BAB 3 :
PENDERITAAN : MEMBANGUN ATAU MENJATUHKAN

PENDERITAAN AKIBAT DOSA

Ketika seseorang menderita, pertanyaan pertama yang keluar dari mulutnya adalah: “Mengapa saya? Mengapa harus saya? Mengapa saya yang mengalami penderitaan ini?” Perasaan tersendiri, perasaan tidak seharusnya dia yang mengalami, perasaan kehilangan sesuatu, dan perasaan disiksa, semua itu menjadi rangsangan kesadaran eksistensi setiap pribadi.

Pada waktu kita menderita, sengsara, dan tidak dimengerti oleh orang lain, kita akan bertanya: “Mengapa saya yang kena?” Dan pertanyaan kedua: “Dimana Tuhan ketika saya menderita?” Berbagai pertanyaan ini akan menjadi suatu deretan yang tidak kunjung habis, sehingga akibatnya kita menjadi semakin tersendiri. Kita akan merasa diri benar dan tidak ada kebenaran di dalam diri Allah, mulai menuduh Allah dan bahkan mungkin berani meragukan keberadaan Allah.

Perubahan yang mengakibatkan kita semakin tersendiri, memutlakkan diri, menjauhkan diri dari Allah, dan menganggap Allah tidak ada, adalah salah satu cara Iblis yang paling ampuh untuk merusak kerohanian manusia. Ingatlah, ketika kita berbuat dosa, kita tidak pernah diberi pengertian tentang apa kaitan antara perbuatan dosa dan penderitaan. Ingatlah, ketika kita memakai kebebasan secara sewenang-wenang, kita tidak pernah disadarkan untuk mempersiapkan jiwa kita menuju hukuman yang akan tiba.

Ketika kita berbuat dosa, kita selalu mempunyai kemauan untuk merangkul semua orang, dan mau menghibur diri dengan berkata bahwa karena semua berdosa maka tidak apa-apa jika saya berdosa. Tetapi setelah kita berdosa dan mendapatkan kesengsaraan serta penderitaan, kita langsung merasa diri begitu tersendiri. Sewaktu berdosa, kita merasa bersama-sama dengan mayoritas. Tetapi, ketika menderita, kita merasa begitu tersendiri. Ini merupakan dualisme yang diciptakan oleh Iblis untuk mengacaukan kesadaran kerohanian manusia.

Mengapa ketika berbuat dosa kita tidak merasa apa-apa? Sebab kita merasa bahwa kita hanyalah salah satu di antara begitu banyak orang yang melakukan dosa yang sama. Jika demikian, mengapa ketika menderita kita langsung merasa paling tersendiri? Pada waktu kita memakai kebebasan untuk berbuat dosa, kita tidak pernah sadar bahwa kita sebenarnya sedang membuang hak asasi manusia untuk menjalankan kebenaran, tetapi pada saat menderita, kita merasa hak asasi manusia kita sedang direbut.

Ketidak-seimbangan di atas merupakan hal-hal yang tidak pernah dipelajari oleh psikologi sekuler. Dibandingkan dengan kedalaman firman Tuhan, psikologi sesungguhnya begitu dangkal. Semua psikologi sekuler yang mempelajari sifat manusia dan gejala-gejala kerohanian, khususnya yang berkenaan dengan sebelum dan sesudah penderitaan tiba, tidak pernah mengaitkannya dengan perbuatan dosa, yang sesungguhnya adalah sama dengan membuang hak asasi manusia untuk menjalankan kebenaran. Bagian ini amatlah penting.

Di dalam eksistensi manusia ada suatu sifat relativitas di mana manusia harus mempunyai proses selalu berhubungan dengan Tuhan Allah, oleh karena Dia adalah Sang Pencipta dan kita hanyalah yang dicipta. Kita tidak mungkin berada secara mutlak di dalam diri kita sendiri karena Alkitab mengatakan dengan jelas bahwa keberadaan hidup dan mati kita berada ditanganh-Nya. Ibrani 4:13 mengatakan bahwa tidak ada satu makhluk pun yang tidak mempunyai relevansi dengan Allah: “Dan tidak ada suatu makhluk pun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab.” Itu sebabnya orang yang berusaha menjadi atheis, tidak akan pernah berhasil. Walaupun teori telah menyusun ideologi secara lengkap, hati nurani akan melawan teori itu sendiri.

Allah tidak menjadi tidak ada hanya karena manusia pintar berbicara untuk membuktikan bahwa Allah tidak ada. Keberadaan Allah tidak diakibatkan oleh diskusi kita, tetapi merupakan penyebab kita bisa berdiskusi tentang ada tidaknya Allah. Keberadaan Allah bukan merupakan hasil argumentasi kita, tetapi merupakan dorongan kita berargumentasi, baik tentang Ia ada atau tidak ada. Maka, atheisme, theoisme, maupun semua orang yang mengatakan suatu teori, sebenarnya sedang menggarap suatu fakta bahwa karena Allah ada, maka kita memikirkan apakah ia ada atau tidak.

