap tahun. Ke mana mereka? Sebagian hilang, dan sebagian mencari Kekristenan bentuk yang lain. Mereka mencari hal-hal yang emosional, khayalan dan membangkitkan kesenangan dengan membius diri tanpa memperhatikan ajaran yang akurat berdasarkan Alkitab. Kemudian orang-orang mengatakan bahwa itu adalah pertumbuhan gereja. Di mana pertumbuhan itu? Kita harus memikirkan dan bertindak hanya bagi kemuliaan Tuhan dan jangan menipu diri sendiri.

Tahun 1900 Kekristenan mel;iuputi 34% daripada seluruh penduduk dunia. Tahun 1950 tinggal kira-kira 30% dari penduduk dunia. Tahun 1930-an tinggal 28% dan tahun 1980-an tinggal kira-kira 32% dari penduduk dunia. Maka tahun 2000-an akan turun lagi menjadi kira-kira 25%. Saudara perhatikan, seolah-olah naik turunnya tidak banyak, namun di antara Protestan, Pantekosta dan Katolik maka jumlah Katolik kira-kira 60% daripada seluruhnya. Kekristenan waktu itu kira-kira 25-30% Gereja-gereja Pantekosta yang dimulai tahun 1900 sekarang mencapai jumlah kira-kira 328 juta. Apakah pertumbuhan gereja itu? Tidak lain hanyalah perpindahan arah. Perpindahan arah ke mana? Apakah mereka berpindah ke arah yang membawa mereka kepada pengertian Alkitab yang lebih limpah, mendalam dan akurat, atau sebaliknya? Apakah ini dapat disebut sebagai pertumbuhan gereja? Kita harus melakukan sesuatu untuk mengembalikannya ke arah yang benar.

Sekarang ini Kharismatik melanda baik Katolik, Protestan maupun Pantekosta. Di samping itu pada akhir abad ini, liberalisme dan teologi modern menjadi satu arus yang besar sekali. Di antara gerakan-gerakan Kharismatik terdapat yang baik sekali tetapi kebanyakan tidak mempunyai mutu yang terlalu baik. Liberalisme tidak mungkin lagi menjadi pengharapan bagi dunia oleh karena mereka justru meng-gerogoti diri sendiri. Sedangkan dalam gerakan Kharismatik, doktrin dianggap tidak penting, ajaran Kristen tidak lagi dipentingkan, namun mereka masih mementingkan satu hal, yaitu penebusan Yesus Kristus. Hal ini harus diimbangi dengan ajaran yang benar dan menyeluruh, teologi yang ketat dan akurat serta api penginjilan yang terus berkobar. Inilah beban saya yang saya sebut sebagai Reformed Injili. Jikalau hanya Reformed tetapi tidak Injili berbahaya sebab kebanyakan Reformed tradisionil tidak melaksanakan teorinya dan mengabarkan Injil. Sedangkan orang-orang Injili harus mnempunyai dasar ajaran Firman Tuhan yang mendalam dan ketat. Jikalau keduanya dipadukan akan memberikan pengharapan baru bagi dunia abad 21. Kita harus menggarapnya mulai sekarang.

Bagian 2 : Sakramen

Berkenaan dengan Sakramen, gereja Roma Katolik menganggap Perjamuan Suci adalah Sakramen mempersembahkan kembali tubuh Yesus di atas kayu salib. Maka setiap kali diadakan misa menyatakan tubuh dan darah Yesus yang dikorban lagi. Dengan demikian seorang pastur yang melaksanakan misa untuk melayani jemaat, seolah-olah mempersembahkan sekali lagi tubuh Kristrus, yaitu daging dan darah-Nya di hadapan Allah. Pandangan sedemikian disebut transubstansiasi. Transubstansiasi berarti berubahnya substansi roti dan anggur setelah diberkati, dan dipersembahkan menjadi tubuh dan darah Yesus Krisrtus. Martin Luther menolak pandangan Roma Katolik ini, namun pandangannya tetap berbeda dengan pandangan Zwingli dan Calvin. Masalah ini memang merupakan salah satu hal yang paling rumit.

Kepercayaan Roma Katolik akan transubstansiasi ini sebenarnya berakar pada pengaruh filsafat Aristoteles yang kembali menguasai pemikiran pada abad 13. Dalam filsafat Aristoteles terdapat dua hal tang menjadi satu, yaitu “Form and Matter”. Bentuk dan Materi, yaitu suatu materi dengan bentuknya tidak bisa dipisahkan. Sebaliknya dalam filsafat Plato, suatu benda atau materi berada di bumi sedangkan bentuk atau ide berada di atas. Jadi, Ide (Aidos dalam bahasa Gerika) dalam Platonic Philosophy tidak mungkin dapat kita temukan oleh karena di dalam dunia ini kita hanya melihat bayang-bayangnya saja. Misalnya, ketika seorang ingin menikah. Menikah itu suatu ide namun ketika mencari teman hidup kita seringkali tidak merasa sesuai dengan ide kita ini. Sampai akhirnya kita mendapatkan seseorang yang mendekati ide kita itu. Jadi ide lebih tinggi daripada kenyataan. Ide selalu lebih tinggi daripada benda, sehingga bentuk dan benda itu berpisah, demikian pemikiran Plato. Platonic idea is a perfection. Platonic ideais up there and visual is a something only a copy. Selanjutnya Aristoteles, murid Plato., menolak pandangan gurunya itu. Ide bukan berada di atas. Ide berada bersama dengan bentuk dan bentuk bersama dengan bendanya. Form and Matter can not be separated. Kemudian pengaruh Aristoteles meresap ke dalam pandangan mengenai Sakramen. Antara bentuk dan benda tidak dapat dipisahkan sehingga tubuh Kristus dan roti juga tidak dapat dipisahkan. Jadi gereja Roma Katolik menerima pandangan yang disebut transubtansiasi.

Pandangan sedemikian ditolak oleh Martin Luther. Martin Luther menjelaskan Perjamuan Kudus dengan istilah consubtansiasi. Artinya pada saat kita mengadakan Perjamuan Kudus maka Kristus sungguh-sungguh menyertai roti dan anggur. Darah dan tubuh Kristus tidak menjadi satu dengan roti dan anggur, melainkan Kristus yang pernah mati dan bangkit bagi kita hadir dan menyertai roti dan anggur. Sedangkan bagi orang-orang Reformed, Kristus tidak perlu hadir di dalam roti dan anggur tetapi memberkati kita melalui Perjamuan Kudus yang kita lakukan. Jadi Perjamuan Kudus adalah means of grace’ (alat-alat anugerah).

Melalui Perjamuan Kudus kita mengingat kembali akan Kristus Yesus, Tuhan kita yang telah mati bagi kita. Dan kita bersatu dengan di dalam iman dengan Kristus melalui persekutuan dalam Perjamuan Kudus itu. Zwingli menegaskan bahwa roti dan anggur hanyalah lambang. Maka jelaslah perbedaan antara gereja Roma Katolik dengan para Reformator. Pandangan transubtansiasi nyatalah mengandung suatu ketakhayulan. Dan pandangan mengenai Sakramen ini tidak terlepas dari Kristologi, yaitu berkenaan dengan kedua sifat yang berada dalam diri Kristus.

Amin.
SUMBER :
Nama Buku : Reformasi & Teologi Reformed
Sub Judul : Bab III: Gereja Reformasi
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : LRII, 1994
Halaman : 43 – 51