6. Manusia dan Kemarahan

Apakah benar konsep yang mengatakan, “Dulu sebelum saya menjadi Kristen saya adalah orang yang pemarah. Saya sering kali marah-marah. Tetapi sekarang, setelah saya menjadi Kristen, saya tidak pernah marah lagi. Kemana-mana tersenyum dan bersukacita.” Apakah orang Kristen pergi kemana-mana terus tersenyum? Itu mirip orang gila. Itu bukan konsep Alkitab. Orang Kristen pada saat tertentu bukan hanya bisa marah, tetapi harus marah. Orang Kristen pada saat tertentu bukan saja bisa marah, tetapi perlu marah. Pada saat kita perlu dan harus marah, namun tidak marah, maka kita telah berdosa. Ini ajaran Alkitab.

Dimana nas Alkitab yang mengajarkan kita boleh marah? Mazmur 76 : 11 – Kemarahan manusia akan menggenapi kemuliaan Allah dan kelebihan marah yang tidak perlu akan dihentikan oleh Allah sendiri.  Ayat ini tidak pernah diulangi lagi di sepanjang Kita Suci. Ketika pertama kali saya membaca ayat ini di usia belasan tahun, saya sangat kagum akan Firman Tuhan. Di sini Alkitab membicarakan tentang kemarahan manusia.

Martin Luther pernah mengatakan satu kalimat yang sangat mengejutkan saya: “Saya tidak pernah bekerja lebih baik, kecuali pada saat-saat saya diilhami oleh kemarahan yang suci.” (I never work better unless when I was inspired by holy anger). Ketika saya sedang marah, maka pekerjaan saya menjadi sangat bagus dan produkif. Kemarahan itu bukan sembarang kemarahan, tetapi kemarahan suci. Kita terkadang “terlalu” banyak cinta kasih. Terlalu banyak cinta kasih membuat kita berbuat sembarangan. Karena kita menganggap Allah penuh cinta kasih, maka kita boleh berbuat segala kesalahan, boleh melakukan segala kecerobohan dan boleh malas, maka semuanya akan menjadi tidak beres. Inilah semangat yang merusak gereja. Sering kali kantor dunia bekerja lebih produktif, lebih efesien daripada kantor gereja. Para manajer dan usahawan di dunia lebih ketat daripada orang Kristen, karena orang Kristen hanya tahu Allah yang mengasihi dan penuh pengampunan. Bukan berarti Allah  bukan maha pengampun, tetapi harus ada prinsip yang melandasinya. Justru karena itu Martin Luther marah melihat Gereja Katolik begitu rusak, menjual keselamatan untuk mendapatkan uang. Bukan uang yang membuat manusia bisa mendapat pengampunan dosa. Hanya darah Tuhan Yesus yang bisa mengampuni dosa. Martin Luther sangat marah dengan penyelewengan ajaran yang sedemikian. Martin Luther marah karena makna darah Kristus tidak dihargai sepatutnya. Setelah Martin Luther marah, dia melaksanakan Reformasi, dan api itu menghanguskan kesalahan-kesalahan dalam gereja. Api itu menghakimi apa yang melawan kehendak dan kebenaran Allah. Kemarahan suci itu telah membangkitkan api yang suci. Kemarahan suci itu telah membangkitkan api yang suci. Kemarahan suci mendorong, menstimulasi, membakar kita untuk melayani dan bekerja lebih baik. Mengapa banyak pelayanan Kristen tidak beres? Karena terlalu banyak bicara cinta kasih dan melupakan kemarahan Tuhan Allah.