Tetapi pada waktu manusia menderita, manusia langsung berteriak: “Di manakah Allah? Jika Allah ada, maka Ia harus memperhatikan saya sekarang juga. Jika Allah ada dan Ia tidak memperhatikan saya, maka saya tidak percaya bahwa Dia ada” Kesimpulan sedemikian terlalu menyederhanakan semua diskusi atau argumentasi. Terlalu menyederhanakan, jika seseorang berani menyimpulkan bahwa Allah tidak ada, hanya karena Allah tidak melayani dia saat ia menderita, atau hanya didasarkan pada presuposisi yang salah bahwa kalau Allah ada, maka Ia tidak seharusnya ditimpa oleh kesengsaraan.

Apakah saat seseorang yang berbuat dosa dihukum, ia rela menerima hukuman itu seperti halnya ketika ia rela berbuat dosa? Tidak! Pada saat berdosa, ia akan dengan rela dan penuh sukacita mengorbankan kebebasannya dengan sewenang-wenang. Tetapi ketika ia sudah seharusnya menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatan dosa yang telah dia perbuat, ia selalu tidak rela. Ini adalah akibat kejatuhan kehendak manusia.

Kerelaan kita didalam perbuatan dosa selalu aktif, sementara kerelaan kita untuk menerima hukuman bersifat pasif. Itu sebabnya, kita mempertanyakan keberadaan Allah. Ketidakmauan kita menerima hukuman dan keadilan merupakan bukti bahwa kita telah jatuh ke dalam dosa dan telah berada didalam pengaruh total depravity.

[Total depravity adalah butir pertama dari “Lima Pokok Calvinisme” yang berarti: kerusakan total. Prinsip ini menyatakan bahwa seturut Alkitab, manusia sudah rusak total ketika jatuh ke dalam dosa. Akibatnya, baik rasio, emosi maupun kehendaknya, tidak dapat berfungsi secara normal lagi, yaitu memuliakan Allah, melainkan telah menjadi budak dosa.]

Rasio kita sudah dicemarkan, emosi kita sudah dikotorkan, dan kemauan kita sudah dibengkokkan. Kebengkokan kemauan mengakibatkan kita berusaha memvonis dan mengambil keputusan bahwa Allah tidak ada. Itu justru membuktikan bahwa Allah ada dan sedang melihat betapa rusaknya manusia di hadapan-Nya. Ini merupakan hal yang amat penting dan merupakan pergumulkan pribadi saya sendiri.

PENDERITAAN : BUKAN AKIBAT DOSA

Sekarang saya mau bertanya: “Apakah semua penderitaan merupakan hasil hukuman yang setimpal dengan perbuatan dosa?” Jawabannya: Tidak! Justru karena jawabannya adalah tidak, maka kita menjadi lebih meragukan keberadaan Tuhan di dalam penderitaan. Kalau saya tidak berdosa, apakah itu berarti saya mungkin menghindarkan diri dari penderitaan? Tidak! Itu berarti yang berdosa mungkin diberikan hukuman, yang tidak berdosa pun mungkin menderita.

Dari manakah kesimpulan di atas? Ini merupakan wahyu dari semua topik yang diberikan kepada kita di dalam Kitab Ayub. Dalam Kitab Ayub, kita melihat adanya konsensus orang berdosa yang melalui analisis rasio yang telah jatuh dan dicemarkan oleh dosa, menyimpulkan bahwa penderitaan dan hukuman merupakan akibat dosa manusia. Ayub berusaha berontak melawan teori itu. Ayub bersikeras bahwa ia tidak berbuat kesalahan yang menyebabkan dia layak untuk menerima segala penderitaan itu.

Pada waktu menderita dan sengsara, Ayub tidak jatuh menjadi seorang atheis. Ia tidak memakai mulutnya untuk meniadakan keberadaan Tuhan di dalam pengakuannya. Justru ia memuji Tuhan di dalam kesulitannya. Dan dalam kesulitan ia tetap menganggap bahwa ia adalah orang yang tidak mengeri tetapi walaupun tidak mengerti, ia tahu Tuhan adalah Tuhan yang tidak mungkin tidak baik kepada dirinya. Ia tidak mengerti mengapa ia diberi kesusahan, tetapi ia mengerti bahwa kalau Tuhan memberikan kesusahan, maka pasti Tuhan mempunyai suatu pengertian yang benar yang tidak ia ketahui.

Jadi, iman seseorang yang taat kepada Tuhan, seperti Ayub, tidak diganggu oleh penderitaan. Pada waktu ia mengalami pergumulan, maka yang keluar dari mulutnya adalah: “Di manakah aku boleh menemukan Tuhan?” Ia tidak berkata bahwa Allah tidak ada, tetapi hanya berseru bahwa ia ingin bertemu dengan Tuhan untuk memaparkan semua pikiran dan argumennya, agar Tuhan menyatakan keadilan-Nya karena ia menderita, padahal tidak bersalah.

Tiga orang teman Ayub menjawab dengan perkataan yang senada satu sama lain: “Itu tidak mungkin! Kamu pasti berdosa dan oleh sebab itu kamu sekarang menderita. Kamu menderita karena kamu berdosa. Allah itu adil, maka Allah tidak mungkin memberikan penderitaan kepada orang yang tidak berdosa.” Ayub bersikeras dan tetap menjawab: “Tidak!” Satu orang berani melawan tiga orang. Ayub tidak mau berbicara dengan ketiga temannya, tetapi ia berharap dapat berbicara dengan Tuhan dan memaparkan semua alasannya. “Aku mau bertemu dengan-Nya, aku mau memaparkan semua alasanku dan biarlah Allah menyatakan keadilan-Nya dengan mengadili aku.”

