PRAKATA

Apakah sebenarnya martabat yang ada di dalam diri manusia itu, sehingga setelah perjuangan di dalam kebudayaan selama beribu-ribu tahun manusia masih terus berteriak tentang hak asasi manusia yang diinjak-injak di dalam dunia yang sedemikian modern dan tinggi teknologinya? Apakah yang menjadi sifat hakiki manusia itu, sehingga manusia selalu merasa kehilangan sesuatu – yang tidak hilang – pada saat manusia menderita? Dan bagaimanakah peranan iman pada saat manusia menderita dan kehilangan hak asasinya? Bukankah melalui iman kita sangka kita sudah menyerahkan semua kepada Tuhan, sehingga manusia yang beriman di dalam agama secara otomatis bisa terhindar dari penderitaan dan menikmati hak asasi manusia sepenuhnya? Mengapa fakta di sekitar kita berbicara lain?

Apakah kepada orang Kristen memang telah dijanjikan bahwa jika mereka beriman maka mereka akan hidup tanpa kesulitan, penderitaan, dan senantiasa hidup dalam kehormatan? Apakah penderitaan tetap akan tiba bahkan setelah kita beriman kepada Tuhan? Apakah ini kesalahan janji Alkitab, ataukah karena kesalahan kita dalam mengerti Kitab Suci? Apakah ini disebabkan kemampuan kita yang terbatas, ataukah pengertian kita akan Alkitab telah didistorsikan dari konsep yang sesungguhnya?

Melalui buku ini, marilah kita menggali kembali apakah sesungguhnya martabat manusia, apakah fungsi positif pengalaman penderitaan bagi pembentukan karakter manusia? Apakah semua penderitaan adalah akibat dosa, atau adakah sumber yang lain? Ketika kita menderita, di manakahTuhan berada? Apakah Dia tidur, ataukah Dia membiarkan kita mati-hidup, sesuai ajaran Deisme? Ataukah Ia turut berencana di dalam hal ini? Mungkinkah Tuhan yang baik merencanakan penderitaan bagi orang yang beriman kepada-Nya? Apakah inspirasi yang boleh kita dapatkan melalui kesengsaraan yang ditanggung Kristus sebagai manusia, di masa inkarnasi-Nya?

Biarlah kita beriman untuk mengalahkan penderitaan, bukan justru iman kita dilumpuhkan oleh penderitaan, karena Alkitab berkata, “Orang benar akan hidup oleh iman,” dan Alkitab berkata pula, “meskipun orang benar harus jatuh tujuh kali, ia akan bangkit kembali.” Bukan saja demikian, Pemazmur bahkan mengakui: “Sebelum aku menderita, aku tersesat, dan Tuhan, Engkau membiarkan aku mengalami penderitaan, itu baik bagiku.” Demikian pula Ayub mengaku: “Setelah aku mengalami ujian, aku pasti menjadi emas murni.” Apakah Saudara sudah menjadi emas murni, ataukah masih berupa pertambangan emas yang penuh dengan pasir yang menjengkelkan?

Kiranya Tuhan menyaring kita dan kiranya kita rela disaring oleh Tuhan yang mengasihi kita, sehingga kita boleh mencapai martabat manusia yang terhormat dan menikmati hak asasi manusia yang paling tinggi.

Surabaya, Agustus 1999.

Stephen Tong.

———————————————————————————————————-

BAB 1 :

MANUSIA DAN NILAINYA

“Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri.” (Kejadian 9:6)

“Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya: kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang; burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan. Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!” (Mazmur 8:4-10)

ALKITAB : DASAR HAK ASASI MANUSIA

Waktu saya di Amerika, saya sempat diajak untuk mengunjungi gedung Kongres. Di sana, orang biasa boleh masuk meskipun mereka sedang mengadakan rapat, karena di sana pemerintah adalah pelayan rakyat, sehingga rakyat berhak mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan. Karena saya adalah orang yang sangat tertarik dengan seni arsitektur, khususnya arsitektur yang agung, maka saya mulai memperhatikan bangunan gedung itu.

Saya melihat di atas tiang terukir nama-nama yang beberapa diantaranya saya tahu, seperti: Montesquieu, Voltare, dan Hammurabi. Tetapi yang paling menarik bagi saya adalah bahwa nama yang terukir di tempat yang paling penting adalah Musa. Jadi, kongres Amerika harus mengakui bahwa seluruh hukum negara didasarkan pada Sepuluh Hukum Taurat. Memang, Alkitablah yang menjadi jaminan hak asasi manusia yang paling mutlak, tuntas, dan sempurna. Selama ini saya sudah sangat menghargai firman Tuhan, tetapi pada hari itu saya menjadi lebih lagi menghargai firman yang Tuhan berikan ini. Di dalam Alkitab, semua hak asasi manusia dan unsur-unsurnya yang paling penting telah dicantumkan.

