DGTBerdasarkan Pasal 32A UU PPh diatur bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak. Salah satu poin pada perjanjian Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara pemerintah Indonesia dengan  pemerintah negara mitra diatur mengenai Prosedur Persetujuan Bersama atau lazim disebut Mutual Agreement Procedure (MAP).

Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) yang selanjutnya disebut MAP adalah prosedur administratif yang diatur dalam P3B untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B hal ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 11 Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2011 tentang tata cara pelasanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.

Di awal bulan Desember ini, penulis mencoba menuangkan kembali semangat yang di atur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-48/PJ/2010 tentang tata cara pelaksanaan prosedur persetujuan bersama (Mutual Agreement Procedure) berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda. Dengan judul tulisan kali ini “ Sekilas Tentang Prosedur Persetujuan Bersama”, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum :

  1. Pasal 32A UU Pajak Penghasilan “Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan Pemerintah negara lain dalam angka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.”
  2. Pasal tentang Mutual Agreement Procedure yang umumnya terdapat dalam pasal 25 P3B;
  3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-48/PJ/2010 tanggal 03 November 2010 tentang tata cara pelaksanaan prosedur persetujuan bersama (mutual agreement procedur) berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda.

Pendahuluan

Prosedur Persetujuan Bersama atau Mutual Agreement Procedure yang selanjutnya disebut MAP adalah prosedur administratif yang diatur dalam P3B untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B. Buah dari Prosedur Persetujuan Bersama disebut Persetujuan Bersama, Persetujuan Bersama atau Mutual Agreement adalah hasil yang telah disepakati oleh Pejabat yang  Berwenang dari Indonesia dan Negara Mitra P3B sehubungan dengan MAP yang telah dilaksanakan.

Prosedur administratif ini dilakukan oleh pejabat yang berwenang dari Indonesia dengan pejabat yang berwenang dari negara mitra P3B untuk menyelesaikan sengketa perpajakan yang timbul sehubungan dengan penerapan P3B. Saat ini, Indonesia telah melakukan Perjanjian Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda terhadap 60 negara yang berlaku efektif. 

Sebagai contoh sebagaimana kita ketahui bahwa Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia-Belgia ditandatangani di Brussels pada tanggal 13 November 1973 dan mulai berlaku 1 Januari 1975. Renegoisasi P3B Indonesia – Belgia ditandatangani di Jakarta pada tanggal 16 September 1997 dan mulai berlaku 1 Januari 2002. Sampai dengan saat ini pelaksanaan P3B Indonesia – Belgia berjalan baik dan tidak terdapat permasalahan yang berarti.

Hal yang sama terhadap negara Finlandia,  Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia – Finlandia ditandatangani di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 1987 dan mulai berlaku 1 Januari 1990. Sampai dengan saat ini pelaksanaan P3B Indonesia – Finlandia berjalan baik dan tidak terdapat permasalahan yang berarti.

Apabila terdapat suatu perubahan yang mengharuskan diadakannya perubahan dalam perjanjian P3B maka dapat dilakukan perubahan seperti P3B antara  Indonesia – Malaysia berikut ini :

P3B Indonesia-Malaysia ditandatangani di Kuala Lumpur pada tanggal 12 September 1991, diartifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1992 tanggal 26 Juni 1992 dan mulai berlaku efektif sejak 1 Januari 1993. Dalam perjalanannya, atas P3B dimaksud telah dilakukan renegosiasi pada tanggal 6-9 Desember 2004 di Jakarta dan menghasilkan protokol perubahan yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Republik Indonesia dan Menteri Luar Negeri Malaysia di Bukit Tinggi pada tanggal 12 Januari 2006. Butir- butir perubahan tersebut adalah sebagai berikut :