Ayub berdebat dengan ketiga orang temannya. Ketiga orang itu melihat penderitaan tetapi tidak mengalami, lalu mencoba untuk menghibur dengan teori yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Teori mereka ditunjang oleh suara mayoritas, oleh demokrasi. Semua orang setuju dengan ketiga orang ini karena mereka mewakili demokrasi, tetapi mereka ternyata tidak benar. Di lain pihak, Ayub mewakili satu suara yang berbeda. Itulah tema kitab Ayub, yaitu mengapa orang baik dapat menderita.

Mereka akhirnya terus berdebat. Di tengah-tengah perdebatan itu Tuhan mendengar. Ia bahkan turut memberikan inspirasi untuk wahyu itu dicatat menjadi Kitab Ayub. Tetapi Tuhan tetap diam. Jadi, selain pertanyaan di manakah Tuhan di saat kita menderita itu merupakan suatu pertanyaan yang sah, maka pertanyaan kedua yang juga sah adalah: “Di manakah Dia ketika kita berdebat? Mengapa Ia tidak menjawab?” Allah tetap diam. Tetapi kalau Allah diam, jangan berpikir bahwa Ia tidak ada. Saat Ia diam itu justru merupakan saat-saat yang paling menakutkan.

Pada waktu saya masih menjadi siswa, bila guru saya mengajar dan terus mengajar, maka saya terus mendengar dan mendengar. Tetapi terkadang ia tidak mengajar dengan baik, maka saya mulai menggambar. Kalau guru saya mendadak berhenti mengajar dan berhenti berbicara, maka saya mulai takut. “Mengapa mendadak diam?” Saya mulai melihatnya. Jika dia sedang melihat orang lain, Puji Tuhan! Tetapi saat saya melihat matanya, dan matanya melihat saya, “Matilah saya!” Saya berhenti menggambar dan dengan diam-diam mencoba untuk menyembunyikan gambar saya ke dalam laci, dan kemudian berpura-pura duduk dengan baik.

Jadi ketika Allah diam, kita justru tidak boleh berkata bahwa ia tidak ada. Waktu Allah diam, itu saatnya ia sedang melihat dan mendengar kita, serta memperhatikan respons kita, sebagai manusia yang dicipta oleh-Nya. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat berespons dan bereaksi kepada Allah. Nilai manusia sebanding dengan bagaimana ia berespons kepada Tuhan.

Dalam nasionalisme, manusia identik dengan apa yang ia pikirkan. Di dalam empirisisme, manusia identik dengan apa yang ia alami. Dalam impresionisme, manusia identik dengan apa yang ia rasakan. Dalam behaviorisme, manusia identik dengan perilakunya. Dalam theologi sukses, manusia identik dengan sejauh mana ia sukses. Dalam hukum, manusia identik dengan apa yang ia perbuat. Tetapi dalam theologi Reformed, manusia identik dengan bagaimana ia berespons kepada Allah.

Bagaimana respons kita ketika menerima wahyu Tuhan, taat atau tidak? Saat kita melihat Kristus mati bagi kita, kita menerima atau tidak? Saat kepada kita disodorkan panggilan dari sorga, kita mengikutinya atau tidak? Respons kita itulah kerohanian kita seumur hidup. Respons kita terhadap Allah memberi tahu kita bagaimnana menilai diri kita di hadapan-Nya. Jika setelah kita membaca Alkitab, kita main-main, melupakannya atau memperalatnya, maka itu adalah suatu sikap yang kurang ajar. Jadi, kerohanian kita ditetapkan nilainya melalui kriteria bagaimana kita berespons kepada Tuhan yang bekerja dan bertindak di dalam hidup kita, yang berbicara dan memberikan wahyu kepada kita.

Pada waktu Ayub menerima sengsara, dan Allah diam, Ayub berespons, dan responsnya indah sekali. Ia berkata: “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayub 2:10). Jadi ketika Ayub menderita, ia tidak berusaha meributkan hak asasi manusia. Pada waktu Allah mengizinkan penderitaan menimpanya, Ayub mengakui hak asasi Allah. Respons yang ia berikan begitu luar biasa.

Kedua, saat Tuhan memberikan kepada Ayub penderitaan yang jauh lebih besar daripada kemungkinan manusia biasa menanggungnya, bahkan saat sesuai dengan permintaan Iblis, Allah mempersilakan semua penderitaan datang kepada Ayub, kecuali nyawanya tidak boleh diambil. Saat Ayub kehilangan sepuluh orang anaknya dan seluruh tubuhnya ditutupi oleh barah yang busuk, Ayub tetap mengatakan, “Setelah melewati ujian ini, aku akan dimurnikan seperti emas yang murni.”

Di sini yang dibicarakan bukanlah hak asasi manusia, tetapi sesuatu potensi yang tersimpan, yang melampaui hak asasi manusia, di mana potensi itu harus digarap di dalam proses Tuhan. Saat saya tahu bahwa pengertian kerohanian seseorang dan puncak iman seseorang terhadap Tuhan bisa mencapai klimaksnya, saya menjadi kagum, heran dan takluk di hadapan Tuhan. Dan itulah sebabnya Kitab Ayub disebut sebagai sastra tertinggi dalam sejarah dunia.

