Berikut adalah dua cerita pendek yang memberi kesadaran baru dan jarang kita perhatikan, namun kini telah  disampaikan kepada Anda.

Cerita pertama:

Ada seorang anak, yang mempunyai ibu berusia lanjut, giginya sudah tanggal semua, sehingga membuat anaknya ingin membawa ibunya untuk memasang gigi palsu. Begitu masuk ke klinik gigi, dokter pun mulai mempromosikan gigi palsu mereka, namun si ibu maunya gigi palsu yang paling murah. Mendengar itu, sang dokter tidak mau menyerah begitu saja, sambil memandangi si anak, dengan sabar ia menjelaskan perbedaan kualitas antara gigi yang bagus dan buruk. Namun, yang sangat mengecewakan dokter adalah, anak yang tampaknya berduit itu acuh tak acuh, hanya sibuk merokok sambil telepon, sama sekali tidak peduli dengannya.

Dokter gagal meyakinkan si ibu, hingga akhirnya memenuhi permintaannya. Saat itu, dengan tangan bergetar, si ibu mengambil sebuah kain bungkusan, lalu membukanya selapis demi selapis, kemudian mengambil dan menyerahkan uangnya kepada dokter sebagai uang muka, dan semingu kemudian akan kembali lagi untuk memasang gigi palsunya.

Setelah si ibu dan anaknya meninggalkan klinik, orang-orang yang ada di klinik mulai jengkel dan marah-marah terhadap anak berduit tersebut, berpakaian necis, rokonya pun cerutu kualitas tinggi, tetapi tidak rela mengeluarkan uang untuk sepasang gigi palsu yang bagus bagi ibunya. Tepat di saat mereka masih memendam rasa jengkel dan amarah itulah, tak diduga anak berduit itu pun kembali ke klinik dan berkata : “Dok, tolong buatkan gigi porselen yang terbaik buat ibu saya, biayanya saya yang tanggung, tidak masalah berapa pun harganya. Tapi, saya minta anda jangan mengatakan hal yang sebenarnya kepada ibu saya, ibu saya orang yang sangat hemat, dan saya tidak ingin membuatnya sedih karena hal ini.”

Cerita kedua:

Saya ke pembaringan biasanya pada pukul 23:00 malam, di luar jendela sana tampak hujan salju. Saya menyusutkan diri di balik selimut, mengambil jam alarm, namun alarmnya tidak berfungsi, karena sudah saatnya ganti baterai baru dan saya lupa membelinya. Cuaca yang begitu dingin seperti itu, membuat saya malas untuk bangun lagi.

Rasa malas membuat saya menelepon ibu, “Bu, jam alarm saya belum diganti dengan baterai baru, sementara besok pagi saya harus ke kantor untuk rapat, dan saya harus bangun pagi, jadi, besok jam 6 pagi, ibu bangunkan saya ya melalui telepon.”

Suara ibu di ujung sana terdengar agak serak, mungkin sudah tertidur, kemudian terdengar ucapanya, “Ya, baiklah.”

Saat telepon berdering, saya sedang bermimpi indah, langit di luar sana tampak gelap gulita. Sementara di seberang sana, ibu berkata, “Xiao-ju, ayo bangun, hari ini ada rapat.”

Aku melihat jam di pergelangan tanganku, baru jam lima pagi. Lalu dengan jengkel, aku berteriak, “Bukankah aku bilang jam enam pagi? Aku kan masih mau tidur beberapa saat lagi, tapi ibu ganggu!”

Tiba-tiba di seberang sana, ibu terdiam, dan aku pun menutup telepon.

Setelah bangun, aku pun merapikan diri, dan siap berangkat ke kantor. Dingin sekali cuacanya, tampak hamparan salju di mana-mana. Di halte bis, aku terus menginjak kakiku saking dinginnya. Di sekeliling tampak gelap gulita, sementara di sampingku berdiri dua orang tua yang sudah senja. Aku mendengar si kakek berkata pada nenek itu, “Coba lihat kau, semalaman tidak tidur dengan nyenyak, waktu masih pagi juga kau mulai mendesakku, dan coba lihat sekarang harus menunggu begitu lama di sini.”

Ya, bis pertama baru akan tiba lima menit lagi. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya bis yang ditunggu-tunggu itu pun datang, aku bergegas naik ke atas bis. Supir bis adalah seorang pemuda tanggung, sang supir segera tancap gas setelah menunggu aku naik ke dalam bis.

Aku berkata kepadanya, “Hei, sopir, di bawah sana masih ada dua orang tua, cuaca begitu dingin, mereka sudah lama menunggu di sana, mengapa kau langsung tancap gas tidak menunggu mereka ?”

Dengan bangga pemuda tanggung itu berkata, “Tidak apa-apa, mereka itu ayah ibu saya. Hari ini adalah hari pertama saya menarik (sebagai supir) bis umum, mereka datang hanya sekadar melihat saya.”

Tiba-tiba mataku berkaca-kaca dan meneteskan air mata, aku membaca pesan pendek dari ayah, “Nak, ibu bilang, ibu yang salah, ibu selalu tidak bisa tidur dengan nyenyak, sebenarnya sejak awal ibu sudah bangun, dan ibu khawatir kamu akan terlambat rapat.”

Tiba-tiba aku teringat sebuah pepatah Yahudi :

“Ketika ayah memberikan sesuatu untuk anaknya, sang anak pun tersenyum. Namun, ketika si anak memberikan sesuatu untuk ayahnya, sang ayah menangis.”

Setelah membaca cerita ringkas dan sarat dengan makna ini, mengingatkan kita untuk menjadi seorang anak yang berbakti kepada orang tua. Seumur hidup ini, orang yang memungkinkan kita berutang terlalu banyak dan tidak mengharapkan balasan jasa serta tanpa pamrih hanyalah Ayah dan Ibu, yakni orang tua kita. Jadi janganlah berkeluh kesah hanya karena mendengar ocehan mereka, sebaiknya maklumi dan pahami mereka, bersyukur dan terima kasih kepada mereka, serta peduli dengan mereka. Hidup ini singkat, jangan pernah merasa bosan untuk melihat orang tua kita selagi sempat, walau hanya sekejap.

Sumber : https://www.inspirasidaily.com/cerita-pendek-yang-menyentuh-hati-jutaan-orang/