Di dalam pasal-pasal deklarasi Hak Asasi Manusia dikatakan bahwa manusia berhak hidup, mendapatkan pekerjaan sesuai dengan bakatnya, dan mempelajari apa yang ia inginkan. Semua orang mempunyai hak untuk belajar, bekerja, menikah, beribadah, mempunyai harta, beragama, berpolitik, mengutarakan pendapat tanpa rasa takut, dan hak untuk berunjuk rasa. Dan semua pasal-pasal deklarasi Hak Asasi Manusia ini sebenarnya tetap didasarkan pada Alkitab. Saya akan mengambil sebuah contoh.

Dari manakah kita dapat menemukan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk memiliki sesuatu di mana negara harus menjamin hak itu, dan orang lain tidak boleh begitu saja mengambil milik orang lain? Ini berasal dari hukum ke-10 dalam Sepuluh Hukum Taurat, yang berbunyi: “Jangan mengingini rumah sesamamu, jangan mengingini istrinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya, atau keledainya, atau apa pun yang dipunyai sesamamu.” (Keluaran 20:17).

Jadi, atas dasar apakah seseorang gembar-gembor mengenai hak asasi manusia, hingga menjadi pasal-pasal penting dalam konstitusi PBB? Jika kita tidak mau kembali kepada Alkitab, kita tidak mungkin menemukan jawabannya. Mengapa? Karena tidak mungkin manusia dapat menemukan jawaban melalui dirinya sendiri. Tidak mungkin kita dapat menemukan segala solusi di dalam keterbatasan manusia. Oleh sebab itu, kita memerlukan suatu sistem terbuka yang membawa kita kepada Sang Pencipta, sehingga dari sanalah kita menemukan mengapa manusia dicipta sedemikian rupa. Dari sana pulalah kita baru tahu bagaimana kita dapat menemukan kehormatan dan kemuliaan yang dijanjikan Tuhan itu sebagai mahkota.

SIAPAKAH MANUSIA ?

Mazmur 8 telah memberi tahu kita di mana kedudukan manusia dan berapa nilai yang ada pada manusia itu. Di dalam Mazmur 8 kita melihat bagaimana manusia yang mempunyai kesadaran sedang melihat sekitarnya, melintasi diri, dan menuju pada alam semesta. Sehingga akhirnya, ia berkata langsung kepada yang melampaui alam semesta itu, yaitu langsung berbicara kepada Tuhan.

Waktu ia menengadah ke atas, melihat bintang dan bulan yang telah Tuhan tempatkan, ia berpikir tentang siapakah sebenarnya manusia, apakah artinya anak manusia. Kalau dibandingkan dengan dunia makro yang begitu besar, maka manusia sedemikian kecil dan hina, tetapi mengapa Tuhan masih mengingatnya? Ia sadar bahwa Tuhanlah yang telah menciptakan manusia dengan kehormatan dan kemuliaan sebagai mahkotanya. Tuhan juga memberikan mandat kepada manusia untuk memerintah segala sesuatu yang diletakkan di bawah kakinya.

Di sepanjang sejarah, tidak ada satu tempat pun yang pernah melukiskan status manusia di alam semesta sejelas ayat yang telah kita baca tadi. Manusia bukan menjadi tuan atau penguasa yang mutlak dan berotonomi atas alam semesta, tetapi ia hanya menerima mandat saja. Oleh sebab itu, di sini kita melihat bahwa di atas manusia adalah Allah, tetapi di bawah manusia adalah alam. Manusia dicipta di tengah-tengah Allah dan alam.

Pada waktu sang Pemazmur mengatakan, “Jika aku melihat langit-Mu,” maka pada saat itu ia sebenarnya sedang menengadah ke atas. Akan tetapi semua yang ia lihat yang walaupun berada di atasnya dan yang amat besar itu, ternyata justru bukan berada di atas manusia tetapi berada di bawah otoritasnya. Manusia menguasai burung di langit, menguasai binatang melata di bumi, dan menguasai ikan-ikan di laut. Semua yang berada di atas dan di bawah manusia, sama-sama berada di bawah otoritas manusia.