Kitab Ayub merupakan kitab sastra yang tertinggi nilainya, karena di dalamnya bukan hanya dibahas mengenai peristiwa dan sejarah yang terjadi di permukaan secara horisontal. Selain membicarakan peristiwa yang terjadi di dalam sejarah yang dibatasi oleh ruang dan waktu, Kitab Ayub juga mempunyai garis vertikal yang berkait dengan Tuhan, dan dengan rencana dan tujuanTuhan di belakang semua penderitaan yang diberikan kepada manusia. Bersyukurlah kepada Tuhan!

Respons Ayub adalah respons yang mewakili manusia yang sungguh-sungguh mengerti bahwa kedaulatan Allah jauh lebih tinggi daripada hak asasi manusia. Respons Ayub adalah wujud dari iman yang menaungi di dalam kegelapan.

Di dalam Ayub 35:10, dikatakan: “Mereka menyanyi di dalam malam gelap.” Orang beriman memuji Allah di malam gelap. Ini merupakan respons manusia kepada Allah yang mengizinkan penderitaan datang kepada manusia, yang secara lahiriah kelihatan seolah-olah mengikis habis hak asasi manusia, tetapi yang melampaui itu ternyata memberikan suatu proses yang membawa manusia menuju kepada kelimpahan kesempurnaan yang luar biasa.

Pengertian semacam ini mengakibatkan ditulisnya 2 Korintus 1:3, di mana Paulus mengatakan: “Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan.” Perhatikan, kata “penghiburan” di sini berbeda dengan penghiburan yang dinikmati oleh seseorang ketika ia pergi ke tempat hiburan, katika ia berzinah, ke kelab malam, atau ketempat-tempat seperti itu. Hiburan-hiburan seperti itu bukan hiburan tetapi kuburan.

Pengertian “penghiburan” disini adalah semacam kekuatan dan kemenangan atas segala penderitaan, oleh karena ia mengerti kebenaran dan rencana kekekalan Tuhan. Pada waktu Tuhan bertujuan menjadikan kita lebih sempurna dan Ia memakai proses untuk memberikan penderitaan kepada kita, maka itu merupakan suatu cinta kasih yang luar biasa. Pengertian semacam itu menjadi semacam penghiburan.

Ketika sebuah istilah muncul di Alkitab, seringkali konotasinya berbeda dengan bahasa yang biasa dipakai oleh orang biasa. Setiap kali kita menyebut kata “perdamaian”, itu berbeda arti dengan damai karena tidak perang, tetapi sama dengan tidak lagi dimusuhi oleh Tuhan. Saat kita mengatakan “sejahtera”, itu berbeda arti dengan sejahtera dunia. Sejahtera dalam Alkitab berarti tak peduli lingkungan betapa buruk, hati kita tetap tenang, itu namanya sejahtera. Bukan sejahtera kalau lingkungan sudah enak.

Demikian pula dengan istilah “penghiburan” di sini mempunyai arti yang berbeda, yaitu suatu pengertian yang menembusi awan gelap, mengerti rencana Allah yang sedang memakai segala kesulitan dan sengsara serta penderitaan untuk membentuk saya menuju kepada kesempurnaan. Kalau kita membaca bagian-bagian Alkitab yang membicarakan hal-hal ini, maka kita akan mulai mengerti.

Melalui penderitaan barulah kita mendapatkan penghiburan, karena orang yang tidak melalui penderitaan tidak mempunyai pengertian tentang apakah maksud Tuhan membentuk kita melalui penderitaan-penderitaan yang diizinkan menimpa kita. Kalau penghiburan begitu limpah kita terima, maka itu karena kita pernah mengalami penderitaan yang begitu limpah pula. Semakin banyak penderitaan, semakin banyak dikuatkan. Semakin banyak penderitaan, semakin banyak mendapatkan penghiburan yang resmi dan sehat dari Tuhan. Itu semua akan membuat kekuatan kita dalam memberikan penghiburan kepada orang lain juga makin melimpah. Itu berarti kita semakin dapat menjadi alat untuk menghibur orang lain.

Orang yang tidak pernah menjadi janda, kalau melihat seorang janda dengan mudahnya akan berkata, “Jangan menangis, tidak apa-apa menjadi janda.” Tetapi orang yang telah menjadi janda, apalagi jika ia menjadi janda karena suaminya dibunuh oleh seorang jahat, waktu ia melihat orang kehilangan suami, ia tidak banyak bicara. Ia hanya berdiri di pinggir wanita yang ditinggalkan oleh suaminya, dan wanita yang sedang berduka itu ingat bahwa suami orang yang disampingnya dulu meninggal karena dibunuh orang. Saat itulah ia merasa kesusahannya tidak bisa dibandingkan dengan kesusahan yang dialami oleh orang di sampingnya itu. Jadi, penderitaan yang pernah dialami oleh seseorang akhirnya menyempurnakan dia dengan kekuatan luar biasa, sehingga dapat menjadi penghiburan bagi orang lain yang menderita.

Paulus bersyukur kepada Tuhan yang memberikan kelimpahan penghiburan ketika ia sengsara. Itu berarti, ia bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikan penderitaan dan kemudian memberikan penghiburan. Penghiburan berada di belakang penderitaan. Menderita dahulu, baru kemudian ada penghiburan. Penghiburan dan penderitaan merupakan satu paket yang tidak dapat dipisahkan.