  • Menurunkan tarif withholding tax atas dividen dari 15% menjadi 10%;
  • Menurunkan tarif withholding tax atas bunga dari 15% menjadi 10%;
  • Menurunkan tarif withholding tax atas royalti dari 15% menjadi 10%;
  • Tarif 10% withholding tax atas dividen tidak berlaku bagi kontrak Production Sharing (KPS). Tarif Pajak atas dividen, bunga, dan royalti diturunkan dari 15% menjadi 10% mengingat ketentuan domestik Malaysia telah menurunkan tarif sebagaimana disebutkan diatas. Apabila tetap dipertahankan 15%, maka P3B menjadi tidak berarti lagi. Namun demikian, tarif 10% tersebut tidak berlaku bagi KPS untuk branch profit tax. Tarif branch profit tax pada KPS tetap mengikuti ketentuan yang tercantum dalam kontrak, yaitu 20%.
  • Mengecualikan wilayah Labuan (Malaysia) dari cakupan P3B. Labuan dikecualikan dari cakupan P3B karena wilayah ini memiliki tax regime yang berbeda dari wilayah Malaysia pada umumnya. Labuan merupakan offshore centre yang menawarkan berbagai tax incentives yang menyerupai apa yang ditawarkan oleh tax haven countries. Demi menjaga kepentingan nasional Indonesia serta mencegah treaty abuse termasuk treaty shoopping, maka wilayah Labuan dikeluarkan dari cakupan P3B indonesia-Malaysia.

Pemberlakuan protokol perubahan P3B Indonesia-Malaysia memerlukan pengesahan (ratifikasi) dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia. Protokol Perubahan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia yang ditandatangani di Kuala Lumpur, Malaysia pada tanggal 12 September 1991 telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Peraturan Presiden RI Nomor 30 Tahun 2010 tanggal 17 Mei 2010.

Penandatanganan Pertukaran Piagam Pengesahan Protokol Perubahan P3B antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia ini telah dilaksanakan pada tanggal 15 Juli 2010 di Putrajaya, Malaysia, yang berdasarkan Pasal 7 Protokol Perubahan P3B antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia saat berlaku (enter into force) adalah tanggal 15 Juli 2010 dan Protokol Perubahan P3B ini berlaku secara efektif pada atau setelah tanggal 1 September 2010. Penyampaian perubahan Protokol Perubahan P3B ini melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-86/PJ/2010 tanggal 11 Agustus 2010.

Pelaksanaan MAP

Mutual Agreement Procedure (MAP) dilaksanakan apabila terdapat hal-hal sebagai berikut :

  1. Permintaan yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia;
  2. Permintaan yang diajukan oleh Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B sehubungan dengan ketentuan non diskrimasi (non-discrimination) dalam P3B yang berlaku;
  3. Permintaan yang diajukan oleh Negara Mitra P3B; atau
  4. Hal yang dianggap perlu oleh dan atas inisiatif Direktur Jenderal Pajak.

Pelaksanaan MAP WPDN atau WNI yang menjadi WPDN Negara Mitra P3B

Dalam melakukan permintaan untuk melaksanakan MAP tetap harus memperhatikan ketentuan dalam P3B yang berlaku.

a. Permintaan yang diajukan WPDN Indonesia

Permintaan yang diajukan oleh WPDN Indonesia untuk melaksanakan MAP dilakukan antara lain dalam hal :

  • Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia dikenakan pajak atau akan dikenakan pajak karena melakukan praktik Transfer Pricing sehubungan adanya transaksi dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B yang mempunyai hubungan istimewa;
  • Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia menganggap bahwa tindakan Negara Mitra P3B mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B sehubungan dengan keberadaan atau penghasilan bentuk usaha tetap yang dimiliki oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia di Negara Mitra P3B;
  • Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia menganggap bahwa tindakan Negara Mitra P3B mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B sehubungan dengan pemotongan pajak di Negara Mitra P3B; atau
  • Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang juga merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B meminta pelaksanaan konsultasi dalam rangka MAP untuk menentukan status dirinya sebagai Wajib Pajak dalam negeri dari salah satu negara tersebut.

Permintaan untuk melaksanakan MAP disampaikan dengan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan menyampaikan informasi sekurang-kurangnya mengenai:

  • Nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat, dan jenis usaha Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang mengajukan permintaan;
  • Nama, Nomor Identitas Wajib Pajak, alamat, dan jenis usaha Wajib Pajak di Negara Mitra P3B yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak yang mengajukan permintaan, khusus dalam hal terkait dengan transaksi Transfer Pricing;
  • Tindakan yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B atau otoritas pajak Negara Mitra P3B, yang telah dianggap tidak sesuai dengan ketentuan P3B oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia;
  • Penjelasan apakah Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia telah mengajukan atau akan mengajukan permohonan pembetulan, keberatan, permohonan banding kepada badan peradilan pajak, atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), atau Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP, atas hal-hal yang dimintakan MAP;
  • Tahun Pajak sehubungan dengan permintaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia;
  • Penjelasan mengenai transaksi yang telah dilakukan koreksi oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B, yang meliputi substansi transaksi, nilai koreksi, dan dasar dilakukannya koreksi;
  • Pendapat Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia sehubungan dengan koreksi yang telah dilakukan oleh otoritas Negara Mitra P3B Indonesia;
  • Pihak yang dapat dihubungi oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka tindak lanjut atas permintaan untuk melaksanakan MAP yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia;
  • Nama kantor pajak Negara Mitra P3B, jika memungkinkan nama unit vertikal kantor pajak Negara Mitra P3B yang terkait dalam hal diketahui oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang mengajukan permintaan MAP; dan
  • Ketentuan dalam P3B yang menurut Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia tidak diterapkan secara benar dan pendapat Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atas penerapan dari ketentuan P3B tersebut, apabila permintaan MAP berkaitan dengan penerapan ketentuan P3B yang tidak semestinya.

Permintaan wajib ditandatangani oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau wakilnya yang sah berdasarkan ketentuan Undang-Undang KUP, dan dalam hal ditandatangani oleh kuasa, wajib dilampiri surat kuasa khusus, dan harus dilampiri dengan dokumen-dokumen pendukung dan disampaikan dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam P3B yang berlaku, yang dihitung setelah Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia dikenakan atau akan dikenakan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B.

Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib meneliti kelengkapan permintaan dan melengkapi dengan dokumen-dokumen perpajakan yang terkait yang terdapat dalam administrasi Kantor Pelayanan Pajak, untuk selanjutnya diteruskan kepada Direktur Peraturan Perpajakan II paling lama dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak permintaan untuk melaksanakan MAP diterima lengkap.

Direktur Peraturan Perpajakan II atas nama Direktur Jenderal Pajak menolak permintaan untuk melaksanakan MAP, dalam hal :

  1. Permintaan disampaikan setelah melewati batas waktu penyampaian
  2. WPDN mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas permasalahan yang dimintakan MAP dan tidak mencabut permohonan keberatan dimaksud; atau
  3. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia mengajukan permohonan banding kepada badan peradilan  pajak atas permasalahan yang dimintakan MAP dan tidak mencabut permohonan Banding dimaksud;

paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kalender sejak permintaan untuk melaksanakan  MAP diterima dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak atau sejak diketahui Wajib Pajak yang bersangkutan mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak.

Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta penjelasan lebih lanjut kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia, termasuk meminta dokumen-dokumen pendukung dan informasi yang diperlukan,  Apabila permintaan dapat diproses lebih lanjut untuk dikonsultasikan dengan Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra P3B, Direktur Peraturan Perpajakan II mengirimkan permintaan MAP secara tertulis kepada Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra P3B.

b. Permintaan yang diajukan WNI yang telah menjadi WPDN Negara Mitra 

Permintaan yang diajukan oleh Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B sehubungan dengan ketentuan non diskrimasi (non-discrimination) dalam P3B yang berlaku, maka untuk melaksanakan MAP dilakukan dalam hal Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B dikenakan atau akan dikenakan pajak di Negara Mitra P3B yang lebih berat dibandingkan dengan yang dikenakan oleh Negara Mitra P3B kepada warganegaranya (kasus non diskriminasi berdasarkan ketentuan P3B yang berlaku).

Permintaan untuk melaksanakan MAP disampaikan dengan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Peraturan Perpajakan II dengan menyampaikan informasi sekurang-kurangnya mengenai :

  1. Nama, alamat, dan kegiatan usaha Warga Negara Indonesia yang mengajukan permintaan;
  2. Tindakan atau pengenaan pajak yang telah dilakukan oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B yang dianggap lebih berat dibandingkan dengan tindakan atau pengenaan pajak yang dilakukan oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B dimaksud kepada warga negaranya sendiri;
  3. Tahun Pajak sehubungan dengan permintaan yang dilakukan;
  4. Pihak yang dapat dihubungi oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka tindak lanjut atas permohonan yang telah disampaikan oleh yang bersangkutan; dan
  5. Nama kantor pajak Negara Mitra P3B, jika memungkinkan nama unit vertikal kantor pajak Negara Mitra P3B yang terkait dalam hal diketahui oleh yang bersangkutan.

