Dalam tulisan terdahulu yang berjudul “Penasihat Perpajakan?“, dijelaskan bahwasanya kadangkala penghindaran perpajakan terjadi karena kurang berintegritasnya penasihat perpajakan tersebut sehingga mengaminkan apa saja yang menjadi harapan dari klien mereka.

Saat ini ketika kejenuhan mulai terasa karena harus mengurung diri dirumah sesuai anjuran pemerintah dengan bekerja di rumah (Work From Home) akibat dari Virus Corona yang melanda dunia, penulis mencoba mengambil topik penghindaran perpajakan yang merupakan seri perencanaan pajak sebagaimana tulisan-tulisan terdahulu.

Ketidakbenaran Besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP)

Sebagaimana kita ketahui bahwa ketika kita berbicara tentang Pajak Penghasilan (PPh) maka yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Penghasilan Kena Pajak, semakin besar Penghasilan Kena Pajak dari subjek pajak tersebut maka akan semakin besar pajak yang harus ditanggung.  Oleh karena itu beberapa Wajib Pajak meminta penasihat perpajakannya untuk memikirkan solusinya atau bahkan Wajib Pajak itu sendiri sudah mahir melakukannya. Umumnya yang mereka lakukan adalah :

  • Memecah Omset. Memecah omset adalah hal yang paling sering dilakukan oleh pengusaha tujuannya umum adalah agar tidak melewati batasan pengusaha kecil kaitannya dengan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai. Sebagaimana kita ketahui bahwa apabila omset melewati Rp. 4,8 Milyar maka Wajib Pajak tersebut harus sudah menjadi Pengusaha Kena Pajak dan kewajiban menerbitkan Faktur Pajak dan memungut PPN. Motivasi memecah omset dengan mendirikan entitas lain tujuan penghindaran kewajiban adalah salah secara motivasi, namun apabila dilakukan pemisahan pembukuan/pencatatan secara ketat dan disiplin mungkin tidak menjadi persoalan dalam perpajakan.
  • Menggeser Biaya. Menggeser biaya pada umumnya menggeser pengakuan biaya yang seharusnya periode berikutnya dilakukan ke periode saat ini tujuannya tentu mengurangi penghasilan kena pajak kini.
  • Perusahaan Dummy. Perusahaan dummy atau boneka adalah suatu entitas yang diciptakan sebagai kedok, tampak seperti usaha umumnya yang memiliki logo, website dan bahkan memiliki karyawan namun tidak memiliki kapasitas untuk berfungsi secara independen. Bertujuan untuk melindungi “seseorang atau perusahaan lain” dari pertanggungjawaban dalam kontrak atau impor.
  • Dividen Tidak Pernah Dibagi. Jika perusahaan faktanya rugi tentu tidak menjadi persoalan, namun ketika entitas usaha membukukan laba namun atas laba setelah kena pajak tidak pernah dibagikan kepada pemegang saham dan berlangsung bertahun-tahun.
  • Penghasilan Lain-Lain Dicatat Sebagai Modal atau Utang. Beberapa kasus banyak bagian pajak akuntansi dan perpajakan mencatat uang yang merupakan penghasilan lain sebagai pemberian modal atau utang kepada pemegang saham atau perusahaan dalam satu group.
  • Penggelembungan Pembelian. Dengan atau tanpa kesepakatan melakukan pembayaran lebih besar dari pada yang seharusnya atas pembelian barang/jasa kepada perusahaan umumnya kepada perusahaan yang memiliki hubungan istimewa.
  • Pengecilan Omset. Melakukan penjualan di bawah harga pasar atas barang atau aktiva tetap melalui kontrak perjanjian dengan perusahaan lain umumnya kepada yang memiliki hubungan istimewa.

Penempatan Penghasilan Yang Belum Dikenakan Pajak

Tidak dapat dipungkiri bahwa, pihak perpajakan semakin intensif melakukan himbauan kepada Wajib Pajak, terlebih bank data perpajakan yang sudah terintegrasi termasuk rekening Wajib Pajak yang berada di perbankan. Sehingga penasihat perpajakan berfikir keras untuk memenuhi permintaan kliennya agar semua penghasilan tamak normal dan aman dari perpajakan. Demikian halnya terkait penghasilan yang belum dikenakan pajak dengan melakukan penempatan kembali, misalkan:

  • Membelikan property dengan mengatasnamakan keluarga seperti anak atau yang memiliki hubungan istimewa.
  • Memberikan modal dan/atau utang-piutang kepada perusahaan yang memiliki hubungan istimewa secara bertingkat sekedar untuk menutupi sumber dana yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
  • Banyak kasus bahkan sengaja mencatat penerimaan lebih besar atas perusahaan kategori Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2018 dengan tarif final 0,5% dari omset.

