Latar belakang penulisan kali ini adalah berawal dari adanya Penyesuaian Fiskal Negatif atas penyesuaian pembalikan (write back)  dari kerugian penurunan nilai persediaan  (menurut perusahaan atas ketugian akibat penurunan nilai persediaan pada akhirnya  tidak terjadi, sementara ditahun sebelumnya telah dilakukan penyesuaian fiskal positif). Dan atas penyesuaian fiskal negatif tersebut dilakukan koreksi oleh fiskus yang menyebabkan terjadinya selisih pendapat antara perusahaan dan fiskus.

Maka kali ini penulis mencoba menuliskan kembali hal-hal seputar penurunan nilai persediaan ditinjau dari sudut perpajakan dimana teori diambil dari berbagai sumber dan ketentuan yang ada, tentu saja opini yang ada terkait tulisan ini terancam salah karena murni interprestasi penulis terkait penurunan nilai persediaan, namun bolehlah di konsumsi sekedar menambah wawasan dan mengetahui sudut pandang. Adapun judul penulisan kali ini adalah “Sekilas Tentang Penurunan Nilai Persediaan” dan sekali lagi selamat menelaah… 

Persediaan Ditinjau Sudut Pandang Perpajakan

Ketentuan Yang Mengatur

Dalam pasal 10 ayat (6) UU PPh dikatakan Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama.

Pada umumnya terdapat 3 (tiga) golongan persediaan barang, yaitu barang jadi atau barang dagangan, barang dalam proses produksi, bahan baku dan bahan pembantu.

Ketentuan tersebut mengatur bahwa penilaian persediaan barang hanya boleh menggunakan harga perolehan. Penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok hanya boleh dilakukan dengan cara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama (“first-in first-out atau disingkat FIFO“). Sesuai dengan kelaziman, cara penilaian tersebut juga diberlakukan terhadap sekuritas.

Sekali Wajib Pajak memilih salah satu cara penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok tersebut, maka untuk tahun-tahun selanjutnya harus digunakan cara yang sama.

Namun Wajib Pajak dapat menggunakan metode penilaian persediaan barang dalam pembukuannya selain metode rata-rata tertimbang (Weighted Average) atau First In First Out (FIFO) sepanjang mendapat persetujuan Dirjen Pajak.

Latar Belakang Pengaturan

Adapun motivasi pengaturan penghitungan persediaan dengan metode First In First Out (FIFO) atau  metode rata-rata  adalah untuk mendorong perusahaan mengurangi jumlah persediaan dan meningkatkan penjualan.  Hal ini juga agar perusahaan tidak dikenakan pajak yang lebih besar akibat penyimpan persediaan yang besar. Disamping hal tersebut dengan pengaturan persediaan sesuai ketentuan yang di atur dalam perpajakan hal-hal lainnya yang diharapkan untuk suatu perusahaan  sebagai mana telah diuraikan dalam tulisan sebelumnya yang berjudul “sekilas tentang penilaian persediaan” adalah diantaranya sebagai berikut :

  • Mendorong mekanisme pengelolaan persediaan secara Just In Time (JIT),atau paling tidak mendekati. Pengelolaan persediaan secara sistem  just in time adalah sistem dimana persediaan hampir tidak ada karena perusahaan memproduksi sedemikian rupa sehingga ketika barang sudah jadi (finished good/siap dijual) langsung terjual pada saat itu juga karena barang yang diproduksi tepat dengan skedul penjualan. Sistem ini sangat bisa menghemat biaya dan dapat memperlancar arus kas karena tidak ada penumpukan persediaan.
  • Mendorong perusahaan untuk mengurangi adanya persediaan barang yang sudah usang, dengan menerapkan sistem just in time maka persediaan usang akan lebih sedikit karena persediaan juga semakin sedikit dengan begitu akan mengurangi biaya produksi.
  • Mendorong efesiensi dan pada akhirnya mendorong ekonomi biaya rendah dan mendorong persaingan dengan harga murah. Jika rata-rata perusahaan mempunyai biaya produksi rendah, maka akan terjadi persaingan yang lebih besar karena semakin banyak tingkat pengembalian oleh suatu sektor usaha atas investasi (margin laba), semakin banyak perusahaan yang akan masuk ke sektor usaha tersebut, diakarenakan orang akan tergiur oleh usaha yang lebih menjanjikan.
  • Mendorong peningkatan penawaran barang, Secara ekonomi makro, Semakin sedikit persediaan akan mendorong penawaran barang. Hal ini karena persaingan yang lebih banyak menyebabkan banyaknya perusahaan memproduksi barang yang sama sehingga mendorong meningkatkan penawaran dipasar. Dengan begitu harga yang tercipta menjadi lebih rendah dengan tidak mengorbankan margin laba perusahaan (hukum penawaran “semakin besar barang yang ditawarkan, semakin rendah harga yang terjadi”).