Di sini kita melihat adanya sebuah pengertian yang jelas tentang kedudukan manusia. Walaupun alam semesta begitu besar dan seluruh galaksi bahkan hampir tidak terbatas, sehingga manusia tampak begitu kecil jika diukur dengan skala, tetapi semua itu dicipta untuk kita – manusia – bukannya kita yang dicipta untuk semesta itu. Allah adalah satu-satunya yang berada di atas manusia, sedangkan alam berada di bawah manusia.

Di sini bahasa Indonesia indah sekali. Pada waktu kita berkata “Allah” maka mulut kita harus terbuka, sementara jika kita berkata “alam” maka kita menemukan satu sistem tertutup, tetapi saat kita menuju kepada “Allah” maka kita akan menunjukkan satu sistem yang terbuka.

Mengapa modernisme sekarang digeser oleh post-modernisme? Mengapa ia tidak lagi merajalela di dunia epistemologi, tidak lagi menjadi arus utama di dalam filsafat, dan tidak lagi diterima oleh kaum intelektual yang hidup di penghujung abad ke dua-puluh ini? Karena mereka yang menganut modernisme menjepit diri di dalam sistem yang tertutup yang tidak mempunyhai jawaban. Kekristenan dari permulaan, baik di dalam Alkitab maupun di dalam Pengakuan Iman Rasuli, sudah menempatkan sistem terbuka sebagai suatu pangkalan iman kepercayaan. “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.” (Kejadian 1:1). Kalimat pertama di dalam Alkitab mengajar kita bahwa kita tidak boleh hidup sebagai manusia yang tertutup di dalam suatu sistem tertutup. Kita harus terbuka dan mengetahui bahwa alam semesta ini tidak berasal dari dirinya sendiri, tetapi diciptakan oleh Sang Pencipta.

Iman menerobos kekekalan yang ada di dalam diri Allah sendiri. Oleh sebab itu modernisme harus digugurkan karena mereka berada di dalam satu sistem tertutup yang memutlakkan ciptaan, memutlakkan rasio yang dicipta, dan memutlakkan manusia yang dicipta, sehingga berusaha mewakili Allah, Sang Pencipta. Itu tidak mungkin. Dalam Mazmur 8, Pemazmur dengan jelas berkata bahwa Allahlah yang menciptakan alam semesta. Lalu, mengapa Tuhan masih mengingat manusia yang begitu kecil? Pasti ada suatu rahasia yang menjadi dasar di mana manusia tanpa henti-hentinya berbicara tentang hak azasi manusia.

Jika manusia dicipta di bawah Allah dan di atas alam, maka adakah manusia yang berada di atas atau di bawah manusia lain? Tidak! Semua manusia adalah sama, tidak peduli apakah ia kaya atau miskin, ia berkulit putih atau berkulit hitam, berkedudukan tinggi atau berkedudukan rendah, berpendidikan atau tidak, berpengalaman atau tidak. Di hadapan Tuhan, semua manusia bernilai sama. Karena manusia bernilai sama, maka timbullah suatu kemungkinan untuk memperjuangkan hak asasi manusia.

NILAI SEORANG MANUSIA

Hak asasi manusia memang diberikan oleh Tuhan, tetapi hak asasi itu justru telah dipermainkan oleh manusia. Oleh sebab itulah, pada saat Tuhan melihat bagaimana manusia diganggu oleh manusia lain hingga titik yang melampaui batas, maka pada saat itu akan ada dalil yang mengatur seluruh masyarakat, dan dalil itu adalah apa yang telah kita baca di atas, “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri.” (Kejadian 9:6). Di sini kita melihat adanya peringatan dan sekaligus prinsip hukum yang ditetapkan oleh Tuhan untuk segala zaman.

Kejadian 9:6 merupakan satu-satunya tempat di seluruh Perjanjian Lama yang langsung memberikan penilaian tentang apakah itu manusia. Kalau dikatakan bahwa pada hari ini US #1.00 = Rp. 10.000,- dan besok US $1.00 = Rp. 9.900,- maka nilai kurs itu ditetapkan melalui berbagai situasi dan ukuran ekonomi manusia. Tetapi bagaimanakah kita dapat menetapkan ukuran manusia? Bagaimanakah kita dapat menilai nilai yang dimiliki oleh manusia? Penilaian tentang nilai manusia tidak boileh ditetapkan oleh manusia, karena itu berarti manusia menetapkan harga bagi dirinya sendiri.

