Sebagai yang berkecimpung dalam dunia perpajakan tentu kita mengetahui bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sbegaimana dikatakan dala  Pasal 13 ayat (6) UU Nomor 42 TAHUN 2009. Di dalam penjelasannya dikatakan bahwa untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak, sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, berada di luar Daerah Pabean, misalnya, dalam hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, Surat Setoran Pajak (SSP) dapat ditetapkan sebagai Faktur Pajak.

Berdasarkan penjelasan tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa apabila pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean maka wajib pajak yang berada di daerah pabeanlah yang menyetorkan PPN melalui SSP dan SSP itu dianggap sebagai faktur pajak yang tentu saja dapat dikreditkan.

Dalam tulisan kali ini penulis mengangkat topik dengan judul tulisan adalah “Bila Surat Setoran Pajak (SSP) Sebagai Faktur Pajak” tulisan ini terkait dengan adanya pertanyaan sehubungan dengan pemanfaatan Jasa Kena Pajak di daerah pabean yang diberikan perusahaan yang berada di luar daerah pabean.

Saat Terutang Atas Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP

Sebagi contoh PT. Nusahati menggunakan Jasa Kena Pajak dari Nusascript Corp Japan. Jasa Kena Pajak tersebut dimanfaatkan dan diterbitkan invoice‐nya pada Januari 2013. Namun, Surat Setoran Pajak PPN atas pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean tersebut dibuat dan dibayarkan oleh PT. Nusahati pada September 2013.

Berdasarkan contoh tersebut di atas, kita harus memahami terlebih dahulu bahwa Saat terutang PPN atas pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau JKP adalah terjadi saat :

  • harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
  • harga jual Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau penggantian Jasa Kena Pajak tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau
  • harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya, yang terjadi lebih dahulu.

Perlu diperhatikan ketentuan sebagai berikut :

  • Pasal 4 PMK-40/PMK.03/2010: Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean  terjadi pada saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean tersebut.
  • Pasal 6 ayat (1) PMK-40/PMK.03/2010: Pajak Pertambahan Nilai yang terutang  wajib dipungut dan disetorkan seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Maka apabila melihat contoh dan ketentuan tersebut di atas, saat terutang PPN atas pemanfaatan JKP oleh PT. Nusahati dari  Nusascript Corp Japan adalah pada bulan Januari 2013. Oleh karena itu, sesuai dengan Pasal 4 dan Pasal 6 ayat (1) PMK-40/PMK.03/2010, maka PPN dapat disetorkan oleh PT. Nusahati ke Kas Negara dengan menggunakan SSP paling lama 15 Februari 2013.

Konsekuensi apabila SSP Terlambat Disetorkan

Berdasarkan contoh diatas disebutkan bahwa : SSP PPN atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean tersebut dibuat dan dibayarkan oleh PT. Nusahati pada September 2013.

Apakah SSP terlambat disetor dapat dikreditkan bagi PT. Nusahati?

Beberapa ketentuan sebagai berikut :

  • Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 42 TAHUN 2009: Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.
  • Pasal 9 ayat (2b) UU Nomor 42 TAHUN 2009: Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9).
  • Pasal 9 ayat (8) huruf g UU Nomor 42 TAHUN 2009: Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6).
  • Pasal 13 ayat (6) UU Nomor 42 TAHUN 2009: Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
  • Pasal 6 ayat (2) PMK-40/PMK.03/2010: Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menggunakan Surat Setoran Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan, dengan ketentuan pengisian sebagai berikut:

    • pada kolom “Nama WP” dan “Alamat WP” diisi nama dan alamat orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean.
    • pada kolom “NPWP” diisi dengan angka 0 (nol), kecuali kode Kantor Pelayanan Pajak diisi dengan kode Kantor Pelayanan Pajak dari pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak.
    • pada kotak “Wajib Pajak/Penyetor” diisi nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak.
  • Pasal 7 ayat (1) PMK-40/PMK.03/2010: Bagi Pengusaha Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bulan terutangnya pajak.
  • Pasal 5 ayat (2) PER-67/PJ/2010: Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf i dan huruf j merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sepanjang dokumen tertentu tersebut memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan nama pihak yang melakukan impor Barang Kena Pajak, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak tidak berwujud.

Berdasarkan ketentuan sebagaimana tersebut di atas, SSP tersebut dapat dikreditkan di SPT Masa PPN Masa Pajak terutangnya PPN sepanjang memenuhi persyaratan bahwa SSP tersebut dibuat sesuai dengan Pasal 13 ayat (6) dan ayat (9) UU Nomor 42 TAHUN 2009 dan Pasal 6 ayat (2) PMK-40/PMK.03/2010.

Perlu disampaikan bahwa penyetoran PPN terutang atas pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean dengan menggunakan SSP berbeda dengan kewajiban pembuatan Faktur Pajak (Sehingga tidak termasuk dalam pengertian PKP yang menerbitkan Faktur Pajak setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat  dianggap tidak menerbitkan Faktur Pajak.)

Apakah SSP yang  terlambat dibuat dikenakan sanksi?

Tidak ada batasan waktu untuk keterlambatan penyetoran PPN (atas pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean) yang mengakibatkan PPN yang terlambat disetor menjadi tidak dapat dikreditkan.

Demikian pula PPN yang terlambat disetor tetap dapat dikreditkan pada Masa Pajak saat terutangnya PPN (Masa Pajak Januari 2013) atau pada Masa Pajak yang tidak sama (sesuai Pasal 9 ayat (9) UU Nomor 42 TAHUN 2009), sepanjang masih dapat dilakukan pembetulan SPT Masa PPN dan SPT pada masa tersebut belum dilakukan pemeriksaan dan belum diterbitkan surat ketetapan pajak.

Dengan demikian, atas keterlambatan ini, Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% x DPP sebagaimana halnya terlambat membuat Faktur Pajak.

Loading….