Sebagai Pegawai Negeri Sipil yang pernah bertugas di Papua selama lima tahun adalah waktu yang cukup untuk memetakan permasalahan dan solusi yang bisa menjadikan Papua lebih baik. Pemetaan permasalahan dan solusi tanpa tindakan adalah suatu hal yang sia-sia belaka. Namun, pemikiran dan tindakan tersebut akhirnya diambil oleh seorang pria asal Amerika Serikat bernama Wallace Dean Wiley (71 tahun) setelah bertugas selama 42 tahun dan tinggal Kabupaten Jayapura dan selama 38 tahun berkecimpung di dunia penerbangan melalui MAF Aviation, sebuah perusahaan penerbangan perintis, resmi menjadi Warga Negara Indonesia. Status sebagai WNI setelah menjalani sumpah di Aula Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) Papua.

Empat tahun terakhir, pria kelahiran 5 April 1948 di Washington State, Washington DC, Amerika Serikat, mulai mengabdikan diri untuk pendidikan anak-anak Papua dengan mendirikan Yayasan Papua Harapan. Ia menerapkan sistem subsidi silang agar dapat memberi pendidikan gratis kepada anak-anak di pedalaman Papua.

Yayasan Papua Harapan sudah berjalan sejak tahun 2008 dengan mendidik delapan anak dari Kabupaten Intan Jaya. Pendidikan yang diberikan mulai dari tingkatan TK. Motivasi Wally memlih untuk mendirikan sekolah di Papua, dimulai dari rasa frustasi karena perusahaannya tidak pernah bisa merekrut pilot dan mekanik pesawat dari penduduk asli setempat.

Wally berkata, “Dulu saya kepala MAF. Saya frustasi karena kami tidak dapat seorang Papua sebagai pilot atau mekanik. Di situ saya mulai tanya kenapa kami gagal terus dan setelah saya kumpulkan banyak orang untuk bicarakan hal itu akhirnya kami putuskan bahwa itu sebetulnya dalam hal problem solving. Ambil keputusan dengan cepat dan benar dengan memikirkan sesuatu di sini tetapi bisa untuk memecahkan masalah di sana.”

Nama dua pendiri Yayasan pelita Harapan, Johannes Oentoro dan James Riyadi, disebut Wally berperan penting bagi dirinya ketika membuat keputusan untuk mendirikan sekolah berkualitas di Papua.

Semula ia berharap, Pelita Harapan bisa membuka sekolah di Papua, namun karena faktor jarak hal tersebut urung diwujudkan. “Dulu saya sangka mereka akan buka sekolah di sini. Akhirnya saya tunggu-tunggu saya mulai frustasi dan mereka bilang Papua itu terlalu jauh, kenapa pak Wally tidak buka sendiri. Kami akan dukung. Jadi baru saya mulai pikirkan itu.” 

Dari situlah Wally bertekad untuk mendirikan satu sekolah dan kini berkembang menjadi tujuh sekolah yang tersebar di Papua. Satu sekolah di Kabupaten Jayapura, dua sekolah di Tolikara, dua sekolah di Yahukimo, satu sekolah di Intan Jaya, dan satu sekolah di Boven Digoel. Untuk merekrut anak-anak di pedalaman, ia bekerja sama dengan misionaris, karena menurutnya cara tersebut cukup efektif untuk mendapatkan anak-anak berpotensi.

Mengabdi Hingga Akhir Hayat

Saat masih menyandang status sebagai Warga Negara Asing ( WNA), Wally mengakui selalu terhambat dengan visa. Ia yang datang bekerja di Papua, hanya memiliki visa untuk bekerja di bidang penerbangan dan tidak bisa terjun di dunia pendidikan. Karenanya dengan status WNI, kini ia memiliki kebebasan untuk bergerak di sektor mana pun.

“Pasti ada perbedaan yang mendasar, sekarang jauh lebih bebas. Dulu saya punya sekolah bisa (didirikan) di bawah perusahaan ini (MAF Aviation), tapi di imigrasi kalau kita dapat visa itu tidak bisa bekerja untuk dunia pendidikan. Memang saya bisa mendorong untuk bentuk yayasan tapi untuk bisa bebas bergerak dalam pendidikan atau kesehatan itu tidak bisa.”

Sampai kapan ia akan bekerja untuk Papua, Wally menjawab, “Saya sudah jadi orang Indonesia, jadi sampai Tuhan memanggil saya”. Kecintaannya kepada Papua pernah ia buktikan ketika menolak tawaran dari kantor pusat MAF Aviation untuk menjadi Kepala MAF Indonesia. Hal itu ia lakukan, karena jika ia menerima tawaran tersebut, maka ia harus tinggal di Jakarta. Namun sekitar 2005, keinginannya dikabulkan, yaitu menjadi Kepala MAF Indonesia dengan berkantor di Jayapura. Ia pun memegang jabatan tersebut selama 10 tahun.

