Entah dari mana tiba-tiba obrolan kami sampai dengan cerita tentang “guru spritual”, teman saya ini langsung merespon dan menceritakan dengan antusias, bahwasanya sampai sekarang dia merasa tertuduh dan bersalah atas sesuatu yang sama sekali tidak dilakukan. Cerita bermula ketika teman saya ini pergi berbelanja dengan istri, dan setelah berbelanja langsung kembali kerumah. Setelah sekitar tiga jam berlalu barulah istrinya teringat akan handphonenya, handphone tersebut sangat berharga baginya karena menyangkut nomor-nomor relasi bisnis.

Sang istri langsung konsultasi dengan “guru spritualnya”, tiba-tiba dia mengajak suaminya menuju satu tempat (tempat dimana mereka sebelumnya berbelanja). Sang istri dengan percaya diri, langsung menuju sekuriti dan berkata kira-kira seperti ini. “Pak Sekuriti”, handphone saya yang bapak ambil dari mobil untuk mengamankan sekarang ada dimana”. Sang Sekuriti, agak bingung tapi langsung mengiyakan bahwasanya handphone tersebut ada dan aman, sambil bergegas mengambil handphone. Setelah mengucapkan terima kasih mereka bergegas kembali ke mobil.

Tentu saja, teman saya (suaminya) agak kaget karena istrinya mengatakan bahwa sekuriti itu mengambil handphone dari mobil karena kaca mobil tidak dikunci dan tujuan untuk mengamankannya. Karena merasa tidak pernah meninggalkan mobil, saat menunggu sang istri berbelanja, teman saya ini membantah bahwasanya jalan cerita hilangnya handphone itu seperti itu. Dan kenapa istrinya sedemikian percaya dirinya berbicara kepada sekuriti tersebut. Semuanya itu adalah karena sang “guru spritual” telah memberikan rincian dan posisi handphone tersebut kepada sang Istri. Luar biasa, kan? Namun, sampai saya tuliskan cerita ini, sang suami (teman) saya tidak pernah percaya bahwa kronologisnya seperti itu karena pada faktanya dia tidak meninggalkan mobil saat istrinya berbelanja, dan sang istri tetap dalam keyakinannya.

Cerita kawan saya itu, yang begitu semangat bercerita karena merespon cerita saya demikian. “Dulu saya mempunyai seorang kakak senior yang tinggal satu kamar ketika berdinas di Papua”, dia selalu bercerita dan rutin komunikasi dengan guru spritualnya. Orangnya sedikit aneh namun tidak pernah melakukan hal yang buruk. Sampai suatu ketika dia kehilangan uang sebesar Rp. 800.000,- jumlah yang cukup besar di tahun 1998.

Dengan percaya diri, senior saya menceritakan kepada saya bahwa saya telah mengambil uangnya, dia rela meminjamkannya asal saya mengakuinya. Tentu saja saya kaget dengan perkataan jujurnya itu, karena faktanya terfikirkan pun tidak. Yang herannya, dia bercerita kepada orang-orang bahwasanya saya mencuri uangnya. Tuduhan ini diamanatkan ke saya karena “guru spritualnya” telah merinci secara jelas kronologis dan gambaran si pencuri. Hingga ditahun 2001, ketika saya pindah dinas ke Karawang, saya menjelaskan kembali bahwa saya tidak pernah mengambil uangnya, dan yang membuat saya heran adalah jawabannya, bahwa dia telah mengihlaskan uangnya itu diambil oleh saya. Luar biasa, kan?

Saya tidak mau membahas tentang “guru spritual”, yang ingin saya sampaikan adalah ketika kita berbicara relasi antara manusia dengan Tuhan (spritual), maka jawaban Tuhan pasti tidak pernah meninggalkan hal yang tidak beres. Maka, marilah kita bersikap lebih bijaksana lagi.