Permintaan harus dilampiri dengan dokumen-dokumen pendukung dan disampaikan dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam P3B yang berlaku, yang dihitung setelah yang bersangkutan dikenakan atau akan dikenakan pajak yang tidak sesuai dengan  ketentuan dalam P3B. Direktur Peraturan Perpajakan II meneliti dan mempertimbangkan permintaan untuk melaksanakan MAP. Apabila permintaan dapat diproses lebih lanjut untuk dikonsultasikan dengan Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra P3B, Direktur Peraturan Perpajakan II mengirimkan permintaan secara tertulis untuk melaksanakan MAP kepada Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra

c. P3B. MAP & Pasal 16 (1),  Pasal 36 (1) Serta Keberatan dan Banding 

Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang mengajukan permintaan untuk melaksanakan MAP juga mengajukan permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan atau pembatalan sura ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) atau Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat memproses pengajuan permintaan MAP.

Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama sebelum dikeluarkannya keputusan atas permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, Persetujuan Bersama dimaksud dituangkan dalam keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak.

Dalam hal pelaksanaan MAP belum menghasilkan Persetujuan Bersama dan Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang bersangkutan mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak, Direktur Jenderal Pajak menghentikan pelaksanaan MAP dan memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak, paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kalender sejak diketahui Wajib Pajak yang bersangkutan mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak.

Pelaksanaan Permintaan MAP Dari Negara Mitra P3B 

Untuk melaksanakan MAP  atas permintaan yang diajukan oleh Negara Mitra P3B dilakukan antara lain dalam hal :

  1. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B;
  2. Terjadi koreksi Transfer Pricing di Indonesia atas Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
  3. Negara Mitra P3B meminta dilakukan Corresponding Adjustments sehubungan dengan koreksi Transfer Pricing yang dilakukan otoritas Pajak negara yang bersangkutan atas Wajib Pajak dalam negerinya yang melakukan transaksi hubungan istimewa dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia;
  4. Terjadi pemotongan pajak oleh Wajib Pajak di Indonesia sehubungan dengan penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B; atau
  5. Penentuan negara domisili dari Wajib Pajak yang mempunyai status sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia dan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B (Dual Residence).

Direktur Jenderal Pajak dapat menolak permintaan MAP yang diajukan oleh Negara Mitra P3B yang berkaitan dengan koreksi Transfer Pricing yang dilakukan oleh Negara Mitra P3B yang bersangkutan, dalam hal tidak terdapat ketentuan mengenai Corresponding Adjustments dalam P3B Indonesia yang berlaku.

Yang dimaksud dengan Corresponding Adjustments yaitu koreksi atau penyesuaian atas jumlah pajak yang terutang bagi Wajib Pajak suatu negara yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak negara mitra, yang dilakukan oleh otoritas pajak negara yang bersangkutan sehubungan dengan koreksi Transfer Pricing yang dilakukan oleh otoritas pajak negara mitra (primary adjustments), sehingga alokasi keuntungan pada dua negara atau yurisdiksi tersebut konsisten, dengan tujuan untuk menghilangkan pengenaan pajak berganda.

Yang dimaksud dengan Dual Residence adalah kondisi yang dihadapi oleh satu subjek pajak yang melakukan transaksi lintas negara atau yurisdiksi pada saat yang sama dianggap menjadi subjek pajak dalam negeri di masing- masing negara atau yurisdiksi berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku di masing-masing negara atau yurisdiksi dimaksud.