Mengapa Tuhan memberikan penderitaan? Untuk menghancurkan kita? Tidak! Iblislah yang menghancurkan kita di dalam penderitaan, tetapi bagi mereka yang mencintai Tuhan segala sesuatu mendatangkan kebaikan. Itu berarti, kalau kita mencintai Tuhan, maka segala penderitaan – baik itu pembunuhan, penjarahan, bahkan perkosaan sekalipun – tidak dapat merebut hubungan kita dengan Tuhan, tetapi hanya dapat merebut apa yang kita miliki, merebut cita-cita kita yang indah, dan mimpi-mimpi kita. Semua itu hanya dapat merebut kebahagiaan kita di dunia. Namun demikian apa yang Tuhan mau kerjakan melalui penderitaan yang Ia izinkan pasti jauh lebih besar daripada apa yang mau dikerjakan oleh Iblis melalui penderitaan yang ditimpakan kepada kita.

Saya sulit untuk mengutarakan hal ini karena saya hanyalah seorang yang terbatas, termasuk terbatas di dalam menanggung penderitaan. Tetapi saya berkata bahwa pada usia tiga tahun ayah saya meninggal dunia. Usia lima belas tahun saya mulai bekerja untuk membiayai hidup dan uang sekolah. Sejak saat itu hingga hari ini, saya tidak pernah meminta satu rupiah pun kepada Ibu saya. Saya mengetahui apa itu peperangan, kemiskinan, bagaimana perasaan menjadi anak yatim, bagaimana rasanya dihina oleh orang lain dan berada di dalam ketersendirian, dan lain sebagainya.

Kita semua mempunyai aspek-aspek kesedihan yang sulit dimengerti oleh orang lain. Tetapi makin banyaknya pengalaman penderitaan tidak seharusnya membuat kita makin loyo dan tidak berkuasa, tetapi justru sebaliknya menjadikan kita makin mempunyai kekuatan dan modal untuk menghibur orang lain. Itu baru sehat.

Sejarah mencatat bahwa orang-orang yang paling agung justru adalah orang-orang yang paling banyak mengalami penderitaan. Sebaliknya, orang-orang yang belum pernah mengalami penderitaan, tidak pernah memberikan sumbangsih yang besar di dalam menguatkan dan membentuk karakter orang lain.

Di dalam buku “Ujian, Pencobaan, dan Kemenangan”, saya berkata bahwa Anak Allah pun tidak mempunyai hak istimewa. Saya sebenarnya mengharapkan kalimat-kalimat seperti ini bisa masuk ke dalam Istana Merdeka. Kalau raja-raja dan presiden-presiden di dunia memberikan hak istimewa kepada anaknya, itu berarti politik, watak, dan keluarganya mulai menemui kegagalan. Inilah yang sekarang mulai diributkan sebagai nepotisme.

Di dalam buku tersebut, saya telah berkata secara keras, dan dua ribu tahun yang lalu hal itu telah tertulis dalam Alkitab, bahwa meskipun Kristus adalah Anak Allah, Ia pun harus belajar taat melalui penderitaan, supaya dapat menjadi sempurna. Jadi, Yesus pun tidak terkecuali. Ia sesungguhnya adalah Anak Allah yang mempunyai kemuliaan terbesar, tetapi Ia pun harus menderita. Tidak ada jalan lain, karena ini cara Tuhan. Siapa saja yang adalah manusia harus menderita, dan setelah menderita baru dapat membuat seseorang lebih sempurna.

Ketika sedang berada di Amerika Serikat, saya bertemu dengan seorang wanita yang pandai sekali dan telah menempuh pendidikan yang sangat tinggi datang menemui saya. Ia sedang patah hati. Dia meminta nasihat kepada beberapa hamba Tuhan dan salah satunya adalah saya. Pada waktu menceritakan semua penderitaan yang dialaminya, ia menangis. Ia begitu sedih. Ia bertanya, “Pendeta Stephen Tong, apa maksud Tuhan atas semua ini? Menurut Anda, apakah saya masih mempunyai pengharapan?” Dengan serius, hormat, dan gentar terhadap Tuhan, saya menjawab dia: “Justru saya melihat kamu akan dipakai Tuhan secara luar biasa untuk menjadi berkat bagi orang lain.” Ia terkejut dan berkata, “Apakah Anda sedang bergurau? Apakah Anda merasa saya masih ada harapan setelah mengalami penderitaan seperti ini?” Bukan saja ada harapan, tetapi bahkan orang lain akan mendapatkan penghiburan yang datang melalui orang yang pernah mengalami penderitaan seperti ini. Saya tidak sedang bercanda pada saat itu.

Secara ideologi dan rasio, ia telah dikacaukan dengan begitu banyak teori, seperti yang telah saya alami pada saat saya menginjak umur tujuh belas tahun. Dan sekarang saya berterima kasih kepada Tuhan jika ketika saya masih begitu muda, saya sudah diracuni oleh Materialisme, Metode Dialektis Hegelian, Marxisme, Atheisme, dan Evolusionisme. Pada waktu itu saya telah melawan Tuhan dengan hebat. Berbagai filsafat itu telah menghancurkan seluruh iman saya. Tetapi saya sekarang bersyukur kepada Tuhan, sebab justru karena semua itu, sekarang saya dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan Evolusionisme, Materialisme, Komunisme dan Atheisme. Karena pengalaman itu, saya justru menjadi berkat bagi orang lain.