Di dalam Jakarta Oratorio Society, saya berusaha untuk selalu sabar dan selalu senyum, supaya para anggota bisa menyanyi dengan lebih baik. tetapi ada satu orang yang meneliti. Satu kali karena konser itu Konser Sakral (Sacred Concert), maka lagu-lagu yang dikumandangkan semuanya adalah lagu-lagu Kristen dan pujian kepada Allah. Di dalam konser saat itu, banyak lagu tentang Holy, Holy, Holy, dan juga Sanctus. Lagu lagu itu kebanyakan diambil dari Requiem dari Mozart atau Mass (misa Katolik). Ternyata dalam konser itu banyak orang Katolik yang menghadirinya. Mereka terkejut mengapa lagu-lagu Katolik ini sekarang dinyanyikan orang-orang Protestan? Maka orang-orang Katolik di Jakarta tergugah oleh konser itu. Pemimpin mereka, yang belajar ke Amerika, saat itu memperketat paduan suara mereka, dan juga cara memimpin paduan suara. Mereka juga mau menjadi lebih baik dan tidak mau kalah. Dan memang inilah yang saya harapkan, yaitu merangsang dan mendorong orang-orang Kristen untuk mengembalikan orang-orang Kristen kepada musik-musik yang agung, dan juga theologi yang ketat, dengan berbagai sarana seperti sekolah theologi awam, Seminar Pendidikan Iman Kristen, dan lain-lain. Saya mengerjakan semua ini supaya orang-orang Kristen kembali kepada kebenaran Tuhan dengan ketat, latihan ketat sekali dengan disiplin yang serius. Masalah disiplin ini sering kali dilupakan oleh gereja. Kita terlalu banyak mendengungkan cinta kasih, yang akhirnya malah melumpuhkan gereja. Gereja sering kali ketakutan kehilangan anggota, takut mendisiplin. Kita perlu sadar bahwa orang yang tidak mau disiplin sering kali mengejutkan atau menakut-nakuti orang baik. Kita perlu menegakkan disiplin.

Mari kita belajar mengerti kemarahan Tuhan. Saya harap semua majelis gereja, para aktivis dan pengurus gereja, benar-benar menjadi teladan di dalam perpuluhan, di dalam kebaktian doa, di dalam semangat melayani, di dalam menjadi contoh hidup dalam ibadah, bagi orang percaya lainnya. Kemarahan suci sangat dibutuhkan.  Kemarahan yang suci menyempurnakan kehendak Allah. Inilah kebenaran yang diungkapkan oleh Firman Tuhan.

Tetapi kemarahan yang kelebihan akan dihentikan Tuhan. Kemarahan diperlukan, tetapi kemarahan yang berlebihan menjadi kemarahan yang tidak tepat. Kalau seorang anak nakal dan kita memukul dia dengan tepat, itu akan membangunkan dia, tetapi kalau kelebihan akan merusak dia. Kalau kita pukul anak kita di pantatnya, itu tidak apa-apa, karena disitu ada banyak daging yang memang dicipta untuk kita pukul (“pukul” disini dimengerti sebagai dipukul dengan tangan biasa dan dengan tenaga yang sepantasnya), tetapi kita pukul telinganya, sehingga dia tuli, itu merusak dan tidak pada tempatnya, maka Tuhan akan menghentikannya. Kemarahan itu memang penting dan baik, karena kemarahan yang benar akan menyempurnakan kemuliaan Allah; tetapi tidak boleh berlebihan. Kemarahan yang berlebihan tidak diperkenankan oleh Tuhan.

7. Teladan Kemarahan dalam Alkitab

Kini kita akan melihat dua tokoh Alkitab yang penting di dalam kita mempelajari tentang kemarahan. Yang pertama adalah Musa, tokoh di dalam Perjanjian Lama. Yang kedua adalah Paulus, tokoh dalam Perjanjian Baru.

Musa marah dan dia membanting dua loh batu yang berisi tulisan Sepuluh Hukum, yang ditulis oleh Tuhan Allah sendiri (Kel. 32 : 15-35). Beranikah engkau merobek tulisan tangan presiden? Tentu kita enggan melakukannya. Tetapi ini tulisan Allah sendiri, bolehkah dibanting? Tetapi saat itu kemarahan Musa begitu dasyat. Musa mengajak bangsa ini keluar dari Mesir untuk kembali kepada Allah yang sejati, agar  mereka bisa meninggalkan semua berhala-berhala, dewa-dewa di Mesir. Musa ingin bangsa ini sungguh-sungguh percaya kepada Allah. Tetapi kini, dihadapan Musa, bangsa itu telah membuat patung lembu emas, lalu menyembah patung itu sebagai Yahweh yang mengeluarkan mereka dari mesir. Musa marah luar biasa dan membanting dua loh batu itu sampai hancur. Apakah kemudian Allah marah sekali kepada Musa yang telah marah begitu luar biasa? Tidak.

