Sebagai petugas pajak yang  pernah bertugas sebagai Pemeriksa, sebagai Juru Sita Pajak Negara, sebagai Account Representative dan juga sebagai Penelaah Keberatan dan juga aktif sebagai penyuluh perpajakan sepanjang 10 tahun terakhir ini. Melihat perilaku Wajib Pajak terhadap fenomena perpajakan di Indonesia yang menurut mereka ketentuan perpajakan yang rumit dan kompleks, sistem self assessment yang serba salah mengharuskan mereka mencari penasihat perpajakan bagi kepentingan usaha mereka.  Lalu siapakah penasihat perpajakan itu?

Fakta yang sering penulis hadapi, mereka adalah konsultan pajak, mantan pegawai pajak, biro jasa, firma hukum, penasihat keuangan dan sejenisnya (dalam tulisan ini kita sebut promotor pajak) dan promotor ini adalah pelaku perencanaan perpajakan dari Wajib Pajak tersebut. Bahkan mereka melakukan perlindungan pajak, memberikan nasihat penghematan pajak yang tidak diminta oleh rata-rata Wajib Pajak, tentu dengan harapan imbalan lebih.

Itulah mengapa penulis sangat mengapresiasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 tentang persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban seorang kuasa (Hak & Kewajiban Seorang Kuasa Wajib Pajak), agar siapapun promotor pajak tersebut dilimitasi oleh ketentuan demi tertibnya jalannya kewajiban perpajakan.

Apresiasi tersebut menjadi anomali ketika Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 digugat oleh  advokat dan pengacara yang dikabul gugatannya oleh Mahkamah Konstitusi tanggal 26 April 2018 setelah melakukan uji konstitusionalitas dari ketentuan pasal 32 ayat (3a) UU KUP (Persoalan Kuasa Wajib Pajak Terkait Putusan MK No. 63/PUU-XV/2017).  Sehingga  siapapun yang memahami masalah perpajakan dapat menjadi kuasa Wajib Pajak. Sikap pemerintah yang membatasi bahwa pihak yang benar-benar kompeten di bidang perpajakan adalah konsultan pajak dan karyawan Wajib Pajak adalah hal yang tidak dibenarkan, sebagaimana dasar gugatannya..

Promotor Pajak Versus Institusi Pajak

Sejak bertugas tahun 1996 di Direktorat Jenderal Pajak, kegiatan promotor pajak ini sudah ada dan mungkin jauh sebelum penulis bertugas. Empiris membuktikan, tindakan dari promotor pajak ini hampir melanda seluruh dunia. Memang, beberapa pengguna penasihat pajak dalam rangka perlindungan pajak sudah angkat tangan, beberapa perusahaan di Amerika serikat akhirnya setuju membayar jutaan dollar atas kegiatan perencanaan pajak yang dilakukan oleh promotor pajak tersebut.

Terlebih, otoritas perpajakan sekarang ini sudah melengkapi diri dengan data informasi baik melalui kegiatan intelejen, transparansi rekening di perbankan, transparansi informasi dari pihak ketiga, dan lain-lain. Namun, faktanya promotor pajak pun semakin merasa dituntut kerja ekstra untuk melakukan tindakan bertujuan membantu Wajib Pajak dalam desain perencanaan pajak yang lebih agresif. Ada perkembangan yang simetris antara promotor pajak dan petugas pajak, karena siapa yang terlena akan tertinggal dalam pertempuran ke depan.

Merangkul atau Menjauhkan

Setiap menghadapi promotor pajak ini, penulis selalu merangkul mereka sebagai mitra walaupun pada faktanya tidak mempengaruhi signifikansi  jumlah pajak yang dibayar atas klien-klien mereka.

Demikianpun, merangkul adalah langkah yang terbaik, inilah yang menjadi alasan penulis menyarankan agar setiap Kantor Pelayanan Pajak yang memiliki Koperasi membentuk suatu lembaga pelatihan perpajakan untuk melatih dan mengupgrade pengetahuan perpajakan dan kesadaran bagi masyarakat umum dan khususnya calon dan promotor  pajak, berbayar dan diberikan sertifikasi. Sehingga setiap lulusan, akan menjalankan pekerjaannya terkait perpajakan berjalan elegan dan bermartabat sesuai dengan keramahan, budaya, dan kearifan lokal.

Institusi Pajak

Peningkatan 20,1 persen dari realisasi penerimaan pajak tahun 2018 atau sejumlah Rp. 1.577,6 triliun dituntut kepada DJP dalam tahun 2019 ini. Jika peran promotor pajak yang menyentuh kalangan usaha UMKM dan aktivitas underground economy tidak ditata kelola dengan baik maka tahun ini dan tahun-tahun berikutnya penentuan target tinggi hanya suatu tindakan yang paradoksal.

Melihat fenomena ini, untuk Wajib Pajak besar, Direktorat Jenderal Pajak mau tidak mau harus memaksa Wajib Pajak mengungkapkan perencanaan pajak yang dilakukan (Mandatory Disclosure Rule) sebagaimana aksi dalam Base Erosion Profit Shifting (BEPS) artikel 12. Tindakan pemaksaan ini sudah dilaksanakan di beberapa neggara dan bertujuan :

  1. Mendapatkan informasi awal atas potensi adanya skema penghindaran pajak yang agresif dalam rangka sebagai penilaian risiko (risk assessment);
  2. Mengidentifikasi skema-skema yang dipergunakan, pengguna (penerima manfaat), dan promotor pajak di waktu yang tepat;
  3. Berfungsi sebagai pencegah, mengurangi aktivitas promosi, dan penggunaan skema penghindaran pajak.

Penutup

Penulis : Saya mengundang Wajib Pajak, saudara siapa?

Promotor Pajak : Saya konsultannya pak.

Penulis : Ada surat kuasa atau sejenisnya?

Promotor : Tidak ada, namun saya mengerti hal-hal perpajakan dan Wajib Pajak ini percaya penuh hal-hal perpajakan kepada saya…..

Penulis : ????