Untuk dapat mengetahui nilainya, manusia harus kembali kepada Penciptanya. Kejadian 9:6 mengatakan, “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri.” Dengan ini kita melihat bahwa manusia = manusia; harga manusia sama sengan manusia. Kalau ada satu orang menumpahkan darah orang lain, maka biarlah orang itu sendiri ditumpahkan darahnya, karena yang ia tumpahkan darahnya adalah manusia yang bernilai sama dengannya. Waktu kita membaca Alkitab, kita tidak berpikir sedemikian dalam. Kita hanya tahu bahwa yang menumpahkan darah, harus ditumpahkan darahn ya. Tetapi yang dipikirkan di sini bukanlah kasus per kasus. Yang dipikirkan adalah penilaian dari nilai manusia, yaitu bahwa manusia mempunyai nilai yang tidak dapat diganti dengan uang. Tidak bisa kita membunuh seseorang dan kemudian menyelesaikannya dengan membayarkan sejumlah uang sebagai ganti rugi, karena hidup manusia tidak sama dengan uang.

Kita tidak boleh menumpahkan darah manusia karena ia bernilai tinggi. Mengapa manusia dapat bernilai begitu tinggi? Karena ia adalah peta dan teladan Allah. Di sini kita melihat bahwa sistem terbuka dapat membawa kjita untuk menuju kepada sesuatu dasar, yaitu peta dan teladan Allah. Itu berarti Allahlah induk nilai kita. Kalau Allah adalah induk nilai kita, maka kita yang diciptakan menurut peta dan teladan-Nya, merupakan wujud kemuliaan Allah di dalam dunia ciptaan. Oleh sebab itu, kita harus menghargai orang lain seperti kita menghargai diri kita sendiri. Kita harus mencintai orang lain seperti mencintai diri kita sendiri. Ini semua menjadi pusat pengajaran Kekristenan yang menegakkan suatu fondasi di mana di atasnya masyarakat mungkin mencapai suatu keadilan.

Sampai tahun 1778, pada waktu Amerika Serikat merdeka, baru mereka menggembar-gemborkan slogan: manusia diciptakan sama rata. Pasal pertama Hak Asasi Manusia di PBB berbunyi: semua orang mempunyai hak yang sama di dalam keharmonisan dan hak hidup. Oleh sebab itu, kita memperlakukan sesama kita dengan melihat mereka sebagai saudara kita sendiri, tidak peduli ia berasal dari ras atau suku mana. Kalau ia adalah manusia, maka ia harus diperlakukan seperti saudara, sehingga persaudaraan seluruh umat manusia menjadi mungkin. Tetapi pasal-pasal Hak Asasi Manusia tidak pernah menyinggung hal ini secara lebih jelas dibandingkan dengan Alkitab. Mereka tidak memberi tahu alasan mengapa manusia bernilai begitu tinggi. Sebaliknya Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa alasan mengapa manusia bernilai begitu tinggi adalah karena ia diciptakan seturut peta dan teladan Allah.

Jadi Alkitab membawa kita kepada sebuah kesimpulan: kita hanya dapat membicarakan manusia jika kita berbicara dari sudut manusia diciptakan menurut peta dan teladan Allah, di dalam sebuah buku tersendiri, sehingga saya tidak akan mengulangi lagi di sini. [Baca: Peta Dan Teladan Allah, di halaman Sola Scriptura 2 ini]. Tetapi saya ingin menekankan bahwa hak asasi manusia harus dimengerti berdasarkan Kejadian 9:6. Hanya dengan pengertian “hidup yang berhak mengganti hidup” menandakan bahwa nilai manusia tidak dapat diukur atau dievaluasi dengan hal-hal di luar diri manusia. Nilai manusia sama dengan nilai manusia, dan manusia adalah peta dan teladan Allah atau gambar dan rupa Allah. Di sinilah terletak hak asasi manusia.

Karena hak asasi manusia setiap pribadi harus dihargai, maka hak asasi bagi masyarakat secara keseluruhan memungkinkan munculnya demokrasi. Mengenai demokrasi akan dibicarakan lebih jauh di bab berikut. Tetapi pertama-tama kita perlu menyadari bahwa demokrasi berdiri di atas (di dasarkan pada) hak asasi manusia, hak asasi manusia berdiri di atas wahyu Tuhan, dan wahyu Tuhan tentang hak asasi manusia berdiri di atas fakta bahwa manusia adalah peta dan teladan Allah. Dengan pengertian ini, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa di luar Tuhan, kita tidak mungkin membicarakan hak asasi manusia dengan tuntas.