Kembali Kepada Standar Akuntansi Keuangan

Cara-cara sebagaimana disebutkan di atas adalah hal yang sering ditemukan dilapangan banyak diantaranya dilakukan oleh penasihat perpajakan atas permintaan kliennya, mungkin beberapa berhasil dan tidak bermasalah, namun beberapa yang lain harus menanggung akibatnya melalui penetapan yang dilakukan oleh fiskus.

Oleh karena itu, seorang penasihat perpajakan seharunya memahami dan melaksanakan PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) sebagai pendukung pembukuan dan melaksanakan proses rekonsiliasi fiskal sehingga saat penghitungan PPh terutang dan pelaporan Surat Pemberitahuan sudah lengkap, benar, dan jelas.

Pernyataan Standar Akuntansi keuangan (PSAK) merupakan sebuah kerangka prosedur rujukan dalam membuat laporan keuangan, dan berisi aturan-aturan yang berhubungan dengan kegiatan mencatat, menyusun, melakukan, dan juga menyajikan sebuah laporan keuangan. Di dakamnya terdapat kumpulan dasar atau prinsip dalam menyajikan laporan keuangan yang berisi tujuan umum (general purpose financial statements). Informasi serta data mengenai entitas yang disajikan PSAK adalah aset, liabilitas, ekuitas, pendapatan, serta beban, serta juga menyajikan entitas berupa kontribusi dari pemilik serta distribusi kepada pemilik, keuntungan dan juga kerugian, hingga arus kas dan informasi lainnya yang ada pada catatan laporan keuangan. Oleh karena itu :

  • Laporan keuangan Wajib Pajak dibuat berdasarkan PSAK, sehingga diperlukan pemahaman bagaimana seharusnya laporan keuangan disusun. Laporan keuangan berdasarkan PSAK pun tidak serta merta dapat digunakan untuk melaporkan pajak terutang Wajib Pajak, karena masih diperlukan rekonsiliasi fiskal, karena ketentuan perpajakan bisa berbeda mutlak maupun waktu dengan akuntansi. (Opini Akuntan dan Pengaruhnya Dalam Perpajakan)
  • Pengawasan kepatuhan Wajib Pajak atas pelaksanaan Standar Akuntansi Keuangan bukan pada Direktorat Jenderal Pajak, tetapi persyaratan pembukuan dalam UU KUP agar disusun dengan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain (Penjelasan Pasal 28 ayat (7) UU KUP).
  • Jikalau laporan keuangan tidak disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, bukan tidak mungkin terjadi penyimpangan atau rekayasa perpajakan sebagaimana diuraikan di atas.

Penutup

Jika kita renungkan, disaat virus corona (Covid 19) merajai dunia. Indonesia dalam waktu ini (Marety-April) adalah saat-saat menyampaikan laporan perpajakan tahunannya. Jika perusahaan di Amerika mereka  mengisi Surat Pemberitahuan Tahunan sampai berpuluh-puluh lembar, beruntung di Indonesia hanya beberapa lembar saja itupun dapat dilaksanakan secara online. Penyampaian SPT secara online sangat baik terlebih dalam suasana seperti ini (wabah virus corona). Namun, menyampaikan SPT Tahunan dengan sembrono saja tidak lah arif, sebagaimana dijelaskan di atas adalah peristiwa di mana Wajib Pajak mencoba melakukan rekayasa dalam pelaporan perpajakannya yang mengakibatkan bom waktu di masa yang akan datang bagi Wajib Pajak pun penasihat perpajakannya.

Sebagai penulis artikel perpajakan, pengajar perpajakan, penyuluh perpajakan, dan pegawai pajak,  menghimbau kepada masyarakat Wajib Pajak belajarlah jujur dalam melaporkan kewajiban perpajakannya. Jika memang usahanya rugi atau lebih bayar laporkanlah apa adanya demikianpun sebaliknya. Karena rupiah yang disetorkan sangatlah membantu bangsa kita.

Semoga virus corona segera berlalu