Keputusan Menjadi WNI Didukung Keluarga

Wally datang ke Papua sejak 1977, namun keinginanya untuk menjadi WNI muncul 34 tahun setelahnya atau pada tahun 2011.  Keputusan tersebut mendapat dukungan penuh dari sang istri, Jhon Wiley dan kedua anaknya Josenda Jacinda dan Jared. Meski keluarganya tidak mengikuti jejaknya, namun Wally melihat ada kemungkinan hal tersebut akan terjadi.

“Keluarga belum jadi WNI. Istri saya belum tapi dua anak saya ada di sini, termasuk juga cucu saya. Mungkin mereka akan perhatikan keadaan saya. Bagaimana saya setelah jadi WNI, baru mereka ambil keputusan. Tapi mereka semua mendukung saya. Ini prosesnya sudah delapan tahun,” kata Wally.

Bahkan salah satu anaknya kini terlibat langsung di Sekolah Papua Harapan yang ia dirikan. Sementara sang istri yang memiliki dasar sebagai guru, masih aktif mengajar di HIS. Wally yang kini memiliki empat orang cucu, menganggap apa yang telah ia putuskan tidak lain karena panggilan dari Tuhan. Ia yang lahir dari keluarga misionaris meyakini bila Tuhan sudah memberikan petunjuk agar ia terus mengabdi di Papua.

“Kembali lagi dari panggilan Tuhan. Ini tempat yang dia kasih. Kalau kami betul-betul ikut Tuhan, dia akan tunjukan dimana tempatnya dan dia akan membagi sebagian hatinya. Jadi Tuhan bagi hati kepada saya untuk cinta Indonesia, khususnya Papua,” ucapnya.

Kecurigaan, Harapan  adalah Sebuah Keniscayaan

42 tahun tinggal di Papua, Wally menyadari ada rasa kecurigaan terhadap dirinya sebagai orang asing dari aparat keamanan karena kedekatannya dengan penduduk asli, terutama di wilayah pedalaman. Bekerja sebagai pilot perintis, membuatnya banyak melihat dan bersentuhan langsung dengan masyarakat di pedalaman.

“Saya tahu mereka (aparat keamanan) selalu sedikit ragu-ragu dengan kita, karena kami dekat dengan anak di pedalaman. Saya tahu keraguan itu karena ada sebagian rakyat Papua ingin kemerdekaan. Sebetulnya saya tidak dukung itu, itu bukan tujuan saya sama sekali.”

Namun dengan tegas ia menyatakan ada satu mimpi yang ia ingin lihat semasa dirinya masih hidup, yaitu menyaksikan langsung orang Papua bisa meraih posisi tertinggi di Indonesia. Alasan saya ingin membangun Papua adalah supaya tidak ada alasan lagi untuk orang memikirkan mereka (orang Papua) orang bodoh atau keterbelakangan. Mereka ada potensi luar biasa. Mereka akan jadi orang yang luar biasa,” harapnya.

Selain itu, Wally juga berharap ada peningkatan mutu pendidikan di tanah Papua, sehingga orang asli Papua bisa bersaing dan menjadi pemimpin di setiap sektor kehidupan.

Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan jiwa kepemimpinan yang kuat dan harus dipupuk sejak usia dini. Karena itu, di Sekolah Harapan Papua, ia menerapkan sistem CASH.

“Kami jalan dengan CASH. Caracter (karakter), Atitude (sikap), Skill (keahlian), dan Habit (kebiasaan). Ini betul-betul jadi prioritas kami. Karakter dulu baru sikapnya, kemudian keahlian yang kemudian jadi kebiasaan,” tuturnya lagi.

Kini setelah 11 tahun mendirikan Sekolah Papua Harapan, kelas tertinggi yang telah dibuka sudah mencapai kelas 2 SMA. Dan pada 2019, delapan anak dari Intan Jaya yang ia bawa sejak usia dini akan lulus tingkatan tersebut. “(Awalnya) kami memulai dari TK dan setiap tahun tambah satu kelas, tahun depan baru ada kelas 3 SMA. Jadi baru ada lulusan,” katanya. Tidak sampai di situ, Wally juga berencana untuk membuka perguruan tinggi di Papua. Untuk mewujudkannya, kini ia telah menjalin kerja sama dengan salah satu universitas di Amerika Serikat.

Secara umum Wally mengakui bila Papua masih memiliki banyak masalah, namun ia meyakini 90 persen dari masalah tersebut bisa diselesaikan bila ada pendidikan yang baik.

Diambil dan di edit dari  : https://intisari.grid.id/read/031744128