Justru Allah tidak marah ketika Musa marah sedemikian luar biasa. Allah tidak marah  kepada Musa, karena di dalam kemarahannya yang luar biasa itu, Musa sinkron dengan kemarahan Allah. Pada saat Allah marah, Musa juga marah. Maka di sini kemarahan Musa menjadi kemarahan yang menyempurnakan kemuliaan Allah. Marah pada saat Tuhan marah adalah marah yang sesuai dengan kemarahan Tuhan Allah. Marah yang sejati adalah kemarahan yang sesuai dengan prinsip Tuhan, yang sesuai dengan standar Tuhan dan yang sejalan dengan arah kemarahan Tuhan.

Ketika Tuhan Allah marah kepada umat Israel, Musa juga marah kepada umat Israel. Maka di sini Musa telah menjadi teman pelayanan Allah yang paling baik. Inilah rahasia pelayanan yang sejati dan diperkenan Tuhan Allah. Mengapa pelayanan yang kita lakukan untuk melayani Allah sering kali diperkenan Tuhan? Pada suatu hari, saya berkhotbah dengan sangat serius. Muka saya sampai merah dan sangat keras bicara. Penerjemah saya menterjemahkan sambil tertawa-tawa. Saya jengkel sekali. Ketika saya tanyakan  mengapa dia tertawa, dia mengatakan tidak ada apa-apa. Dia menerjemahkan konsep kemarahan Allah sebagai sesuatu yang lucu. Saya berhenti, saya perintahkan dia untuk turun dan tidak perlu menjadi penterjemah. Lalu dia digantikan dengan penerjemah lain yang betul-betul mengerti apa itu kemarahan Tuhan Allah dan dia menerjemahkan dengan sangat serius. Inilah yang Tuhan inginkan. Tuhan tidak mau bekerja dengan orang yang main-main. Jika kita sedang memberitakan sesuatu yang serius, maka kita juga harus bersikap serius, sama seperti perintah itu.

Jika ada sebuah rumah yang terbakar, dan apinya sudah menjalar cukup besar dan ada orang di dalam rumah itu, maka kita pasti akan berteriak dengan serius sekali memerintahkan orang-orang di dalam rumah itu untuk keluar. Ini adalah  permintaan yang serius. Tentu kita akan pakai suara keras. Kita tentu tidak mengatakan dengan lembut : “Halo, apakah ada orang di dalam? Apakah kamu sedang sibuk? Maukah kamu keluar sebentar, karena rumahmu sedang terbakar? Tetapi itu terserah kebebasanmu, boleh menemui saya atau tidak.” tentu tidak demikian, bukan?

Ketika Tuhan memberitakan sesuatu yang serius, Dia ingin hamba-Nya juga memberitakan suatu berita, Dia berharap kita sungguh-sungguh setia membawakan berita itu. Kalau Tuhan ingin memberikan peringatan, Dia berharap kita juga mempunyai emosi yang menunjukkan peringatan itu. Ini suatu dalil yang sangat mudah kita mengerti.

Bolehkah kita menyatakan cinta Tuhan dengan marah-marah? Tentu tidak boleh. Bolehkah kita memberitakan tentang neraka sambil tersenyum-senyum? Tidak bisa. Bolehkah kita membicarakan penghiburan Tuhan sambil marah-marah? itu sama sekali tidak sesuai.

Ketika berusia 20 tahun lebih, saya mendengar Pdt. Dr. Andrew Gih berkhotbah. Setelah selesai, saya masuk ke kamar saya berlutut dan berdoa :”Tuhan, jadikanlah aku hamba-Mu. Ketika Engkau marah, aku marah; ketika Engkau sedih, aku sedih; ketika Engkau memberitakan kesukaan, aku bersukacita, ketika Engkau menyatakan jejak kaki-Mu, aku sabar mengikuti emosi-Mu. Sehingga ketika aku menghibur, orang mendapat penghiburan; ketika aku menegur, orang mendapatkan teguran; ketika aku menghakimi, orang merasakan penghaiman Tuhan itu tiba; ketika aku menyatakan panggilan Tuhan, orang merasakan panggilan Tuhan itu  tiba pada dirinya.” inilah suatu sinkronisasi emosi kita dengan emosi Allah.