Karena ia lebih menderita dibandingkan saya, maka itu berarti ia akan dipakai Tuhan lebih besar daripada saya. Mendengar itu, ia mulai melihat titik terang. Ia mulai melihat bahwa pintu telah terbuka dan cahaya sorga masuk ke dalam jiwanya, sehingga ia mulai menghapus airmatanya, dan dengan penuh konsentrasi bertanya: “Benarkah itu?” Saya menjawab: “Benar! Kuncinya adalah apakah engkau masih mencintai Tuhan atau tidak? Karena segala sesuatu akan mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Tuhan. Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan faedah hanya bagi mereka yang mencintai-Nya. Jangan masuk ke dalam jerat Iblis yang sedang mengguncangkan dan membuat engkau menjadi ragu! Jangan biarkan Iblis memberikan keraguan dan merusak imanmu! Jangan biarkan dia membuat engkau percaya bahwa engkau adalah orang yang paling tersendiri dan bahwa Allah telah membuang engkau!” Ia mulai sadar, lalu berdoa dengan saya dan kemudian berjanji untuk menjadi orang yang tegar dan kuat, dan berjuang sampai mati.

Belasan tahun telah berlalu. Sampai sekarang saya tidak pernah lagi bertemu dengan dia. Saya berdoa dan menyerahkan dia ke dalam tangan Tuhan supaya ia menjadi orang yang dapat mengalahkan segala kesulitan, keraguan, selalu bersandar kepada Allah, dan dapat menjadi berkat besar bagi orang lain.

HAKIKAT PENDERITAAN

Sekarang saya ingin bertanya: “Penderitaan itu sebenarnya ada atau tidak?” Kalau kita merasa menderita, maka apakah itu berarti pasti ada penderitaan, ataukah karena ada penderitaan, maka baru kita merasa menderita? Kita menganggap bahwa tentu karena ada penderitaan maka baru kita merasakan penderitaan itu. Akan tetapi, apakah yang kita rasakan sebagai penderitaan itu memang sungguh-sungguh adalah penderitaan? Ataukah yang kita rasakan sebagai penderitaan itu sesungguhnya adalah adanya sesuatu yang kurang, di mana adanya sesuatu yang kurang itu membuat kita merasa hak asasi manusia kita sedang dirampas? Kedua hal itu berbeda!

Anak kecil menangis karena digigit nyamuk. Bagi sang ayah itu bukan penderitaan, tetapi bagi si anak, adanya bagian tubuh yang gatal merupakan penderitaan. Sang ayah bukan hanya dapat mengerti penderitaan yang si alami anak kecil itu, tetapi ia juga tahu batas penderitaan itu. Ia tahu bahwa beberapa menit lagi penderitaan itu akan hilang dan tahu bahwa penderitaan itu tidak akan mendatangkan kematian. Oleh karena itu, tidak perlu menangis seperti seorang yang kehilangan ayah. Jadi, pengertian akan batas-batas penderitaan lebih penting daripada perasaan menderita.

Mengapa penderitaan menjadi penderitaan? Apakah penderitaan mempunyai suatu eksistensi obyektif? Ataukah merupakan sesuatu yang berkait dengan perasaan kehilangan hak asasi manusia, perasaan kehilangan kenyamanan yang dulunya ia nikmati? Saya percaya bahwa yang dimaksudkan dengan penderitaan adalah perasaan kehilangan kenyamanan yang dulunya kita nikmati.

Bagi orang yang biasa makan di restoran besar, makan mi instan merupakan suatu penghinaan. Tetapi orang yang telah sepuluh tahun di penjara, yang hanya diberi makan nasi putih dan garam, akan bersyukur ketika mendapatkan mi instan. Orang yang sebelumnya diikat dan tidak bebas, merasakan kenikmatan saat kepadanya diberikan sedikit kebebasan. Sedikit kebebasan sudah cukup untuk membuat dia merasa lega.

Di sini saya meminta Saudara untuk memperhatikan relativitas yang ada. Seorang yang sudah biasa dimanja, yang terlalu banyak dan berlebihan di dalam menerima hak, akan merasa amat tidak suka dan menderita saat hak-haknya itu sedikit saja berkurang.

Alkitab mengatakan sebuah kalimat: “Adalah baik bagi seorang pria memikul kuk pada masa mudanya.” (Ratapan 3:27). Berarti, jika seorang anak yang masih muda, sudah mengalami beban yang berat dan hidup yang susah, di kemudian hari ia akan merasa nikmat seumur hidup. Tetapi anak yang selalu dimanja sejak kecil, diberi apa pun yang ia mau, besok akan merasa susah. Kalau demikian, apakah penderitaan merupakan suatu eksistensi obyektif, ataukah suatu perasaan subyektif karena kita merasa hak kita berkurang?

Kalau kita membandingkan diri kita dengan orang-orang yang berada di Afrika, maka kita akan menemukan bahwa hak asasi yang dapat kita nikmati masih terlalu banyak, sehingga – secara relatif – perasaan bahwa kita sedang menderita itu sebenarnya tidak perlu ada dalam hidup kita.