HAK ASASI MANUSIA DAN TANGGUNG JAWABNYA

Jika kita berbicara tentang hak asasi manusia, maka kita jangan hanya membicarakan tentang hak. Kalau kita hanya membicarakan hak tanpa menyinggung tentang kewajiban, maka yang diperebutkan dan diperdebatkan setiap hari justru akan menjadi sesuatu yang menghantui, sehingga kita tidak mungkin dapat mencapai keharmonisan.

Oleh sebab itu, semua hak yang dipergunakan harus dimengerti sebagai hak yang dimandatkan oleh Tuhan dan yang harus dipertanggung-jawabkan kembali kepada-Nya. Artinya, jikalau Tuhan menciptakan kita seturut peta dan teladan-Nya, maka Ia mau kita memancarkan kemuliaan dan kehormatan-Nya. Jikalau Tuhan memberikan kebebasan kepada kita, karena Ia adalah Yang Berdaulat, maka kebebasan itu harus dipergunakan sebaik mungkin, karena penggunaan kebebasan itu harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan di hari penghakiman yang terakhir. Ini merupakan hal yang tidak banyak disinggung oleh orang-orang dunia yang membicarakan hak asasi manusia.

Dengan demikian, hak harus dibicarakan bersamaan dengan tanggung jawab. Karena segala sesuatu, termasuk keberadaan kita bukan berasal dari diri kita sendiri. Manusia dicipta oleh Tuhan dan dimahkotai-Nya dengan kemuliaan dan kehormatan. Manusia diberi mandat untuk menguasai segala sesuatu yang dicipta, dan diutus untuk memerintah segala makhluk yang dicipta oleh Tuhan. Baik dicipta, dimahkotai, maupun diberi mandat, semua itu merupakan bentuk pasif, sehingga kita harus melihat sumber kita, tujuan-Nya, dan tuntutan dari mandat yang diberikan kepada kita. Baru di situlah kita membentuk hak asasi manusia.

Saya adalah manusia, yang diciptakan oleh Allah seturut peta dan teladan-Nya, dan bukan hasil evolusi. Kalau demikian, apakah tujuan saya memiliki peta dan teladan itu? Apakah tujuan saya memiliki kemuliaan dan kehormatan? Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengerti nilai, Lalu, mungkinkah makhluk yang mengerti nilai itu ternyata tidak bernilai? Makhluk yang mengerti nilai pastilah memiliki nilai yang amat tinggi. Bahkan melalui nilai yang dimilikinya, ia dapat mempunyai konsep untuk menilai segala sesuatu yang berada di luar dirinya. Kalau manusia mempunyai konsep kemuliaan, maka bukankah manusia mempunyai kemuliaan pada dirinya sendiri? Tetapi, kemuliaan itu sebenarnya diberikan oleh Tuhan agar manusia pada akhirnya memuliakan Tuhan.

Karena itu semua yang dimandatkan oleh Tuhan, semua yang dikaruniakan kepada kita, menjadikan kita orang yang harus bertanggung jawab. Jika seseorang hendak berbicara tentang hak asasi manusia, tetapi tidak mengerti statusnya sebagai yang dicipta dan diberi mandat yang harus ia pertanggung jawabkan di hadapan Tuhan, ia justru akan mendatangkan celaka pada dirinya sendiri. Semakin ia berbicara tentang hak, semakin ia merusak dirinya sendiri.

Inilah yang terjadi di era reformasi dan demokrasi di Indonesia. Semua orang membicarakan hak dan kalau hak itu diperebutklan oleh mereka yang tidak mengerti seluruh struktur pembentukan Tuhan, di situ akan terjadi suatu pertarungan yang lebih kejam daripada binatang. Oleh sebab itu, kita harus membicarakan hak asasi manusia dari sudut pandang theologis, karena wahyu Tuhan memberikan pengertian sehingga kita berkait dengan sumber hak asasi manusia itu.

Karena itu, ketika kita membicarakan hak asasi manusia, saya pribadi hanya lebih hormat kepada mahasiswa saja dan tidak pada yang lain. Mengapa? Karena kemarahan mahasiswa selalu mencerminkan kemarahan Allah. Mengapa? Karena orang yang sudah menikah, yang mempunyai harta banyak, dan sudah mempunyai anak, selalu tidak berani berbicara terlalu terbuka. Mereka ingat akan keamanan keluarganya. Mahasiswa bukan orang bodoh, karena mereka sudah mulai menjelajah ke dalam dunia internasional, dan sudah mulai terbuka pikirannya kepada dunia global, tetapi mereka belum mempunyai keluarga dan belum mempunyai usaha, sehingga mereka dapat bersikap nothing to lose. Kalau ia menyerukan sesuatu, ia langsung berbicara dari hati nuraninya.