Apabila pokok permintaan MAP dari Negara Mitra P3B adalah pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak di Indonesia yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan P3B, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan secara tertulis kepada Wajib Pajak dimaksud mengenai permintaan MAP dari Negara Mitra P3B dan dapat meminta penjelasan mengenai dasar pemotongan atau pemungutan pajak, substansi transaksi, dan meminta dokumen yang diperlukan melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

Direktur Jenderal Pajak dapat menolak atau menghentikan pelaksanaan MAP dalam hal :

  1. Permintaan MAP disampaikan oleh Negara Mitra P3B setelah batas waktu pelaksanaan MAP sebagaimana ditetapkan dalam P3B;
  2. Pokok permohonan yang diajukan oleh Negara Mitra P3B tidak termasuk ke dalam ruang lingkup MAP sebagaimana diatur dalam P3B yang berlaku;
  3. Negara Mitra P3B membatalkan permintaan MAP;
  4. Permintaan melaksanakan MAP terkait dengan bentuk usaha tetap di Indonesia dan bentuk usaha tetap dimaksud mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak;
  5. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang terkait dengan permintaan MAP sehubungan dengan koreksi Transfer Pricing yang dilakukan oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B atas Wajib Pajak Dalam Negerinya, tidak mengajukan permohonan MAP;
  6. Wajib Pajak yang diterbitkan surat ketetapan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak yang menjadi fokus dari permintaan MAP tidak memberikan seluruh dokumen yang diperlukan;
  7. Direktorat Jenderal Pajak tidak mungkin untuk mengumpulkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk melaksanakan konsultasi dalam rangka MAP karena telah terlewatinya waktu yang lama setelah penerbitan surat ketetapan pajak di Indonesia; atau
  8. Terdapat indikasi kuat bahwa pelaksanaan konsultasi dalam rangka MAP tidak akan menghasilkan keputusan yang tepat.Dalam hal Direktur Jenderal Pajak dan Pejabat yang Berwenang dari Negara Mitra P3B bersepakat untuk menghentikan pelaksanaan MAP, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak terkait.

Pelasanaan MAP Atas Inisiatif Direktur Jenderal Pajak 

Direktur Jenderal Pajak dapat mengajukan permintaan untuk melaksanakan MAP tanpa berdasarkan permintaan dari Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau dari Negara Mitra P3B, untuk:

  • Meninjau ulang (me-review) Persetujuan Bersama yang telah disepakati sebelumnya karena terdapat indikasi ketidakbenaran informasi atau dokumen yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia maupun Negara Mitra P3B;
  • Meminta dilakukan Corresponding Adjustments atas koreksi Transfer Pricing yang dilakukan oleh  Direktorat Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia sehubungan dengan transaksi hubungan istimewa dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B;
  • Membuat penafsiran atas suatu ketentuan tertentu dalam P3B yang diperlukan dalam pelaksanaan P3B yang bersangkutan; ataud.melaksanakan hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka melaksanakan ketentuan P3B.

Pelaksanaan Konsultasi Dalam Rangka MAP

Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pertemuan konsultasi dengan Pejabat yang Berwenang dari Negara Mitra P3B untuk menindaklanjuti permintaan MAP yang dilakukan  oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B.

Sebelum dicapainya Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B mengenai isi rancangan Persetujuan Bersama untuk memperoleh konfirmasi bahwa yang bersangkutan dapat menerima isi rancangan Persetujuan Bersama.

Apabila Persetujuan Bersama mengakibatkan perubahan besarnya pajak yang terutang di Indonesia sebagaimana tercantum dalam surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Pembetulan, dan Surat Keputusan Pengurangan atau Surat Keputusan Pembatalan surat ketetapan pajak, maka Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan, pengurangan atau pembatalan atas surat ketetapan pajak atau surat keputusan dimaksud sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dan apabila permintaan untuk melaksanakan MAP terkait dengan koreksi Transfer Pricing, Direktur Jenderal Pajak dapat membentuk Tim Khusus yang mempunyai tugas menyiapkan posisi (position paper) Direktorat Jenderal Pajak, melakukan koordinasi serta supervisi atas unit-unit yang terkait dengan permintaan untuk melaksanakan MAP yang terkait dengan koreksi Transfer Pricing, dan menjadi anggota delegasi perunding dalam pelaksanaan pertemuan konsultasi dalam rangka MAP.

Tim Khusus terdiri dari perwakilan Direktorat Peraturan Perpajakan II, Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, dan unit pelaksana pemeriksaan yang terkait dengan koreksi Transfer Pricing yang akan dibahas dalam pelaksanaan pertemuan konsultasi dalam            rangka MAP. Tim Khusus dapat meminta data, informasi atau dokumen yang diperlukan terkait dengan koreksi Transfer Pricing kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang terkait dengan permintaan untuk melaksanakan MAP.

loading…