Dalam tulisan-tulisan sebelumnya telah dibahas terkait pemeriksaan bukti permulaan, dimana pemeriksaan bukti permulaan dilakukan untuk menegaskan bahwasanya ada dan terdapat bukti penyimpangan pajak yang dapat menjadi acuan untuk dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Terkait hal-hal tentang pemeriksaan bukti permulaan ini dapat dibaca dalam tulisan  :

Sementara bukti permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindakan pidana dibidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pendapatan negara. Yang menjadi pertanyaan adalah seperti apakah  tindakan pidana dibidang perpajakan tersebut? Dalam tulisan berikut akan coba penulis tuangkan kembali terkait kategori tindakan pidana dalam perpajakan, semoga menjadi informasi yang bermanfaat.

Pengertian Pidana Perpajakan dal Pasal-Pasalnya

Dalam penjelasan Pasal 38 UU KUP yang dimaksud dengan perbuatan yang merupakan tindak pidana perpajakan adalah Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak seperti kealpaan, yaitu tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya sehingga  perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Sementara pengertian yang lebih terang terdapat dalam penjelasan UU pasal 33 UU Penananaman Modal yang mengatakan Tindak pidana perpajakan adalah informasi yang tidak benar mengenai laporan yang terkait dengan pemungutan pajak dengan menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada negara dan kejahatan lain yang diatur dalam undang-undang yang mengatur perpajakan.

Dalam 2 (dua) pengertian diatas dapat disimpulkan bahwasanya tindakan yang merupakan tindakan pidana perpajakan adalah meliputi tindakan atau perbuatan sebagai berikut :

1. Perbuatan Kealpaan meliputi :

  • Pasal 13A UU KUP. Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
  • Pasal 38 UU KUP. “Setiap orang yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.

 2. Perbuatan kesengajaan meliputi :

  • Pasal 39 ayat 1 UU KUP. Setiap orang yang dengan sengaja menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
  • Pasal 39 A UU KUP.  Sengaja menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya atau menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

3. Perbuatan Pengulangan. 

Pasal 39 ayat 2 yaitu apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.

4. Perbuatan Percobaan

Pasal 39 ayat 3 yaitu Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak .

5. Perbuatan Tidak Memberikan Keterangan

Pasal 41 A yaitu Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta, tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar.

6. Perbuatan Menghalangi atau Mempersulit Penyidikan

Pasal 41B yaitu Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Seseorang yang melakukan perbuatan menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, misalnya menghalangi penyidik melakukan penggeledahan dan/atau menyembunyikan bahan bukti.

7. Perbuatan Tidak Memberikan Data/Informasi

Pasal 41C yaitu setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban, Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain, Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak, Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada negara.

8. Perbuatan Ikut serta Melakukan Perbuatan Pidana

Pasal 43, yaitu berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Pelanggaran Administrasi dan Pelanggaran Tindak Pidana

“Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini (Pasal 38) bukan merupakan pelanggaran administrasi melainkan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan.

Dalam penjelasan pasal 38 tersebut di atas dibedakan atas pelanggaran administratif dan pelanggaran tindak pidana. Perbedaan ini berhubungan erat dengan sanksi yang akan diberlakukan. Untuk  pelanggaran administratif cukup dengan sanksi berupa bunga maksimal 48% melalui produk ketetapan, sementara bagi Wajib Pajak yang melakukan tindak pidana perpajakan akan diberikan sanksi penjara dan denda 4 (empat) kali dari kerugian pendapatan negara.

Pelanggaran Administratif

Pelanggaran administratif terjadi apabila terdapat prosedur administratif perpajakan yang tidak dilaksanakan oleh Wajib Pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakan. Lazimnya, perilaku tidak melaksanakan tersebut dilatarbelakangi karena faktor ketidakmengertian dan kelalaian. Tidak adanya unsur kesengajaan terlebih jika hal tersebut baru pertama kali dilakukan. Wajib Pajak dipandang tidak berpikir lebih jauh bahwa tindakannya merugikan pendapatan negara. Pelanggaran semacam ini diganjar sanksi administratif yang dapat berupa bunga, denda, atau kenaikan.

Pemberian sanksi administratif pada akhirnya dapat dimaksudkan sebagai bentuk pembinaan dan edukasi serta untuk mendorong Wajib Pajak agar lebih memahami prosedur formal administratif dalam memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya. Selain itu, penerapan sanksi administrasi khusus dalam kaitannya dengan Keberatan dan Banding adalah sebagai bentuk kesetaraan/keadilan antara Wajib Pajak dengan negara.

Pelanggaran Tindak Pidana Perpajakan

Sebagaimana definisi di atas maka  tindakan atas kealpaan, kesengajaan,  percobaan, dan pengulangan termasuk tidak memberi keterangan,  menghalangi atau mempersulit serta tidak memberikan informasi atau keterlibatan sehingga merugikan pendapatan negara adalah kategori tindak pidanan perpajakan.

Sanksi pidana dalam perpajakan memiliki banyak aspek dan konteks, tidak hanya sebatas perbuatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak (setiap orang), tetapi dapat juga meliputi pihak ketiga (bank, notaris, konsultan, asosiasi, instansi pemerintah) dan juga pejabat/pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu sendiri. Namun yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa keberadaan sanksi pidana perpajakan merupakan jalan terakhir jika langkah demi langkah administratif secara optimal sudah ditempuh dan terdokumentasi dengan baik.

Penutup

Walupun ketentuan terkait pidana perpajakan sebagaimana diuraikan di atas terjadi namun ketentuan hukum dalam Undang-Undang di bidang perpajakan memiliki prinsip ultimum remedium yaitu  sanksi pidana merupakan sanksi terakhir dalam penegakan hukum. Hal ini tentu selaras dengan fungsi pajak yaitu menghimpun penerimaan. Gambaran ultimur remidium tersebut terlihat dalam  adanya kesempatan pembetulan SPT, pengungkapan ketidakbenaran SPT (sedang dalam proses pemeriksaan, pengungkapan ketidakbenaran SPT (telah diperiksa namun belum penyidikan), dan penyidikan (belum dilimpahkan ke pengadilan).