Saya dapat menarik kesimpulan seperti ini, karena saya pernah mengalami hidup yang amat sulit. Saya masih ingat bahwa pada usia enam belas tahun, saya sekolah di SMA mulai pukul 13.00-18.00 dan pukul 19.00-21.30 saya mengajar. Baru pukul 22.00 sampai di rumah dengan mengendarai sepeda. Sesampainya di rumah mulai mengoreksi pekerjaan murid-murid saya, mempersiapkan pelajaran untuk mengajar. Lima belas jam dalam satu hari. Begitu lelah. Dan mulai usia tujuh belas hingga dua puluh tahun, setiap minggu saya masih harus berkhotbah tujuh kali.

Setiap kali saya melihat anak muda yang begitu mudah berkata lelah, saya seringkali merasa jengkel. Itu karena mereka sudah terbiasa hidup enak, bahkan terlalu manja. Pukul 10.00 baru bangun, dan pukul 16.00 sudah mau tidur lagi. Sebaliknya, saya tidak mudah merasa lelah, sebab saya telah terbiasa dilatih seperti itu.

Ketika Tuhan membiarkan penderitaan terjadi atas diri kita, jangan menganggap bahwa Ia tidak ada, tidak peduli dan tidak mengasihi. Justru, karena Ia mengasihi kita, maka Ia mengizinkan penderitaan datang kepada kita, karena Ia tahu bahwa itu baik bagi kita. Ia tahu bahwa orang muda yang menanggung kuk adalah baik adanya.

Jadi, manusia merasa bahwa penderitaan itu ada oleh karena: (1) Perasaan subyektif; dan (2) Pengertian terhadap sesuatu keharusan yang tidak seharusnya ada.

Banyak orang menderita karena berpikir bahwa mereka tidak seharusnya menjadi seperti ini, tetapi seharusnya menjadi seperti itu! Menurut mereka, mereka tidak seharusnya miskin, tetapi seharusnya kaya. Mereka mengharuskan sesuatu yang sebenarnya tidak harus. Siapa yang mengajar bahwa kita seharusnya kaya? Siapa yang mengajar bahwa kita seharusnya sehat dan bukannya sakit? Itu adalah keinginan yang terbentuk setelah kita jatuh ke dalam dosa, dan keinginan itu kemudian menjadi suatu keharusan. Ketika anak terhilang berada di rumah ayahnya yang serba ada, dia masih tidak puas. Dia selalu merasa bahwa ia seharusnya menikmati lebih dari apa yang ada dan itu menjadi sumber penderitaannya.

Kaum Buddhisme mengajarkan, “Kemauan nafsu yang tidak ada habis-habisnya merupakan akar dari kesengsaraan.” Saya kira mereka telah menangkap suatu prinsip yang tidak jauh berbeda dari Alkitab. Ketika anak yang terhilang itu belum terhilang, walaupun dia masih berada di rumah, hatinya sudah terhilang.

Jadi, terhilang tidak dimulai dari kaki, tetapi di mulai dari mental. Jika rohani sudah terhilang, kakimu juga akan ikut terhilang. Kalau jiwamu sudah terhilang maka langkahmu akan terhilang. Sebenarnya, anak terhilang itu mempunyai keadaan yang jauh lebih baik dibandingkan orang lain. Ia adalah anak di dalam rumah orang kaya yang serba ada. Tetapi ia tetap tidak puas dan berkata kepada ayahnya: “Berilah harta yang menjadi bagianku!” Dengan ini ia sesungguhnya meminta ayahnya cepat-cepat mati. Ia menganggap haknya atas lima puluh persen harta ayahnya sebagai hak asasi yang memang ia miliki. Ayahnya mengabulkan permintaannya dan memberikan lima puluh persen yang menjadi bagiannya.

Jadi pada saat itu, anak yang terhilang tadi sedang merasa bahwa memang sudah seharusnya ia memiliki itu, bahkan ia merasa bahwa ia seharusnya menerima lebih dari apa yang telah ia miliki. Hal ini yang justru menghancurkan kehidupannya. Setelah sang ayah memberikan setengah hartanya kepada anak yang terhilang, anak itu menghabiskan semuanya.

Allah selalu mengindahkan hak asasi manusia, tetapi pada saat yang sama manusia selalu menyalahgunakan hak asasi manusia. Manusia selalu salah mengerti hak asasi manusia, salah menilai batasan hak asasinya dan mau melebihi limit dari hak asasi manusia.

Di Jakarta ada anak yang marah-marah pada orangtuanya, karena temannya pergi ke sekolah dengan menggunakan Mercedes, sementara ia hanya naik Toyota Kijang. Anak itu marah dan tidak mau pergi ke sekolah. Akhirnya sang ayah membiarkan sang anak menggunakan Mercedesnya, sementara ia sendiri menggunakan Kijang. Betapa kurang ajarnya anak semacam ini! Anak ini berkata bahwa memang sudah seharusnya ia memperoleh lebih daripada yang telah ia peroleh. Inilah sumbernya penderitaan.

Kita selalu minta lebih, lebih, dan lebih. Kita selalu minta lebih dari yang seharusnya. Mengapa? Karena kita selalu menetapkan apa yang seharusnya itu berdasarkan ambisi kita, lebih dari apa yang seharusnya menjadi kehendak Allah. Barangsiapa meminta sesuatu melebihi yang telah diukurkan baginya oleh Tuhan, ia sedang mendirikan penjara bagi dirinya sendiri. Barangsiapa mencintai uang lebih dari yang seharusnya ia miliki, ia sedang menumpuk dosanya. Barangsiapa berusaha merebut hak yang bukan menjadi miliknya untuk memperkaya diri, ia sedang mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam penjara.