Suatu gerakan sukses jika ada sinkronisasi. Waktu Allah marah, kita marah, hamba Tuhan marah, maka yang lain juga sama-sama marah. Itu sinkron. Tapi jika Allah marah, lalu saya memberitakan kemarahan Allah dan saya marah, tetapi hamba Tuhan yang lain mengatakan tidak apa-apa, dan tetap tersenyum-senyum, maka itu menjadi tidak sinkron, dan akhirnya merusak seluruh gerakan. Saya minta semua hamba Tuhan sinkron dalam pelayanan ini. Marilah kita sehati melihat emosi Tuhan. Emosi Tuhan yang menjadi patokan dari emosi kita. Ketika Tuhan marah, marilah kita marah; ketika Tuhan sedih, marilah kita sedih; ketika Tuhan senang, marilah kita senang. Inilah hamba Tuhan yang asli. Ketika Tuhan marah, jangan kita menghibur. Itu suatu perlawanan terhadap emosi Allah. Kemarahan manusia akan menyatakan kemuliaan Allah, dan kelebihan kemarahan manusia akan dihancurkan oleh Tuhan Allah. Jangan kita bermain-main.

Beberapa waktu ini saya memikirkan bagaimana keadaan orang Indonesia, yang suatu saat mengelu-elukan satu pemimpin, begitu bersemangat menaikkan dia menjadi presiden, lalu tidak lama kemudian, begitu bersemangat untuk menjatuhkan dia dan menolak dia menjadi pemimpin. Jadi, sebenarnya rakyat ini mengerti sampai di mana, dan siapa sebenarnya yang mereka inginkan untuk menjadi pemimpin mereka? Jadi, apakah mereka mencintai pemimpin bangsa? Tidak, mereka hanya menginginkan kesejahteraan sendiri. Rakyat belum terlatih memikirkan kepentingan negara. Sayang sekali. Mereka dididik di dalam agama-agama yang sangat bias atau membelot dari kebenaran, mereka hanya berusaha membela kepentingan diri sendiri atau kelompok. Para pemimpin dan rakyat juga marah ketika uang orang Indonesia diinvestasikan di luar negeri, tetapi berusaha keras agar orang luar negeri mau berinvestasi di Indoneisa. Ini sungguh suatu ketidak adilan internasional. Coba berfikir yang sangat bias. Kita tidak suka kalau uang kita ke negara lain, tetapi ingin uang negara lain ke negara kita. Negara Indonesia adalah negara yang kaya, tetapi masyarakatnya miskin. Mengapa? Karena semangat perjuangan untuk maju sangat lemah. Manusia hanya mau kenikmatan tetapi tidak mau bekerja keras dengan kualitas yang baik. Mau hidup enak, tetapi tidak mau bertumbuh, belajar, dan maju dengan usaha yang sangat keras dan membanting tulang. Saat ini Indonesia banyak orang miskin yang membutuhkan kasih sayang dan perhatian. Kita perlu memperhatikan dan mengasihi mereka, tetapi mereka juga perlu dididik untuk membanting tulang dan berani bekerja berat untuk maju.

Orang yang membeli dan membayar tentunya lebih kaya daripada yang bekerja keras untuk memproduksi dan menjualnya. Orang Jerman bekerja keras membuat mobil, lalu orang Indonesia tinggal membayar dan membeli mobilnya. Bukankah ini berarti orang Indonesia lebih kaya dari pada orang Jerman? Tetapi mengapa orang Jerman yang lebih kaya dari orang indonesia? Karena sejak Reformasi, ada semangat yang turun dari kebenaran Firman Tuhan untuk bekerja keras. Mengapa orang di Indonesia tidak mau berfikir keras, bekerja keras lalu memproduksi barang-barang yang bermutu tinggi dan sangat dibutuhkan, sehingga produk-produknya dibeli di Jerman? Ini karena mentalitas bangsa kita belum dididik dengan keras untuk mencapai kualitas yang Tuhan inginkan. Di sini kemarahan yang suci dibutuhkan untuk membangun bangsa.