Metode FiFo dan Rata-Rata Tertimbang

Metode penilaian persediaan  yang juga diperkenankan oleh International Financial Reporting Standards (IFRS) adalah metode FIFO dan metode rata-rata tertimbang (weighted-average method). Dalam metode FIFO diasumsikan bahwa barang yang pertama dibeli akan menjadi barang yang pertama digunakan atau barang yang pertama dijual, tanpa memperhatikan aliran fisik persediaan yang sesungguhnya.

Metode ini dipandang paralel atau paling tidak lebih dekat dengan aliran fisik persediaan pada perusahaan-perusahaan yang memiliki persediaan dengan tingkat perputaran persediaan sedang hingga tinggi. Kekuatan metode ini adalah pada pelaporan persediaan dalam laporan posisi keuangan (neraca), karena persediaan yang pertama dibeli diasumsikan sebagai persediaan yang pertama dijual, maka saldo persediaan akan terdiri dari persediaan yang terakhir dibeli, sehingga pelaporan persediaan menjadi semakin dekat dengan tujuan pelaporan aset sebesar nilai wajarnya.

Dalam metode rata-rata tertimbang, kos persediaan akhir ditentukan sebesar rata-rata kos persediaan selama satu periode. Meskipun dalam metode rata-rata kos persediaan bisa terdistorsi oleh perubahan tingkat harga persediaan, tetapi metode persediaan ini dalam kasus-kasus tertentu cukup praktis untuk diterapkan.  Untuk kasus metode FIFO dan metode rata-rata tertimbang tidak ada perbedaan antara IFRS dengan US GAAP (Generally Accepted Accounting Principles), keduanya membuat aturan dan ketentuan yang sama.

Penurunan Nilai Persediaan

Pengertian Sesuai Standard Akuntansi

Kita mengenal istilah impairment atau ringkasnya sering disebut sebagai istilah dalam penurunan nilai aset dan aset disini dapat meliputi aset berwujud maupun tak berwujud, dalam hal ini termasuk aset yang berupa persediaan yang menjadi pembahasan dalam penulisan.

Impairment asset terjadi jika nilai tercatat asset melebihi nilai yang dapat dipulihkan. Aset yang mengalami penurunan nilai harus disesuaikan dan dampak penyesuaian tersebut akan diakui sebagai kerugian dalam laporan laba rugi. Semua aset memiliki potensi mengalami penurunan nilai, namun ada yang diatur sendiri dalam standar asset terkait atau diatur umum dalam PSAK 48 tentang penurunan nilai.

Adapun jurnal terkait penurunan nilai  khusus persediaan tampak yaitu (D) Kerugian penurunan nilai pada (K) Cadangan penurunan nilai persediaan. Pada neraca tercatat   persediaan dan cadangan penurunan persediaan dan pada laporan laba rugi  tercatat beban kerugian penurunan nilai.

a. Rugi Penurunan Nilai Persediaan

Sekali perusahaan mengakui rugi penurunan nilai persediaan, perusahaan harus membuat taksiran baru mengenai nilai yang dapat diperoleh kembali dari persediaan tersebut  pada tahun-tahun berikutnya, jika terdapat indikasi bahwa aktiva tersebut mengalami penurunan nilai lebih lanjut, atau jika terdapat indikasi bahwa kerugian penurunan nilai yang diakui pada tahun-tahun sebelumnya mengalami penurunan. Untuk menentukan apakah persediaan mengalami penurunan nilai  lagi perusahaan harus menerapkan ketentuan sebagai berikut :

  1. Pada setiap tanggal neraca, perusahaan harus mereview ada tidaknya indikasi penurunan nilai persediaan. Jika terdapat indikasi penurunan nilai persediaan, perusahaan harus menaksir jumlah yang dapat diperoleh kembali dari aktiva tersebut.
  2. Dalam mengidentifikasi terdapat atau tidaknya penurunan nilai persediaan, paling tidak perusahaan harus mempertimbangkan informasi dari luar perusahaan maupun informasi dari dalam perusahaan.

b. Pemulihan Rugi Penurunan Nilai Persediaan

Nilai tercatat persediaan yang rugi penurunan nilainya telah diakui harus dinaikan kembali menjadi sebesar nilai yang dapat diperoleh kembali, hanya jika terjadi perubahan dalam taksiran yang digunakan untuk menentukan nilai aktiva yang dapat diperoleh kembali sejak saat terakhir kali rugi penurunan nilai diakui.