Saat Edi Tansil yang ditawari uang trilyunan merasa bahwa inilah kesempatan yang akan membuatnya kaya. Itu justru menjadi jerat baginya. Waktu bank-bank menawarkan uang dengan suku bunga rendah, itu justru menjadi jerat. Kita selalu merasa bahwa kalau kita dapat lebih baik, lebih hebat, dan lebih kaya daripada orang lain, maka itu merupakan hal yang sudah seharusnya. Siapakah kita sehingga merasa seperti itu? Ingat, kita hanyalah orang berdosa!

Barangsiapa merasa berhak mendapatkan lebih dari yang seharusnya ia dapatkan, ia sedang menaburkan bibit untuk menuai penderitaan bagi dirinya. Maka Alkitab tidak salah. Barangsiapa ingin cepat-cepat kaya, dia sedang menjerat dirinya sendiri ke dalam kesusahan. Ia sedang dilanda oleh wabah yang tidak kelihatan.

Pada waktu Saudara merasa hidup Saudara terbelenggu, hak Saudara terkikis, dan kebebasan Saudara diintervensi oleh orang lain, di situlah penderitaan menjadi perasaaan yang riil. Dan perasaan yang riil ini terkadang jauh dari kebenaran yang sesungguhnya. Pada saat ini, banyak orang yang hidup di dalam perasaan penderitaan yang tidak sama dengan kebenaran yang sesungguhnya. Misalnya, orang yang sesungguhnya hanya sakit sudah merasa hampir mati.

Pada saat saya di Hong Kong, dokter saya menelepon dari Manila dan mengatakan bahwa dari hasil pemeriksaan darah, saya ternyata telah terkena penyakit kanker liver dan akan mati dalam waktu satu tahun. Bagi saya, hidup mati soal kecil, yang lebih penting adalah bagaimana hidup saya sebelum mati. Kematian tidak dapat menakuti saya.

Setelah saya kembali ke Indonesia dan dijemput istri saya, yang juga sudah mendengar bahwa saya terkena kanker liver dan akan mati dalam waktu satu tahun. Saya berkata bahwa saya sudah siap meninggal kapan saja. Saya mengingatkan istri saya akan perkataan saya dulu. Saya pernah berkata bahwa pernikahan kami ini sesungguhnya adalah pinjaman dari Tuhan. Tuhan meminjamkan saya kepada istri saya dan meminjamkan istri saya kepada saya. Waktu menikah saya sudah berkata kepadanya bahwa pernikahan kami ini adalah pinjaman, bukan hak milik. Saya dipinjamkan kepada istri saya agar saya menjadi teman hidupnya dan istri saya dipinjamkan kepada saya agar menjadi teman hidup saya. Sampai berapa lama pinjaman itu, tidak ada yang tahu, mungkin dua tahun mungkin dua puluh tahun. Mati hidup ada waktunya, dan kalau memang sudah waktunya Tuhan memanggil saya, maka saya akan pergi. Jadi, dalam pikiran saya tidak ada perasaan yang menambah kesengsaraan dan penderitaan bagi hidup saya. Saya tidak memberikan tempat kepada perasaan menderita yang berlebih-lebihan.

Ketika saya tahu bahwa saya akan mati karena penyakit kanker liver, saya justru mau tahu banyak tentang bagaimanakah penyakit liver itu, dan seperti apakah rasanya mati karena terkena kanker liver. Saya mulai membeli buku-buku tentang penyakit liver, yang kalau dikumpulkan hampir mancapai tujuh ratus halaman. Setelah membaca buku-buku itu saya pergi kje dokter untuk berkonsultasi dan saat itu saya baru tahu bahwa banyak dokter ternyata tidak tahu apa-apa. Kemudian ternyata terbukti bahwa penyakit yang saya derita bukanlah kanker liver, tetapi hanya Hepatitis B.

Orang yang terkena Hepatitis B tidak langsung meninggal, tetapi masih dapat hidup selama enam belas tahun sampai dua puluh satu tahun. Sekarang sudah tiga belas tahun berlalu, berarti usia saya mungkin ada tiga atau delapan tahun lagi. Itu berarti saya harus berkhotbah lebih banyak dan lebih panjang lagi. Karena salah analisa, maka dokter itu memberikan kemungkinan bagi saya untuk merasakan penderitaan yang lebih dari seharusnya.

Banyak kekhawatiran dan perasan menderita kita yang sebenarnya tidak perlu. Saudara harus sadar bahwa ketika Saudara menderita, Saudara harus bersedia hati, sehingga pada saat penderitaan datang, Saudara sudah siap. Tetapi jika Saudara tidak pernah mempersiapkan jiwa Saudara untuk menerima penderitaan, maka perasaan penderitaan yang Saudara miliki selalu lebih besar daripada penderitaan yang seharusnya, sehingga banyak perasaan yang tidak riil merongrong jiwa Saudara.

Amin.
SUMBER :
Nama buku : Iman, Penderitaan, dan Hak Asasi Manusia
Sub Judul : Bab 3 : Penderitaan : Membangun atau Menjatuhkan
Penulis : Pdt. DR. Stephen Tong
Penerbit : Momentum, 2013
Halaman : 39 – 60