Saya kira tidak banyak orang yang memperhatikan hal ini. Begitu banyak revolusi yang benar-benar bernilai, dicetuskan mulai dari mahasiswa. Sehingga setiapkali mahasiswa marah, dan kemarahan mereka itu untuk sesuatu yang sungguh-sungguh berarti, maka saya akan memperhatikannya untuk melihat sampai di mana Tuhan memimpin mereka. Kalau mahasiswa sudah berdarah, maka hati nurani masyarakat akan mulai terluka. Saya berkata kepada Christianto Wibisono, “Jangan lupa, kemarahan mahasiswa mencerminkan kemarahan Tuhan, karena mereka masih murni dan motivasi mereka masih bersih.”

Hampir tidak ada pemerintah diktator yang menindas mahasiswa yang berakhir sukses. Sejarah membuktikan bahwa mereka hanya mencapai kesuksesan sementara, tetapi akhirnya juga akan kandas, karena kemarahan manusia sanggup menyempurnakan kemuliaan Tuhan, tetapi kemarahan yang berlebihan akan dihentikan oleh-Nya. Ini terdapat di dalam Mazmur 76:11, “Sesungguhnya panas hati manusia akan menjadi syukur bagi-Mu, dan sisa panas hati itu akan Kaupertanggung-jawabkan.” Terjemahan Indonesia kurang begitu jelas. Terjemahan lain berbunyi: “Sesungguhnya kemarahan manusia akan menggenapi kemuliaan-Mu, tetapi sisa-sisa dari kemarahan yang berlebihan akan Kauhentikan.”

Pada waktu mahasiswa marah, mereka melihat ketidak-adilan dan penindasan terhadap hak asasi manusia, maka Tuhan melihat itu dan Tuhan memakai kemarahan mereka itu. Tetapi jika mahasiswa itu tidak mau belajar, dan hanya bisa marah, apalagi jika mereka menjadi sombong akibat kesuksesan mereka, maka pada saat mereka bergerak untuk merebut hak asasi manusia, selalu ada pihak-pihak yang akan menunggangi mereka. Sejarah merupakan guru yang amat baik. Orang-orang yang berambisi jahat akan menunggu kesempatan untuk dapat memakai kemarahan mahasiswa, dan setelah mereka berhasil mewujudkan ambisi mereka, mereka kemudian akan membuang para mahasiswa.

Para mahasiswa di Tiananmen tidak menyadari bahwa apa yang mereka kerjakan sebenarnya sudah pernah dikerjakan oleh Deng Xiao Ping sendiri. Jangan kira Deng Xioa Ping tidak mengeri apa yang sedang dikerjakan oleh para mahasiswa itu, karena ia dulu juga adalah anak muda dan pernah terlibat di dalam gejolak politik seperti ini. Apa yang mahasiswa ketahui sudah ia ketahui, tetapi apa yang Deng Xiao Ping ketahui belum diketahui oleh para mahasiswa itu. Ini merupakan hal yang harus diperhatikan.

Saya akan mengakhiri bab ini dengan beberapa kalimat berikut: “Dunia ini memerlukan hak asasi manusia. Tetapi orang Kristen jangan hanya menuntut hak, tetapi harus mengaitkan hak dengan tanggung jawab. Jika kita mau hak, maka kita harus bertanya apakah kita sudah menjalankan tanggung jawab kita sebagai manusia. Kedua, kita harus mengaitkan hak dan kewajiban dengan perasaan takut kepada Tuhan, karena segala sesuatu yang Tuhan berikan sebagai hak kita adalah sesuatu yang harus kita perhitungkan di hadapan Tuhan. Perasaan takut kepada Tuhan, merupakan pangkal dari hak asasi manusia dan merupakan jaminan supaya moral kita jangan sampai terbawa arus yang tidak beres.”

Amin.
SUMBER :
Nama buku : Iman, Penderitaan Dan Hak Azasi Manusia
Sub Judul : Prakata – Bab 1 : Manusia Dan Nilainya
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : Momentum, 2013
Halaman : 3 – 16