Sebaliknya, kemarahan yang berlebihan adalah kemarahan yang merusak. Kemarahan itu adalah kemarahan yang dipenuhi kebencian. Kemarahan itu dipicu oleh karena perasaan tergangu, kita marah besar. Ada tiga macam gangguan yang memicu kita untuk marah :

  1. Hak diganggu. Hak saya diganggu sehingga saya marah.
  2. Prinsip kebenaran diganggu. Ketika prinsip-prinsip kebenaran diganggu, saya marah.
  3. Allah dan rencana-Nya diganggu. Ketika Allah dan rencana-Nya diganggu, saya marah demi Allah.

Dari ketiga macam gangguan ini, maka saya meilihat bahwa posisi yang pertama adalah posisi yang terendah. Kalau hak kita diganggu sehingga kita merasa dirugikan lalu kita marah. Itu merupakan kemarahan anak-anak.

Ketika prinsip kebenaran, prinsip keadilan, prinsip kehidupan yang objektif diganggu, dan membuat saya marah, maka itu berarti saya sudah berhasil melepaskan diri dari kepentingan diri kita sendiri. Di sini kita mulai memikirkan kepentingan seluruh kemanusiaan yang perlu dijaga. Ini merupakan tahapan yang lebih tinggi daripada sekedar marah karena diri terganggu. Ini berarti sudah masuk dalam kriteria orang agung. Baik Musa maupun Paulus dalam Alkitab adalah orang-orang yang bukan marah karena dirinya terganggu. mereka marah karena prinsip Alkitab diganggu dan karena Allah diganggu.

Paulus berkata dalam 2 Korintus 11: 2 – “Aku cemburu kepada kamu dengan cemburu ilahi.” Paulus cemburu sama seperti kecemburuan yang ada pada Allah. Di sini dia sinkron dengan Tuhan Allah. Ketika Tuhan Allah melihat anak-anak-Nya kurang ajar, maka Dia marah, dan Paulus juga marah. Paulus berkata: “Aku telah mempertunangkan kamu dengan Kristus, sama seperti mempelai perempuan yang dijodohkan kepada mempelai laki-laki, sehingga seharusnya kamu setia.” Umat Allah seharusnya setia kepada Kristus sebagai mempelai laki-laki, dengan sepenuh hati mencintai Kristus. Jangan menjadi seperti ular yang menyelewengkan hati Hawa dari hati yang jujur menjadi hati yang berdosa. Tuhan marah karena orang Kristen tidak setia kepada Tuhan, maka kemarahan itu merupakan kemarahan yang bermutu, karena kemarahannya sesuai dengan kemarahan Tuhan Allah.

Kini mari kita terapkan prinsip kemarahan seperti ini ke dalam kehidupan kita masing-masing. Kita perlu menerapkan prinsip ini saat kita berelasi dengan sesama kita. Kita juga perlu menerapkan prinsip ini dalam berdagang, dan khususnya dalam kehidupan gerejawi, kehidupan pelayanan kita. Kita perlu belajar bagaimana marah yang suci, marah yang adil, marah yang benar, yang sesuai dengan emosi Allah.

Bangsa ini harus dididik bagaimana harus marah. Bukan marah karena diri terganggu, tetapi marah karena kebenaran dan kesucian. Mengapa kita tidak marah pada saat prinsip hukum diinjak-injak oleh orang-orang yang melawan hukum? Tetapi pada saat kita menjadi miskin, kita menjadi marah? Mengapa pada saat menikmati hasil korupsi atau melakukan kecurangan kita tidak marah, tetapi ketika kita susah, harga barang mahal dan kita dicurangi, kita marah-marah luar biasa? Itu karena bangsa ini belum dididik untuk mensinkronisasikan diri dengan kemarahan Tuhan yang suci, kemarahan Tuhan yang agung, dan kemarahan Tuhan yang adil. Kiranya Tuhan mendidik kita menjadi orang yang mengetahui dengan lebih baik bagaimana harus marah sesuai kebenaran Tuhan. Amin

Nama Buku        :  Pengudusan Emosi
Sub Judul           :  Sukacita Yang Kudus
Penulis                :  Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit              :  Momentum, 2011
Halaman           :  95 – 106

Artikel Terkait :