Kenaikan tersebut merupakan pemulihan rugi penurunan nilai dan harus diakui segera sebagai laba dalam laporan laba rugi. Dan kenaikan nilai tercatat persediaan tidak boleh melebihi nilai tercatat yang seharusnya diakui seandainya pada tahun sebelumnya tidak ada pengakuan rugi penurunan nilai persediaan.

Tentang contoh rugi penurunan nilai serta pemulihan rugi penurunan nilai dapat dilihat pada PSAK 48 tentang penurunan nilai.

Penurunan Nilai Persediaan Menurut Perpajakan

Terkait penurunan nilai aset yang menyebabkan suatu kerugian yang dicatat dalam laporan laba rugi dalam pelaporan pajak akan dilakukan koreksi hal ini sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan yang meliputi :

  1. UU PPh Pasal 9 ayat (1) huruf c
  2. Peraturan Menteri Keuangan nomor 219/PMK.11/2012 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan nomr 81 Tahun 2009 tentang  pembentukan  Atau Pemupukan Dana Cadangan Yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya

Namun bagaimana atas kerugian akibat penurunan nilai aset yang telah dilakukan koreksi fiskal positif ditahun-tahun sebelumnya dimunculkan kembali menjadi koreksi fiskal negatif karena ternyata atas nilai persediaan yang telah diturunkan tersebut telah nyata-nyata mengalami kerugian di tahun bersangkutan, apakah hal tersebut diperkenankan?

Pada prinsipnya atas kerugian penurunan nilai aktiva dalam hal ini persediaan (Industri Manufaktur dan Perdagangan) tidak diperkenankan dilakukan pembiayaan sebagai pengurang dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri walaupun dalam mekanisme dimana wajib pajak melakukan koreksi fiskal positif. Artinya dalam penghitungan perpajakan persediaannya tetap dihitung senilai yang dicatat tanpa penurunan nilai.

Penutup

Seperti disebutkan di atas bahwa salah dua motivasi pengaturan penghitungan persediaan dengan metode First In First Out (FIFO) atau  metode rata-rata  adalah untuk mendorong perusahaan mengurangi jumlah persediaan dan meningkatkan penjualan.  Hal ini juga agar perusahaan tidak dikenakan pajak yang lebih besar akibat penyimpan persediaan yang besar.

Apabila penghitungan  persediaan dengan metode tersebut dilakukan dengan konsisten dan taat asas mungkin saja akan menghindari perusahaan menyimpan terlalu lama persediaan yang akan menyebabkan turunnya nilai akibat jenis barang sudah ditinggalkan konsumen, dalam kasus di atas disebutkan penurunan nilai persediaan karena atas produk dari persediaan tersebut sudah tidak trendi/laku lagi.

Hal ini sejalan sebagaimana disebutkan dalam pasal 9 UU PPh disebutkan bahwa untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan oleh pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:

  1. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang.
  2. cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
  3. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
  4. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
  5. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
  6. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri

yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Dapat disimpulkan bahwa ada perlakukan yang berbeda antara akuntansi dan perpajakan terkait penerapan atas penurunan nilai aset (Impairment asset), di mana terkait penurunan nilai aset secara akuntansi dapat kita baca di PSAK 48 tentang penurunan nilai sementara sesuai ketentuan perpajakan, kerugian yang terjadi akibat penurunan harga persediaan yang belum terjual tidak boleh dibiayakan dan wajib pajak tidak diperkenankan untuk membuat penyisihan penyusutan persediaan (pasal 9). Hal ini berbeda, apabila terjadi penghapusan persediaan karena rusak, hilang atau musnah, tentunya penghapusan tersebut dibuktikan dengan berita acara yang disahkan pejabat perusahaan yang berwenang.

Loading…

 

Artikel Terkait :

  1. Sekilas Tentang Penilaian Persediaan
  2. Bila Seorang AR Melakukan Stock Opname?